Untuk Kepentingan Umum

Upaya Belanda Menyingkirkan Dukun Beranak

(foto : istimewa)

Setelah Kementerian Kesehatan mengeluarkan pedoman kemitraan bidan-dukun pada 2008, dukun beranak tak lagi mendapat izin menangani pasien sendirian. Mereka hanya diizinkan membantu bidan menangani persalinan.

Sebelumnya, pemerintah juga melakukan penataran tentang hiegenitas persalinan pada para dukun beranak. Kebijakan macam ini juga pernah diterapkan pemerintah kolonial pada akhir abad ke-19.

Kemunculan kebijakan pemerintah kolonial itu merupakan buntut dari pendirian sekolah bidan di Batavia tahun 1825 yang minim peminat. Kalangan bumiputera dan indo lebih mempercayakan  persalinan mereka kepada dukun beranak. “Bahkan zaman pemerintah Belanda yang masuk sekolah itu dipaksa-paksa saking nggak ada orang yang mau masuk. Akhirnya kan tutup,” kata sejarawan Martina Safitry.

Pemerintah kemudian mendirikan sekolah bidan baru pada 1886. Lulusan sekolah ini pun mengalami kendala karena penduduk bumiputera terbiasa melahirkan di dukun beranak. “Gaji buruk, hampir tidak ada upah tambahan, oposisi dari dukun yang tidak suka pekerjaan mereka diambil alih, oposisi dari penduduk yang tidak suka meninggalkan tradisinya,” keluh dokter HB van Buuren, yang bertugas di Kediri, seperti dikutip Liesbeth Hesselink dalam  Healers on the Colonial Market: Native Doctors and Midwives in the Dutch East Indies.

Pada Mei 1898, semua pejabat dan dukun bayi dari Kediri berkumpul. Pertemuan itu antara lain memperkenalkan Djasminah dan Tasminten, dua bidan baru yang akan bertugas di wilayah Kediri. Pemerintah berharap dengan hadirnya bidan, masyarakat tak lagi meminta bantuan dukun beranak untuk menangani orang melahirkan.

Kebijakan itu diikuti dengan pencatatan para dukun di Kediri oleh wedono (pemimpin daerah) setempat. Para dukun juga tidak diperbolehkan membantu persalinan lagi. Mereka hanya diizinkan membersamai para bidan. Tugas mereka baru dimulai setelah proses kelahiran selesai, sebagai dukun bayi.

Para dukun itu mendapat pelatihan dari dokter pemerintah. “Ada pelatihan dukun beranak dari pemerintah Belanda cuma nggak masif. Para dukun ini diajari tentang hiegenitas persalinan,” kata Martina.

Pelatihan itu sebelumnya ditolak beberapa pihak lewat berbagai perdebatan. Kepala Pelayanan Medis H. van Lokhorst berpendapat, akan sangat sulit melatih dukun beranak karena takhayul yang mereka percayai dan umumnya para dukun sudah lanjut usia. Ketidaksukaan kepada dukun beranak juga di katakan Van Buuren, yang menggambarkan dukun beranak sebagai orangtua yang tidak memadai dan tidak mampu membantu persalinan.

Penilaian Van Buuren itu keluar setelah dia dibantu seorang dokter Jawa dan seorang penerjemah menemui 35 dukun beranak. Dari pertemuan itu dia mendapati para dukun minim pengetahuan dan beberapa dukun buta atau tuli serta memiliki berbagai penyakit kulit. Van Buuren bahkan menyebut mereka sebagai “malaikat kematian lokal”.

Sementara para dokter Belanda tidak menyukai dukun beranak, beberapa dokter Jawa justru menaruh hormat pada para dukun beranak karena pengetahuan mereka seputar penyakit kulit, gangguan perut, dan persalinan. “Mereka (dokter Belanda, red.) kan sebetulnya mau menyingkirkan pengobatan tradisional dengan pengobatan barat. Padahal, pengobatan modern yang mereka bawa asal ilmunya dari negara-negara jajahan yang dibawa ke Eropa untuk diuji,” kata Martina.

Upaya pemerintah Belanda untuk menggeser peran dukun itu lalu ditentang seorang dukun. Hingga akhir Juni 1898 si dukun tetap memberi bantuan persalinan. Van Buuren lalu menghimbau penduduk agar tak meminta bantuan persalinan pada dukun beranak. Upaya itu gagal, para penduduk menolak karena tak ada peraturan dari polisi.

“Akhirnya ada kebijakan si bidan sama si dukun beranak itu saling berjalan bersama. Soalnya kalau jalan sendiri-sendiri nggak bisa. Dulu orang lebih percaya ke dukun beranak dibanding ke bidan atau dokter,” kata Martina.

Berita Lainnya
Leave a comment