Untuk Kepentingan Umum

18 Tahun Banten, Feodalisme Masih Berurat Akar

Gufroni (kanan) bersama Novel Baswedan (kiri)

Hari ini, 4 Oktober 2018, Provinsi Banten genap berusia 18 tahun. Usia yang cukup matang untuk sebuah daerah otonom hasil pemekaran dari Jawa Barat 4 Oktober 2000 silam.

Cita-cita awal Banten berdiri sendiri sebagai sebuah provinsi adalah mengejar ketertinggalan dari provinsi lainnya, karena maklum saja, sebagai wilayah yang jauh dengan Ibukota Provinsi saat bergabung dengan Jawa Barat, sebagian wilayah Banten, terutama Banten selatan kondisinya sangat memprihatinkan.

Sehingga, ketika Banten resmi menjadi daerah otonom, harapan terwujudnya kemakmuran dan keadilan pembangunan pun mimpi utama yang harus dilunasi para penyelenggara pemerintahan, sebuah mimpi yang akhirnya menjadi rumit, ketika provinsi yang juga dikenal sebagai tanah para jawara dan ulama ini dikenal karena kasus korupsinya.

Kepada TangerangNews.com, pegiat anti korupsi Banten Bersih Gufroni mengisahkan kembali perjalanan provinsi yang menurutnya memiliki banyak potensi yang belum digali. Ia bercerita, kemiskinan yang diderita warga di Banten Selatan karena belum beringsutnya mentalitas budaya feodalisme dalam diri birokrat di Banten.

“Max Havelaar dalam novelnya Multatuli bahwa Banten sangat sarat dengan feodalisme yang kuat mengakar dimana pejabatnya bak raja yang harus dilayani rakyatnya maka tak mudah mewujudkan cita-cita dan harapan Banten bisa disejajarkan dengan provinsi lain hingga hari ini,” tuturnya, Kamis (4/10/2018).

Kondisi ini, kata dia sungguh miris, karena jarak antara Banten dengan Ibukota Negara, Jakarta hanya selemparan batu. Namun, provinsi ini masih juga berkutat pada persoalan yang sama yaitu kemiskinan, buruknya kesehatan, pendidikan yang rendah, feodalisme para pejabatnya hingga makin menguatnya dinasti di Banten.

Hal ini menurut dosen fakultas hukum di Universitas Muhamadiyah Tangerang (UMT) itu, belum banyak berubah, meski Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah membongkar praktik korupsi yang massif ketika dinasti Hasan Sochib berkuasa, bahkan, mantan Gubernur Banten yakni Ratu Atut Chosiyah dan TB Chaeri Wardana atau Wawan yang tak lain anak dari Hasan Sochib sudah menjadi narapidana kasus korupsi.

“Ternyata dinasti yang sudah dibangun sejak lama tidak mudah untuk diluluhlantakan. Bahkan makin menggurita dan menguasai berbagai posisi penting baik di tingkat Pemerintahan Provinsi, Kabupaten atau Kota, sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah, juga sebagai anggota parlemen baik di pusat maupun daerah,” bebernya lagi.

Bahkan, lanjut dia, untuk Pemilu Legislatif pada tahun 2019, dinasti ini sudah menempatkan orang-orangnya untuk bisa merebut kursi-kursi sebagai anggota dewan dan DPD.

Gufroni juga mengatakan, fenomena ini membuat KPK masih menempatkan orang-orangnya di Banten untuk mengawasi kinerja para pejabat baik dalam rangka pencegahan maupun penindakan. Beberapa daerah masih dalam pengawasan ketat, seperti Pandeglang, Lebak dan Cilegon, tak terkecuali juga Pemprov Banten.

Hal ini, bebernya, dipicu karena berdasarkan data, korupsi di Banten masih tetap marak terjadi dan pelakunya bukan hanya pejabat tapi juga sampai melibatkan kepala desa yang tersangkut korupsi dana desa.

“Tentu ini pekerjaan rumah bagi Aparat Penegak Hukum (APH) baik kejaksaan, kepolisian dan KPK untuk menuntaskan berbagai kasus korupsi yang massif ini,” imbuhnya.

Sehingga, menurut dia, meski telah 18 tahun menjadi daerah otonom, masih perlu perjuangan keras seluruh elemen masyarakat untuk mewujudkan Banten bersih dari segala macam praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah kadung mengakar. Butuh puluhan tahun untuk membebaskan Banten dari belenggu kemiskinan dan watak feodalisme.

“Maka saatnya kelas menengah untuk merapatkan barisan untuk mendobrak kebekuan dan kebuntuan. Kita tidak bisa berharap kepada pejabat di Banten untuk mengubah kondisi dari gelap gulita menuju abad pencerahan Banten,” tandasnya.

Berita Lainnya