Untuk Kepentingan Umum

Nih yang Bikin Jokowi Unggul Dibanding Calon Lain

Realitas politik jelang Pilpres 2019 menunjukkan betapa Jokowi masih begitu digdaya. Sebagai incumbent dengan bekal politik memadai, cukup sulit memang mencari penantang sepadan.

Sebagian kalangan bahkan sesumbar Jokowi berpeluang menjadi calon tunggal atau melawan kotak kosong di Pilpres 2019 mendatang. Meski pandangan ini agak berlebihan di satu sisi, namun di sisi lain capres yang muncul dari kubu penantang (selain Prabowo yang dikabarkan meredup kilaunya), memang belum muncul ke permukaan.

Sejauh ini, jika tidak ada aral melintang, start Jokowi untuk bertarung di Pilpres 2019 tak terlalu sulit. Sebab, Jokowi sementara ini memiliki beberapa sisi unggul, di antaranya:

Pertama, menjadi kandidat petahana adalah hal yang amat menguntungkan bagi Jokowi. Segala sumber daya mulai dari modal hingga jejaring lebih mudah dikendalikan dari posisi ini.

Selain itu, sadar atau tidak, jelang pilpres 2019, sang petahana bisa dengan leluasa menguasai ruang-ruang publik lewat rekayasa kebijakan yang prorakyat ataupun aksi-aksi lain yang simpatik.

Sangat jarang terjadi petahana yang tidak melaju untuk masa jabatan yang kedua. Kalaupun ini terjadi, umumnya karena kandidat petahana tersebut memiliki popularitas atau tingkat kepuasan yang amat rendah.

Dr. David Lees, peneliti dari Warwick University misalnya mengatakan bahwa petahana tidak dapat kembali maju karena gagal memenuhi janjinya pada kampanye sebelumnya. Hal ini dialami misalnya oleh mantan Presiden Prancis Francois Hollande beberapa waktu lalu.

Kedua, popularitas Jokowi masih yang teratas jika dibandingkan nama-nama lainnya. Dalam berbagai survei popularitas kandidat presiden, nama Prabowo berada di urutan kedua setelah Jokowi. Pada survei Poltracking 18 Februari 2018, popularitas Jokowi mencapai 45,4 persen, sedangkan Prabowo 19,8 persen.

Begitupula dengan Survei Indobarometer 15 Februari 2018, popularitas Jokowi mencapai 32,7 persen dan Prabowo 19,1 persen.

Di luar itu, lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) juga merilis survei elektabilitas. Berdasarkan hasil top of mind, Jokowi meraih hasil 38,9%. Sedangkan Lembaga Media Survei Nasional (Median) merilis survei elektabilitas Jokowi menempati posisi teratas dengan perolehan suara 36,2%, unggul dari Prabowo yang hanya 23,2%.

Pun begitu, posisi Jokowi belum aman. Sebab, hasil survei popularitas Jokowi tersebut trendnya menurun dari posisi 60 persen di tahun-tahun sebelumnya. Bandingkan dengan Pemilu 2009, survei-survei memperlihatkan tingkat popularitas dan elektabilitas capres petahana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencapai lebih dari 70%. Jika trend penurunan elektabilitas Jokowi terus menurun, ini artinya posisi Jokowi masih rawan disalip.

Ketiga, Jokowi telah mengantongi lima dukungan partai politik. Mereka adalah PDIP (109 kursi atau 19,4% kursi DPR), Golkar (91 kursi atau 16,2% kursi DPR), PPP (39 kursi atau 7% kursi DPR), NasDem (36 kursi atau 6,4% kursi DPR) dan Hanura (16 kursi atau 2,9% kursi DPR). Itu berarti total dukungan yang sudah dikantongi Jokowi saat ini sebesar 52,21%, melebihi syarat minimal presidential threshold (PT) 20 persen kursi di DPR.

Dukungan ini belum termasuk dari Perindo dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Kedua partai baru ini telah resmi menjadi peserta Pemilu 2019 dan mendukung Jokowi sebagai capres. Dengan dukungan tujuh partai tersebut, koalisi politik dan modal Jokowi makin super di Pilpres 2019.

