Untuk Kepentingan Umum

Menakar Suksesi Pilpres 2019

Realitas politik di Indonesia saat ini ditandai hancurnya pamor partai politik (parpol) di mata publik, khususnya dengan kasus Setya Novanto (Setnov) sebagai Ketua Umum Partai Golkar, dan sekaligus Ketua DPR-RI. Posisi Partai Golkar direndahkan (downgraded) oleh konstituen Partai Golkar sehingga elektabilitasnya hanya tinggal 7% menurut berbagai survei, padahal pada Pileg 2014 mencapai 14,7%. Bagi senior Golkar Akbar Tandjung hal ini bagaikan kiamat bagi Partai Golkar.

Sementara, citra DPR-RI sebagai lembaga wakil rakyat juga ikut terdegradasi sebagai akibat Setnov yang masih enggan melepas posisi Ketua DPR-RI. Ini terlihat dari sikap Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang terkesan masih memproteksi Setnov.

Realitas konflik menjadi eskalatif karena momentum ini digunakan oleh para aktivis untuk Reuni Gerakan 212 (2 Desember 2017). Kita bisa simpulkan, bahwa gerakan ini sekarang bermetamorfosis menjadi gerakan politik, bukan lagi gerakan sosial atau gerakan moral. Hal ini terlihat jelas dari pidato Ustaz Bachtiar Natsir, salah satu motor gerakan tersebut, yang menginginkan kembali memperkuat ukhuwah islamiyah, khususnya dengan Nahdlatul Ulama (NU) yang selama ini terkesan berseberangan dengan Gerakan 212. Seperti ada keinginan bahwa kelompok Islam harus bersatu untuk kepentingan politik dalam kerangka 2019, walaupun arahnya masih belum berwujud.

Ancaman faksionalitas politik

Jika kelompok Islam, di luar parpol Islam, di Indonesia berkeinginan mempunyai gerakan politik, tentu publik membacanya mengarah pada lembaga politik Islam di luar parpol Islam yang ada selama ini. Positioning-nya bergerak pada bandulan ‘Nasionalisme Islam’ seperti era Tjokroaminoto dengan PSI (Partai Sarekat Islam)-nya, dan Mohammad Natsir dengan partai politik Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) atau NII (Negara Islam Indonesia)/TII (Tentara Islam Indonesia) dengan Kartosuwiryo sebagai motor gerakan yang menginginkan khilafah. Ketiga paham ini ada pada Gerakan 212. Sementara, persepsi sebagian publik pada awalnya terfokus pada figur Habib Rizieq sebagai inisiator, sehingga Gerakan 212 dikonotasikan sebagai ‘kelompok intoleran’ bahkan ‘radikal’.

Realitas politik Indonesia menjadi ancaman bagi demokrasi karena munculnya sentimen primordial yang mengarah pada politik sektarian, walaupun diakui tidak semua kelompok Islam yang ada dalam Gerakan 212 mengarah ke sana (politik). Karena diyakini, jika sudah menjurus pada kelembagaan maka akan mengerucut dan menjadi gejala politik biasa. Maka ujungnya bisa ditebak, dan gerakan ini tidak akan solid lagi dari segi jumlah massa sewaktu reuni. Pelembagaan akan memunculkan kepentingan kelompok dengan ideologi yang berbeda satu satu sama lain. Ini adalah realita politik Islam sejak Pemilu 1955 sampai sekarang, secara faktual tidak pernah bersatu.

Pertikaian, ketidakadilan, dekadensi moral politik, pragmatisme, transaksional, semakin mempertegas telah terjadinya faksionalisme politik, sehingga terjadilah defisit nilai pada mutu demokrasi di Indonesia.

Sikap toleransi yang disemai sejak lama pun pupus begitu saja, diganti dengan sikap saling curiga dan penuh ambisi, serta kecemburuan sosial akibat perlakuan yang tidak adil dalam pada rezim yang sangat pro taipan dan kapitalisme.

Demokrasi seolah telah dibajak oleh kapitalisme, karena Pemerintah memberi contoh terkait kasus pembangunan reklamasi teluk Jakarta dan kota Meikarta. Hal tersebut kemudian diperburuk oleh aparatur negara yang tidak bersih dan tidak berwibawa, dengan indikasi terjadinya kasus korupsi secara transparan di segala sektor. Kasus korupsi e-KTP menunjukkan adanya sindikasi dengan keterlibatan oknum aparat kementerian, oknum DPR dan pengusaha untuk menjarah kekayaan negara.

Sungguh malang nasib bangsa Indonesia, jutaan penduduknya belum memperoleh e-KTP karena kelemahan pemerintahnya, apapun alasannya, Negara terbukti tidak berdaya hanya sekadar mengurus soal KTP.

