Untuk Kepentingan Umum

Riwayat Kegagalan Gajah Mada (1357) di Tanah Sunda

ilustrasi

Tindakan Gajah Mada tidak semuanya berhasil. Sesudah tahun 1340 bintangnya naik, namun dalam tahun 1357 berlaku dua kejadian yang berarti.

Dalam tahun itu, panglima Tumenggung Nala berlayar menuju Pulau Sumbawa, dan serangan Dompo memberi hasil yang menyenangkan.

Kemenangan ini memberi akibat, karena Sumbawa lalu berlindung di bawah negara Majapahit, dan sampai sekarang di pulau itu didapati bekasbekas yang menandakan serangan yang berlaku dalam tahun 1357.

Selain serangan menuju ke timur Nusantara, ada pula berlaku riwayat yang romantik dan siasat yang gagal. Riwayat ini dinamai Sundayana, berisi suatu perkawinan yang tak jadi berlangsung dan menumpahkan darah di Majapahit.

Raja Linggabhuwana dari Kerajaan Sunda (Pajajaran) memunyai seorang anak putri yang sangat masyhur kecantikannya. Dalam tahun 1357 berlangsunglah pertentangan hebat antara negara Pasundan Baru itu dengan Majapahit.

Raja Hayam Wuruk telah cukup usianya hendak beristri; ke segala penjuru kerajaan dikirimnya utusan. Akan tetapi, segala lukisan yang dikirimkan ke Majapahit tidak ada yang menarik hati Sang Prabu muda, berbeda daripada lukisan putri Parahyangan yang bernama Diyah Pitaloka atau Citrasymi.

Ayahanda Hayam Wuruk lalu mengutus Patih Madu pergi meminang putri itu di keraton Sunda. Pinangan itu diterima, sehingga Sang Prabu Pasundan bersama-sama dengan beberapa orang menak dan bala tentara berlayarlah menuju Jawa Timur.

Setelah sampai, lalu mendarat di Bubat, dan di sanalah mereka menanti jemputan upacara dari pihak Majapahit. Sebenarnya Sang Prabu Hayam Wuruk hendak pergi dengan segera ke Bubat itu, tetapi waktu itu Patih Gajah Mada menjalankan tindakan politik.

Menurut siasatnya, maka pada waktu itulah hendaknya Maharaja Pajajaran mengakui kedaulatan Majapahit, dengan menerima upacara yang biasa saja. Tetapi siasat ini dipandang oleh orang Sunda sebagai suatu penghinaan, sehingga timbullah silang selisih.

Gajah Mada didesak oleh empat orang menteri Pajajaran, yang memperingatkan Perjanjian Madu dan adat upacara yang semestinya. Gajah Mada marah dan mengeluarkan perkataan yang pedas-pedas, sehingga keadaan tambah genting.

Selain itu Gajah Mada mula-mula tidak mau menerima para utusan itu, dan dalam pembicaraan diterangkannya pula, supaya putri Pasundan diterima dengan upacara yang sederhana saja. Keadaan ini menambah marah orang Pasundan, yang tak dapat dipadamkan, walaupun Smaranata mencoba membujuk, supaya suka menantikan putusan sidang Mahkota.

Dalam pertengkaran hebat ini utusan Pajajaran yang bernama Patih Anepaken mencela dengan keras sikap Mangkubumi Gajah Mada, apalagi karena orang Majapahit bukan sedikit mendapat bantuan dari orang Pasundan, ketika menaklukkan Pulau Bali.

Sebelum ada putusan sidang Mahkota, Gajah Mada telah melakukan serangan di sebelah utara kota Majapahit. Maka pecahlah peperangan. Tentara Pajajaran berperang dengan penuh semangat, dan pantang mengalah, sehingga beberapa kali mendapat kemenangan.

Kedua belah pihak meninggalkan korban jiwa yang tidak terhitung banyaknya. Dalam peperangan Bubat itu, Raja Pajajaran meninggal dunia. Dan kabarnya konon beberapa ketika sesudah itu maka Putri Diyah Pitaloka meninggal dunia pula, remuk rendam lalu merana. Inilah perjuangan cinta yang tak kunjung sampai, dan kasih berahi yang berlumur dengan darah.

Kejadian yang di atas menimbulkan perasaan yang kurang baik kepada Gajah Mada, karena penganjur itu bertindak khilaf hendak membawa segala urusan kepada lingkungan persatuan negara.

Tingkah lakunya itu menusuk hati rakyat Pasundan dan hati sang Prabu Mahkota Hayam Wuruk, sehingga semenjak itu Sang Prabu bersifat sangat dingin kepada perdana menteri yang memang telah berdosa itu.

Sebaliknya pula, maka tindakan raja reda menjadikan ahli negara Gajah Mada jadi pelamar pengantin, adalah pula suatu tindakan yang jauh daripada bijaksana dan memang suatu keadaan yang kurang pantas. (den)

Berita Lainnya
Leave a comment