Untuk Kepentingan Umum

Ada Skenario Bisnis Vaksin Dibalik KLB Difteri?

Jelang tutup tahun 2017 ada berita kurang baik terkait bencana penyakit. Difteri tengah mewabah dan sudah masuk kategori kejadian luar biasa (KLB). Kok, bisa?

Wabah difteri bukannya baru di Indonesia. WHO menyatakan angka kejadian difteri di Indonesia terus meningkat sejak 2014. Menurut laporan kesehatan Indonesia tahun 2016 yang dikeluarkan Menkes, dari seluruh kasus difteri 51 persen di antaranya terjadi akibat pasien tidak mendapatkan vaksin. Tahun ini 95 kabupaten dan kota di 20 provinsi melaporkan kasus difteri dengan 590 pasien, 6 persennya meninggal. Mayoritas pasien berusia di bawah 18 tahun.

Dalam kurun waktu Oktober – November 2017 ada 11 provinsi yang melaporkan terjadinya KLB Difteri di wilayah kabupaten/kota-nya, yaitu: Sumatera Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

Nah lho, mengapa kok terjadi KLB di sejumlah wilayah? Kenapa tidak terdeteksi penyebarannya?

Maraknya wabah ini membuat Kemenkes menyatakan akan segera melakukan program imunisasi ulang di wilayah-wilayah yang terjadi KLB Difteri. Namun pelaksanaan imunisasi masih terdapat kendala. Masih ada sebagaian masyarakat yang menolak dengan alasan vaksin tersebut terdapat kandungan enzim babi. Nah, seberapa penting pemberian imunisasi ini? Bagaimana dengan reaksi masyarakat yang melakukan penolakan? Lalu, Mengapa hanya di wilayah KLB saja program tersebut dilaksanakan?

Kalau kasus ini sudah ditemukan dari 2014, saat ini seharusnya Kemenkes sudah memberikan catatan terhadap penyebaran wabah ini. Jika mengacu SOP, begitu terjadi satu kasus sudah dapat dikategorikan KLB. Seharusnya, setiap imunisi ada yang namanya Universal Child Immunization (UCI) mencakup 80 persen pelaksanaannya. Sehingga wilayah tersebut dapat terlindungi dari berbagai penularan wabah penyakit, salah satunya difteri. Namun, faktanya KLB Difteri tetap terjadi.

Oleh karena itu, muncul pertanyaan apakah selama ini syarat UCI 80 persen yang selalu dilaporkan Kemenkes berbeda dengan fakta di lapangan? Bagaimana dengan anggaran yang selama ini diajukan oleh Kemenkes untuk program-program imunisasi?

Difteri pernah menjadi penyebab utama kematian anak-anak secara global. Di AS, tercatat 206.000 kasus penyakit ini pada tahun 1921, dan 15.520 kasus di antaranya berakhir dengan kematian. Pasca ditemukan vaksinnya, angka kasus penyakit ini turun secara dratis–setidaknya itulah yang tercermin di AS dan negara-negara lainnya.

Masih ingat proyek Namru dari US Navy dengan Kemenkes RI? Semisterius apa proyek Namru saat SBY berkuasa; sehingga Siti Fadillah harus terpental dari jabatannya digantikan Menkes baru, Endang Rahayu? Yang kita tahu kemudian, Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah kasus kematian akibat flu burung terbesar di dunia.

Yang mencengangkan, Virus H5N1 tergolong biotipe baru. Mustahil ini sekadar karya iseng modifikasi gen virus H-N. Apakah di balik kasus wabah difteri juga ada skenario bisnis vaksin?

Sumber: Watyutink.com

Berita Lainnya
Leave a comment