Untuk Kepentingan Umum

Kemiskinan Wahabi

Sejarah masyarakat Muslim kaya akan ilmu pengetahuan, budaya dan peradaban. Kekayaan ini berkaitan dengan penyebaran agama Islam dari jazirah Arab sampai Eropa (Spanyol) dan ke kawasan Nusantara yang membentuk seperti bulan sabit.
Bagaimana penyebaran ini bisa diterima dan menyerap semua unsur budaya itu? Bisakah masyarakat Muslim mencapai masa kejayaan itu dengan paham pengkafiran dan perang? Mustahil. Niscaya hikmah menjadi landasan dari penyebaran ini.
Perang yang menjadi titik tertinggi dari Jihad, hanyalah suatu pertahanan diri (self-defense) atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jika ada perang dalam proses penyebaran Islam, itu tak dapat sepenuhnya dipandang sebagai penghancuran peradaban kawasan yang disasar.
Perang adalah pembebasan kawasan seperti halnya pada zaman Nabi Muhammad dalam membebaskan Makkah, ketika semua musuh politik di Makkah diberi pengampunan (amnesti politik) dan pasukan dan pengikut Nabi memasuki Makkah tanpa pertumpahan darah.
Apa dasar utama penyebaran Islam? Kebijaksanaan (hikmah): menghormati agama dan kepercayaan lain, menjunjung keadilan, mencintai ilmu pengetahuan. Ilmuwan Barat yang jujur niscaya mengakui peran besar masyarakat Muslim dalam menerjemahkan dan mengembangkan ilmu dan filsafat Yunani di masyarakat Muslim.
Setelah Dinasti Abbasiah pindah dari Damaskus ke Bagdad, Khalifat al-Mansur memerintahkan kira-kira pada abad ketiga Hijriah atau abad kesembilan Masehi, untuk menerjemahkan warisan ilmu dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Lembaga yang bekerja untuk tugas ini dikenal dengan nama Bait al-Hikmah.
Sejak itu, ilmu logika Yunani yang mempunyai sumbangan besar terhadap ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu pengetahuan umum mulai diserap dan dikembangkan dalam Islam. Ilmu pengetahuan dan teknologi (matematika, fisika, optik, kedokteran), mistik atau tasawuf, arsitektur, seni dan budaya juga berkembang pesat tanpa hambatan.
Perkembangan peradaban ini didasari sifat keterbukaan atau kelenturan ajaran Islam terhadap budaya setempat, sehingga ada dalil dalam Ushul Fiqh: al-adatu muhakkamah, budaya setempat adalah sumber hukum. Meskipun demikian, ada masa-masa kemerosotan dalam masyarakat Muslim, karena konflik internal yang parah dan berbagai masalah sosial politik.
Dalam kondisi kemerosotan ini, pada abad kedelapan belas Masehi, Abd al-Wahhab seperti halnya Ibn Taymiyyah pada abad keempat belas Masehi, mulai memandang rendah dan menilai semua itu bertentangan dengan ajaran Islam yang murni, dengan demikian, orang-orang yang hidup dan mempraktekkan semua itu bukanlah Muslim.
Mereka adalah para penipu yang bertopeng Islam. Maka, semua adat istiadat yang memuja-muja para wali, membangun kuburannya, pendek kata semua tindakan yang tidak sesuai dengan zaman Nabi Muhammad di Madinah, adalah bid’ah. Karena itu, peradaban Islam sejati adalah Masa Madinah dan penganut paham ini biasa disebut kaum Salafi.
Ibn Taymiyyah sebagai pelopor Salafi sudah menyatakan perang terhadap Syiah, Tasawuf dan Filsafat Yunani pada abad keempat belas Masehi. Dia juga menyatakan bahwa berziarah ke makam Nabi dan maulid Nabi adalah peniruan Muslim terhadap umat Kristen yang menyembah Yesus sebagai Tuhan. Abd al-Wahhab menyerap semua ajaran Ibn Taymiyyah ini tanpa ragu sedikit pun.
Salah satu ajaran Abd al-Wahhab yang terpenting adalah konsep takfir atau pengkafiran. Dengan paham takfiri ini, Abd al-Wahhab dan para pengikutnya bebas menilai sesama Muslim sebagai kafir yang melanggar ajaran al-Qur’an. Dengan demikian, siapapun yang tidak menerima paham ini menjadi halal darahnya, atau harus dibunuh.
Selanjutnya, Abd al-Wahhab menuntut kesepakatan yang harus dibuktikan secara jasmani dan nyata. Dia berpendapat bahwa semua Muslim harus secara pribadi berikrar atau baiat untuk tunduk dan taat kepada seorang pemimpin Muslim (seorang Khalifah). Jadi inilah asal usul paham Khilafah Wahabi. Orang-orang yang menentang pandangan ini harus dibunuh, istri dan anak gadis mereka boleh dihajar, harta benda mereka boleh dirampas. Inilah yang secara nyata saat ini diyakini dan dipraktekkan ISIS di Irak dan Suriah.
Dengan demikian, betapa miskinnya paham Wahabi itu. Islam yang terbuka dan bijaksana, Islam yang lentur dan cinta ilmu pengetahuan dan kemanusiaan, Islam yang kaya harus dimusnahkan oleh paham Wahabi yang miskin itu. Irak yang sudah diserang pasukan multi-nasional pimpinan AS, telah mengalami kehancuran, dan hampir semua warisan sejarah dan budaya Islam kini musnah.
Ini sama dengan paham Wahabi, dan semua rejim yang berkuasa di Arab diam saja, kecuali Muammar Gadaffi, dan tentu saja sikap Suriah yang terbuka untuk mengatasi bencana invasi militer itu. Bayangkan, seperti apa sebuah generasi yang kehilangan ingatan tentang sejarah masyarakatnya. Tak dapat disangkal bahwa paham Wahabi pada akhirnya mengesahkan terorisme dan fasisme seperti zaman invasi Jepang pada pertengahan abad kedua puluh.
Kini, negara-negara kerajaan Arab telah mendapatkan kekayaan luar biasa karena deposit minyak dunia. Peradaban yang berkembang hanyalah pemusatan dan penumpukan kekayaan di pusat-pusat kota seperti Riyad, Dubai, Dhoha, sementara umat Islam di luar itu tetap mengalami kemiskinan dan ditarik menjadi pekerja dan pembangun peradaban yang bermuka dua alias munafik.
Kemiskinan mendorong orang pada kekafiran atau perilaku biadab. Kemiskinan Wahabi itulah yang sebenarnya mendorong semua perilaku munafik, paham takfiri dan anti kemanusiaan yang adil dan beradab.
Hidayat Purnama alias Day Sang Pengelana
Berita Lainnya
Leave a comment