Untuk Kepentingan Umum

Parpol Cuma Jadi Agensi

Hiruk pikuk Pilkada Serentak 2018 sudah di depan mata. Ada pesta demokrasi yang digelar di sejumlah daerah. Mulai dari pemilihan kota, kabupaten dan provinsi. Dari rentetan pesta tersebut ada satu benang yang menarik. Munculnya sikap pesmistis dari peran partai politik. Ini bukan masalah politisi yang banyak disorot, soal isu korupsi, kinerja melempem, kasus narkoba, dan lain sebagainya.
Tetapi lebih kepada tugas partai politik melahirkan kader berintegritas, mumpuni, memiliki visi jelas.
Ada semacam rasa kurang percaya diri akan lahir banyak kader dari partai politik. Saya mengambil contoh pilkada di Provinsi Banten. Tahun ini ada empat daerah yang menggelar pilkada, yakni Kota Serang, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Lebak.
Di daerah tersebut, tidak memunculkan nama-nama baru yang akan tampil. Semuanya muka lama, kalaupun baru beririsan dengan muka lama.
Kenapa seperti itu? Ada kekhawatiran di pilkada kali ini, partai politik tidak menjadikan momentum untuk melahirkan kader baru.
Para elite pun menyadari kalau sekarang partai politik hanya menjadi agensi. Seperti agensi iklan yang cuma menampung saja, orang luar untuk ikut kontestasi. Selebihnya mereka menjadi kadar pelengkap saja.
Hampir semua calon yang bakal manggung merupakan petahana dan tidak ada lawannya. Bahkan berpotensi lawan mereka adalah kotak kosong. Di Kabupaten Lebak, nama Iti Oktavia Jayabaya, sepertinya tidak ada lawan. Semua parpol rasanya berbondong-bondong untuk memberikan dukungan kepada Iti. Di Kabupaten Tangerang juga memiliki rasa serupa. Ahmed Zaki Iskandar diprediksi bakal melenggang bebas untuk kembali menjadi bupati. Apalagi di Kota Tangerang, di mana pasangan Arief R Wismansyah-Sachrudin yang sudah mendeklarasi akan kembali bersama.
Begitupun di Kota Serang, Vera Nurlaela Jaman yang bakal memborong partai. Rasa-rasanya bila itu dilakukan, istri Walikota Tubagus Khaerul Jaman ini, akan menang mudah di ibukota Provinsi Banten.
Pertanyaannya, apakah nama-nama tersebut memang memiliki prestasi segudang hingga tidak ada yang berani melawannya. Ataukah kekuatan kapital ditambah jejaring yang luas, membuat para lawan berhitung untuk bersabar hingga lima tahun mendatang.
Kalau dilihat, kekuatan kapital ini yang membuat lawan seolah gentar untuk bertarung. Memang sejumlah parpol pada awalnya membuka pendaftaran untuk calon. Namun, itu hanya sebagai pemanis saja karena yang diusung sudah terlihat.
Hal itu bisa kentara jelang pendaftaran. Tidak muncul nama-nama yang semula optimistis bakal bertarung. Malah sekarang mereka terlihat ketinggalan kereta karena gerbongnya sudah diborong oleh petahana.
Bila ini terjadi, itu merupakan konsekuensi dari demokrasi liberal yang sekarang kita laksanakan. Demokrasi memang terlihat manis, dimana semua orang memiliki hak yang sama untuk dicalonkan. Iya, memang berhak untuk dipilih atau dipilih. Namun perlu diingat konsekuensi dari demokrasi tersebut, kembali kepada pemusatan akumulasi modal. Orang yang berduit yang memiliki peran. Tidak perlu pintar, hebat, punya visi. Cukup punya kapital, semuanya bakal beres.
Ironi memang. Namun itu konsekuensi sistem demokrasi yang mengagungkan liberte, egalite, franite.
Jadi jangan berharap akan menghasilkan pemimpin dari kalangan bawah. Para elite lokal ini, menapak jejaring politik dengan kemudahan. Tidak perlu susah payah dari bawah. Tiba-tiba menjadi orang penting.
Lalu, jika sudah begini apakah mereka akan berpihak kepada orang tak berpunya. Jika merasakan susahnya hidup saja seumur hidup mereka tidak pernah.
Tetapi ini yang menjadi tantangan bagi kita. Masyarakat harus bisa mengawal dan melakukan pengawasan. Partai politik juga harus berbenah untuk melahirkan kader berkualitas dengan visi, integritas dan keberpihakan kepada rakyat.
Agar tidak ada lagi rasa parpol yang hanya menjadi agensi; sebagai prasyarat seseorang untuk maju dalam pesta demokrasi lima tahunan.
Saya yakin dengan kondisi seperti ini harusnya bisa. Pengalaman akan memberikan kita pelajaran. Jika pesta demokrasi sering digelar otomatis bakal lahir sebuah evaluasi. Ini menjadi tugas kita bersama untuk mengawalnya. Saya masih percaya hal itu. (Firda)

Berita Lainnya
Leave a comment