Bangsa Indonesia tampak telah kehilangan jati diri, karena jati diri sebagai sesuatu yang datang dari Tuhan pasti baik adanya, tapi kehidupan dan ambisi manusia telah mengubah semuanya.

Kita butuh pemimpin yang bisa menjadi teladan

Pemimpin yang mempunyai IQ (Intelligence Quotient) tinggi tapi jika EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient)-nya rendah mata batinnya akan tertutup, sulit menghindar dari kehidupan pragmatisme-transaksional.

Pada saat terjadi disharmoni sosial yang bersifat laten, dan bisa meledak secara tiba-tiba, sejatinya dibutuhkan kepemimpinan yang berjiwa solidarity maker dan tidak memihak (adil). Kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi contoh besar tentang disharmoni sosial, karena timbul ancaman politik sektarian, dan hidup lagi isu pribumi dan non-pribumi, sebagai ekses sikap dan perilaku etnis Cina, dimotori Ahok, dengan kebijakan pembangunan reklamasi teluk Jakarta dan sikapnya sebagai pemimpin yang tidak adil untuk ‘wong cilik’ di Jakarta.

Kemelut di partai politik, seperti di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar juga menunjukkan bahwa saat ini telah terjadi disorganisasi. Kita melihat, bagaimana dualisme kepemimpinan di Partai Golkar semenjak terjadinya konflik internal antara Aburizal Bakrie dengan kelompok Agung Laksono sehingga di akar rumput (grassroot) terpecah. Hal ini diperburuk lagi oleh kehadiran Setnov sebagai Ketua Umum Partai Golkar yang tidak dapat dijadikan teladan dan berdampak buruk bagi Partai Golkar, bahkan bagi DPR-RI.

Ekses dari kasus Ahok, yang kemudian memunculkan Gerakan Politik 212 berpotensi memicu disintegrasi bangsa. Pertengkaran, intoleransi, politik sektarian, separatisme (di Papua), yang akan mengancam Pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dibutuhkan kepemimpinan untuk menjadi inisiator, fasilitator, dan pemicu kesatuan dan integrasi bangsa.

Krisis kepemimpinan di tingkat elite juga berekses pada terjadinya disorientasi, dengan munculnya budaya politik transaksional sehingga marak korupsi di tingkat Kepala Daerah. Semua elite ingin menjadi pengabdi materi dan abdi korupsi. Negara kehilangan pemimpin yang dapat diteladani karena para elite telah berkhianat pada kepentingan nasional yang diamanahkan rakyat ketika Pilkada, Pileg (DPR), dan Pilpres.

Ancaman berikutnya adalah disfungsi organisasi karena tidak adanya ideologi dalam partai politik, sehingga visi dan misinya hanya mengusung kepentingan kelompok belaka dan memprioritaskan kepentingan parpol di atas kepentingan nasional. Hukum menjadi tidak tegas, kualitas pelayanan pemerintahan juga sarat dengan tindak korupsi, institusi politik berubah menjadi gelanggang “dagang sapi” karena biaya politik begitu mahal.

Krisis multi-dimensi, khususnya ekonomi, sejak awal era reformasi belum juga selesai bahkan bertambah buruk, karena semakin tidak terkendali oleh para menteri bidang ekonomi di pemerintahan Joko Widodo.

Di sisi lain, juga terjadi krisis kepemimpinan nasional karena lemahnya faktor kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan yang memicu krisis kepercayaan (public trust). Maka tidak heran jika elektabilitas Joko Widodo pun sudah kurang dari 40%, hal yang tidak lazim secara teori bagi petahana.

Pada Pilpres 2019 dibutuhkan kepemimpinan yang kuat (strong leadership), figur dengan tim ekonomi yang solid sehingga bangsa ini bisa keluar dari krisis ekonomi. Figur yang sangat kuat dengan tim politik yang solid. Figur yang didukung oleh berbagai kekuatan politik secara nasional dan dipilih oleh rakyat untuk memenangkan Pilpres.

Kualifikasi karakter kepemimpinan yang dibutuhkan 2019–2024

Kesalahan kita sebagai bangsa adalah, menganggap bahwa pemimpin harus identik dengan kekayaan bukan aspek integritas, kapasitas, dan kapabilitas karena terikat dengan logistik politik.

Jujur, sampai saat ini era reformasi gagal merekrut pemimpin yang mampu mengatasi krisis multi-dimensi. Dari sekian banyak kesempatan di era reformasi, akibat kita memilih sistem politik dan ekonomi liberal, kita terjebak dalam demokrasi semu. Kapitalisme membajak demokrasi sehingga kekuasaan hanya di tangan orang-orang yang memiliki uang yang kemudian melahirkan oligarki politik.