Keempat, jejaring relawan Jokowi yang muncul sejak pilpres 2014 hingga kini masih ‘berdenyut’, bahkan tak menutup kemungkinan tumbuh relawan-relawan baru. Modal sosial sekaligus mesin politik ini memang sengaja “dipelihara” meski masa pemilu telah usai, dan jelang 2019 tombol-tombol relawan siap diaktivasi.

Presiden Jokowi sangat menyadari pentingnya relawan dalam pemenangannya, sehingga tak heran ada beberapa yang ditempatkan di posisi strategis pemerintahan. Jokowi juga menjaga baik hubungan dengan relawan meski sudah menjabat Presiden.

Tercatat, ada beberapa pertemuan Jokowi dengan relawan yang memenangkannya di Pilpres 2014. Di antaranya pertemuan Silatnas ribuan relawan Jokowi di Senayan pada 24 Juli 2016 di Wisma Serbaguna, Senayan. Mereka yang hadir adalah Bara JP, Projo, Seknas Jokowi, Almisbat, Jokowi Mania, Solmet Jokowi, Arus Bawah Jokowi, Duta Jokowi, Kawan Jokowi, Jasmev, Komunitas Alumni Perguruan Tinggi, Sekber Jokowi, GRI, RKIH, Kabar Nawacita, EP For Jokowi, Gerak Indonesia, RPJB, JNIB, Kornas Jokowi, JPKP, Jaman, GK Center, Forkami, dan masih banyak lagi.

Kemudian, Silatnas II pada 11 Agustus 2017 di Hall JIExpo, Kemayoran yang juga dihadiri ribuan relawan. Bulan berikutnya, pertemuan juga digelar antara Rakernas III Projo dengan Jokowi.

Kelima, Jokowi selain memiliki perangkat komunikasi sosial media lewat akun pribadinya seperti youtube, facebook, twitter, dan vlog, yang digunakan untuk menyapa publik serta wadah “pencitraan”, juga dilengkapi tim sosial media yang “militan”.

Di sinilah pegiat media sosial bekerja. Selain dengan relawan, Presiden Jokowi juga merawat hubungan dengan para pegiat media sosial. Ada beberapa kali pertemuan pegiat media sosial (selebtweet, selebgram, youtuber) dengan Presiden Jokowi di Istana, yaitu pada 2 Februari 2016 (tim media), 9 Agustus 2016 (youtuber), dan 24 Agustus (selebgram dan selebtweet).

Jokowi menyadari, media sosial menjadi medan perang paling strategis dalam pemenangan pemilu seperti halnya yang ia lakukan di Pilpres 2014. Mulai dari mengelola isu hingga mengkampanyekan program, semuanya diolah di media sosial, tentu bercampur dengan hoax dan kampanye hitam (black campaign) dari pihak lain. Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon, menuding mereka adalah buzzer untuk 2019.

Meski dianggap tak terkait politik, tapi peran dan keberadaan mereka amat itu, utamanya di tengah era digital yang tengah mewabah masyarakat Indonesia. Kakuatan sosial media Jokow juga efektif untuk menyasar ‘pemilih pemula’ dan generasi milenial pada umumnya yang julahnya lebih dari 10 juta orang.

Soal cara dan perangkat sosial media yang digunakan Jokowi ini, mengingatkan kita pada gaya kampanye Justin Trudeau, Perdana Menteri Kanada. Ia berhasil memenangkan pemilihan karena kelihaian menggunakan perangkat sosial media untuk menyiarkan ativitas dan pesan-pesan politiknya, seperti negvlog, nonton bioskop, kemudian tinju, berkumpul dengan anak-anak, mengajar anak di salah satu skeolahan, dan lain-lain. Dan, apa yang dilakukan Jokowi selama ini, nyaris mirip dengan yang dilakukan Justin.

Sisi-sisi unggul Jokowi tersebut jika mampu dikelola secara baik, dapat memuluskan langkahnya ke istana untuk kedua kalinya. Terlebih, jika ia mampu memilih cawapres yang melengkapi kekurangannya: cawapres yang ahli ekonomi, representasi umat Islam, dari luar Jawa, dan berlatar militer. (nsw/firda)

Berita Lainnya
Leave a comment