Untuk Kepentingan Umum

Dokter Pada Ngumpul di Kota, Sepi di Desa

Tenaga kesehatan rupanya masih enggan meninggalkan kota. Mereka lebih banyak berpusat di daerah metropolis ketimbang berdarah-darah di desa atau perkampung. Untuk melihatnya, tidak perlu jauh-jauh. Tengok saja ke pulau seberang laut di sebelah utara Jakarta: Kepulauan Seribu.

Jarak Jakarta dengan Kepulauan Seribu hanya sekitar 50 kilometer. Meski begitu, di Jakarta jumlah dokter spesialis kebidanan bisa mencapai seribu dokter, tak ada satu pun dokter kebidanan di Kepulauan Seribu.

Data lain mengungkapkan, jumlah dokter spesialis di perkotaan pada 2016 mencapai 47.530 dokter, sedangkan di pedesaan hanya 545 dokter. Adapun jumlah dokter umum di perkotaan mencapai 39.954 dokter, sedangkan di pedesaan sebanyak 1.093 dokter. Di lain pihak, sebanyak 155.000 posisi tenaga kesehatan di tingkat puskesmas tak terisi.

Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek mengatakan, berdasar data kementeriannya terjadi ketimpangan SDMK (sumber daya manusia kesehatan) di perkotaan dan pedesaan. Ada 12.555 dokter gigi di perkotaan, dibandingkan sebanyak 195 dokter gigi di pedesaan. Ada 217.724 tenaga perawat tersebar di perkotaan, sementara di desa-desa hanya ada 6.311 orang.

Berikutnya, jumlah bidan di perkotaan sebanyak 106.628 orang, sedangkan di pedesaan sebanyak 5.268 orang.
Fakta di atas menunjukkan, tenaga kesehatan kita, mulai dari dokter, bidan hingga perawat bergerombol di kota. Mereka enggan ke daerah. Kenapa kebanyakan tenaga kesehatan enggan mengabdi di daerah? Apakah karena faktor ekonomi dan kenyamanan hidup yang ditawarkan kota?

Ya, tidak bisa dipungkiri, hidup di kota serba enak dan nyaman. Mau apa saja tersedia dan bisa didapat dengan mudah. Namun, bukankah pengabdian sebagai tenaga kesehatan tak hanya memikirkan kesenangan pribadi?

Pemerintah punya program Nusantara Sehat untuk memeratakan akses pelayanan kesehatan di pedesaan. Konon, gaji yang ditawarkan bagi dokter dan tenaga kesehatan lain yang ikut program ini cukup tinggi. Namun faktanya, kenapa ketimpangan SDMK masih tersaji? Apakah angka yang ditawarkan kurang seksi bagi dokter dan perawat generasi milenial?

Sesungguhnya, yang sering dikeluhkan dokter atau perawat yang bertugas di daerah adalah minimnya fasilitas dan infrastruktur yang menunjang kerja mereka. Selain dokter, pasokan alat kesehatan dan obat-obatan pun sering seret. Di Papua ada puskesmas, tapi dokter dan obat tak ada.

Penyebab lain bisa jadi lebih filosofis dan serius. Mungkin sekali generasi milenial yang memilih jadi dokter, perawat atau bidan saat ini pada dasarnya terbiasa hidup enak dan nyaman di kota. Hal ini bikin mereka ogah mengabdi di daerah terpencil yang tak ada sinyal handphone atau wifi. Mungkinkah itu yang terjadi?

Bila iya, maka sebaiknya berdayakan orang desa jadi tenaga kesehatan. Mungkin sekali toh mendidik calon-calon dokter, perawat, atau bidan dari desa dan bila telah lulus mengabdi di desa mereka masing-masing?

Tapi masalahnya, bagaimana mendidik calon dokter bila dari segi pendidikan pun masih terjadi ketimpangan pusat dan daerah? Dan bagaimana pula bila anak daerah yang telah jadi dokter ogah pula mengabdi di daerahnya? Alamak, celaka dua belas itu namanya.

Sumber: watyutink.com

Berita Lainnya
Leave a comment