Kita berharap seluruh kandidat presiden ke depan memperbaiki diri dan bertekad menjadi pemimpin untuk negara, bukan sebagai petugas partai politik. Oleh karena itu, galibnya Capres 2019 harus independen dari kepentingan partai maupun pengurusnya. Koalisi tanpa syarat harus menjadi isu utama walaupun akan sulit dilaksanakan.

Tidak seorangpun yang bisa tiba-tiba menjadi pemimpin; Harus diakui Joko Widodo menjadi presiden terlalu cepat prosesnya, sehingga kurang menyiapkan diri pada aspek kapasitas dan kapabilitas yang saat ini menjadi titik lemahnya. Seharusnya Joko Widodo ditunjang oleh zaken kabinet yang tegak lurus dengan visi dan misinya sebagai Presiden RI, bukan malah masing-masing pembantunya mempunyai agenda pribadi.

Untuk menemukan kembali jati diri bangsa Indonesia pada kepemimpinan nasional diperlukan perumusan kembali, dan syarat penerapan ideologi negara berjalan dengan baik. Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) yang dipimpin oleh DR. Yudi Latief sepertinya bukan solusi karena sejak mulai berdirinya hingga kini, nyaris tidak terdengar aktivitas dan program, serta orientasinya.

Kehendak berubah bangsa Indonesia bersifat ilahiyah sejak Orde Baru ke Orde Reformasi, karena perubahan itu adalah anugerah Tuhan yang bersifat independent will (keinginan mandiri).

Pemilihan presiden terlalu riskan jika hanya diserahkan kepada partai politik yang mengalami dekadensi, penuh intrik, dan hanya mementingkan kepentingan kelompok serta fanatisme sempit sehingga rakyat terabaikan.

Oleh sebab itu, perumusan kualifikasi kepemimpinan menjadi hal mutlak, sebagai peran dari rakyat untuk memaksakan Fakta Integritas terhadap para capres dalam Pilpres 2019. Sebab inti dari kepemimpinan adalah kepribadian yang memancarkan pengaruh, berwibawa dan punya kemampuan manajemen kepemimpinan, sehingga yang dipimpin mau mendukung visi dan misi bersama.

Dalam situasi krisis, diperlukan kepemimpinan yang kuat, tegas, lugas, pengambil risiko (risk taker), dan mampu menempatkan diri sebagai solidarity maker. Faktor inilah yang memunculkan nama Jenderal TNI Gatot Nurmantyo (GN), digadang-gadang untuk Pilpres 2019 dan berperan saat Gerakan 212, sehingga memperoleh simpati dari kelompok Islam.

Namun tetap harus dilihat, setelah dicopot sebagai Panglima TNI, apakah pamornya masih bisa dipertahankan? Kita tunggu saja manuver politik GN setelah pensiun nanti. Hanya saja ada catatan khusus yang mungkin menghambatnya untuk didukung kelompok Islam, karena dia sudah “dielus-elus” Partai Nasdem, serta fakta kedekatannya dengan Tomy Winata (TW) yang bisa menjadi faktor pengurang nilai. Selain itu, juga adalah kurang elok ketika pada tanggal 5 Desember 2017 lalu GN memutasi 85 perwira tinggi TNI, padahal direncanakan tanggal 13 Desember 2017 akan serah terima jabatan sebagai Panglima TNI.

Prabowo Subianto (PS), seteru utama Joko Widodo pada Pilpres 2014 lalu, dalam 3 tahun ini di survei publik elektabilitasnya menempati nomor 2 setelah Joko Widodo. Dalam hitungan kualitatif justru Partai Gerindra dan figur Prabowo Subiato melemah. Sikap dan posisi politiknya sebagai oposisi juga tidak jelas. Dalam arti, momentum Gerakan 212 yang seharusnya “milik PS” diabaikan dengan hanya melibatkan Fadli Zon (FZ), orang kepercayaannya. Terkesan, PS terlalu mudah dilobi oleh Joko Widodo, misalnya dengan lobi berkuda bersama di kediamannya, Hambalang Bogor saat terjadi ketegangan politik 212 tahun 2016 lalu.

Kelemahan utama PS sampai saat ini adalah tidak diterima oleh Amerika Serikat (AS) maupun Cina. Tentu, sebagai kepala negara, dua negara besar ini menentukan hubungan Indonesia di pergaulan internasional.

Apapun, saat ini Joko Widodo, Prabowo Subianto, dan Gatot Nurmantyo adalah kader terbaik bangsa. Masalahnya, apakah ketiga nama ini akan mampu menjadi solusi bagi bangsa Indonesia yang mengalami krisis multi-dimensi saat memimpin bangsa ini ke depan?

Pertanyaan penting bagi kita, apakah mereka bisa menjadi “new hope” (harapan baru) bagi bangsa Indonesia? []

Sumber:Nusantara.news

Berita Lainnya
Leave a comment