Untuk Kepentingan Umum

M Jusuf, Sang Jenderal yang Benci Rokok

SEJAK dipercaya Presiden Soeharto menjadi Menhankam/Panglima ABRI dalam Kabinet Pembangunan III (1978-1983), Jenderal M. Jusuf langsung “berlari” untuk membenahi banyak hal di tubuh militer Indonesia. Mulai kesejahteraan prajurit hingga modernisasi alutsista, semua mendapat banyak perhatian darinya.

Modernisasi alutsista dilakukan Jusuf antara lain dengan mendatangkan beberapa pesawat C-130 Hercules untuk melengkapi skuadron angkut berat TNI-AU. Dua di antaranya merupakan Hercules tipe C-130 H(S) yang, termasuk paling modern di eranya, didatangkan pada 1981. Kedua Hercules tipe ini, dengan nomor registrasi A-1314 dan A-1341, ditempatkan di bawah Skadron Udara 17 VVIP.

Hercules A-1314 merupakan pesawat yang biasa digunakan Jusuf untuk menjalankan tugasnya, mewujudkan kemanunggalan ABRI dengan rakyat. Tugas ini dipesankan langsung Presiden Soeharto saat memberitahu Jusuf untuk memimpin ABRI. Jusuf mengejawantahkan perintah itu dengan rutin melakukan tinjaun lapangan ke berbagai pelosok tanah air tempat barak-barak prajurit berada. Jusuf lebih senang turun ke lapangan ketimbang duduk tenang di balik meja.

“Antara tahun 1978-1983, Jusuf identik dengan perjalanan keliling Indonesia. Perjalanan pun identik dengan hidup, makan, tidur di dalam perut Hercules,” tulis Atmadji Sumarkidjo dalam biografi Jusuf, Jenderal M. Jusuf: Panglima Para Prajurit.

Dalam tiap kunjungan kerjanya, Jusuf selalu membawa rombongan. Selain petinggi ABRI dan kepala staf tiap angkatan, Jusuf biasa mengajak wartawan. Jusuf amat peduli pers sehingga perhatian lebih pun didapatkan para kuli tinta yang menyertai kunjungan-kunjungannya. Perhatian itu antara lain dilakukan Jusuf dengan memerintahkan Kapuspen ABRI Brigjen Entjung AS untuk menjemput para wartawan yang akan diajak meliput kunjungan kerjanya dari rumah masing-masing. Maklum, Jusuf biasa memulai perjalanan di tengah malam atau pagi buta saat ayam belum berkokok. Di atas pesawat selama penerbangan, Jusuf kerap mengobrol santai dengan para wartawan yang ikut soal hal-hal remeh, seperti menanyakan kabar atau menyarankan seorang wartawan merapikan rambut agar terlihat rapi.

Kendati lebih banyak duduk di cockpit, Jusuf sering berjalan untuk mengobrol atau sekadar mengecek keadaan di dalam pesawat selama penerbangan. Dalam kesempatan itulah dia sering melihat para wartawan tertidur akibat kelelahan. Kepada wartawan yang kedapatan tertidur, Jusuf kerap mengeluarkan gurauannya setelah si wartawan bangun. “Wah, enak sekali kalian ini, sudah nggak bayar naik pesawat terbang, tidurnya pulas pula,” kata jenderal yang selalu bicara ceplas-ceplos itu. Para wartawan pun langsung tertawa karena tahu Jusuf bercanda.

Namun, tidak ada yang berani terang-terangan kalau soal rokok. Semua tahu Jusuf benci rokok. Para penumpang, terutama para jenderal yang mengikuti perjalanan Jusuf, biasanya sembunyi-sembunyi untuk merokok. Mereka baru merokok setelah mengetahui Jusuf kembali ke cockpit. Kegiatan itu mereka lakukan di kabin belakang yang secara tidak tertulis “ditetapkan” sebagai tempat merokok.

Suatu ketika, Jusuf memergoki seorang jenderal sedang merokok. “Wah..wah…merokok ini jenderal,” kata Jusuf. Kontan sang jenderal deg-degan. Namun, Kapolri Jenderal Awaluddin Djamin barangkali yang paling apes soal rokok. Saat sedang asik merokok, tiba-tiba dia melihat Jusuf sedang berjalan dan sudah dekat dengannya. Awaluddin yang kaget, secara refleks langsung mematikan rokok dengan cara meremasnya. Kontan tangannya pun mengalami luka bakar. Namun ketimbang dimarahi Jusuf, Awaluddin memilih menahan rasa sakit itu.

“Setelah itu ada semacam rules yang baru: yang duduk di depan pintu menjadi semacam ‘pengintai’ dan kalau melihat Menhankam jalan ke belakang, harus cepat-cepat memberi ‘tanda berbahaya’. Secepat kilat rokok-rokok dimatikan, dan para perokok kemudian mengipas-ngipas supaya sisa asap cepat hilang sebelum Jusuf sampai ke kabin itu,” tulis Atmadji. (Historia)

Berita Lainnya