Untuk Kepentingan Umum

Membentuk Sekutu Politik

Ilustrasi

Dalam dunia politik pernikahan bisa jadi jalan membentuk persekutuan. Tujuannya untuk mengukuhkan kedudukan, baik sebagai raja maupun penguasa daerah. Perkawinan politis antar keluarga penguasa tercatat dalam banyak prasasti Jawa Kuno, seperti beberapa prasasti masa Mataram Kuno.

Prasasti Mungu Antan (887) menyebut Sang Hadyan Palutungan, selir Sang Dewata ing Pastika atau Rakai Pikatan, raja Mataram Kuno. Ia adalah adik dari Sang Pamgat Munggu.

Prasasti Taji (901) menyebut Sri Bharu Dyah Dheta, anak Rakryan I Wungkaltihang Pu Sanggramadhurandhara, menjadi istri Sang Pamgat Dmung Pu Cintya Pu Sanggramadhurandhara yang mempunyai kedudukan rakarayan i wungkaltihang.

“Itu bersinonim dengan rakarayan I halu adalah anak raja yang mempunyai urutan kedua atas takhta setelah putra mahkota atau rakarayan mapatih I hino,” tulis Titi Surti Nastiti, ahli epigrafi Pusat Penlitian Arkeologi Nasional, dalam Perempuan Jawa.

Lewat Prasasti Cungran II dan Prasasti Geweg diketahui bahwa Mpu Sindok, penguasa Mataram Kuno di Jawa Timur menikahi putri dari Rakryan Bawang. Ia dijadikannya permaisuri bergelar Sri Parameswari Dyah Warddhani Pu Kbi.

“Perkawinan politis antara raja atau kerabat dekatnya dengan putri atau kerabat dekat bangsawan yang berada di bawah kekuasaannya bertujuan untuk memperkokoh kedudukannya,” kata Titi.

Bahkan untuk tujuan yang sama, kalau memungkinkan perkawinan antar sepupu pun dilakukan. Lumrah terjadi di Jawa. Padahal dalam aturan hukum India tak diperkenankan.

Kitab Manawadharmasastra melarang seorang lelaki menikah dengan perempuan yang masih sapinda atau ada hubungan tujuh generasi dari pihak ayah dan lima generasi dari pihak ibu dengan si laki-laki.

Namun, dalam prasasti maupun naskah Jawa Kuno, sering disebut pernikahan antarsaudara sepupu. Terutama mereka yang berasal dari kalangan kerajaan. “Mungkin ini dilakukan untuk menjaga harta mereka supaya tak jatuh ke tangan orang lain,” jelas Titi.

Perkawinan semacam itu disebut dalam prasasti paling tidak sejak masa Dharmawangsa Tguh, penguasa Medang pada periode Jawa Timur. Misalnya, Prasasti Pucangan (1037) mengisahkan perkawinan Airlangga dengan putri Tguh.

Dalam naskah Nagarakrtagama atau Desawarnana disebutkan, Kertarajasa atau Raden Wijaya menikahi empat putri Krtanegara. Mereka adalah sepupu, kendati sepupu derajat ketiga.

“Ayah Kertarajasa, Dyah Lembu Tal, masih saudara sepupu Kertanegara,” jelas Titi.

Perkawinan lainnya terjadi lagi pada masa Majapahit. Raja Hayam Wuruk menikah dengan anak suami bibinya. Wikramawarddhana menikah dengan Kusumawarddhani, putri kakak laki-laki ibunya. Sedangkan Dewi Suhita menikah dengan Ratnapangkaja, anak dari adik perempuan ayahnya.

Wijayaparakramawarddhana manikah dengan Jayawarddhani, putri adik perempuan ayahnya. Sementara Rajasawarddhana menikah dengan Bhre Tanjungpura, putri dari adik laki-laki ayahnya.

Girisawarddhana menikah dengan Bhre Kabalan. Penguasa wilayah Kabalan itu adalah cucu perempuan adik kakeknya. Terakhir, Singhawikramawarddhana menikah dengan Bhre Singhapura, putri dari anak sepupunya.

Penguasa-penguasa daerah Majapahit pun banyak yang diikat dengan perkawinan. Mereka biasanya kerabat dekat raja. Banyak juga yang masih saudara sepupu.

Seperti tertulis dalam Prasasti Trowulan II dan Pararaton, Bhre Tumapel Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawarddhana mempunyai istri Bhre Singhapura Dyah Sripura Rajasawarddhanadewi.

Pararaton mencatat, mereka masih saudara sepupu. Ayah Dyah Suprabhawa yang bernama Girisawarddhana adalah kakak laki-laki ibunya Rajasawarddhanadewi.

“Perkawinan antarsaudara sepupu juga adalah perkawinan politis yang sudah dilakukan sejak masa Mataram Kuno,” jelas Titi. “Dimaksudkan untuk menghindarkan kekuasaan mereka jatuh ke kekeluarga lain.”

Kebiasaan itu berlanjut hingga masa kerajaan-kerajaan Islam. Misalnya, pada abad ke-18, Sunan Surakarta menjadikan sejumlah perempuan dari Pulau Madura sebagai permaisuri. Pernikahan ini dilaksanakan untuk memastikan hubungan baik dengan para penguasa lokal Madura.

Menurut sejarawan Peter Carey dalam Perempuan-Perempuan Jawa relasi semacam itu disebut sebagai politik penyambung dengan daerah bawahan. Fungsi utama putri raja dan bangsawan keraton dalam tahun-tahun menjelang Perang Jawa, adalah sebagai pemelihara dinasti atau wangsa dan sebagai wadah untuk berprokreasi.

Kendati demikian, perkawinan politis tak menjamin hubungan yang langgeng. Seperti terjadi pada masa Singhasari. Kertanegara adalah penguasa yang memakai jalan pernikahan untuk membentuk sekutu politik. Ia mengirimkan putrinya, Dewi Tapasi untuk dinikahi raja Champa. Champa merupakan benteng pertama untuk membendung pengaruh kekuasaan Khubilai Khan.

Pun dengan maksud agar jangan timbul kekeruhan dalam negeri selama tentara Singhasari bertugas di negeri Melayu, Ardaraja, putra penguasa Glang Glang yang menjadi bawahan Singhasari, diambil mantu. Sementara Wijaya, panglima perang Singhasari, dinikahkan dengan keempat putri Kertanegara.

Dalam Prasasti Kudadu, Ardaraja disebut putra Raja Jayakatwang. Kertanegara memerintahkannya bersama Wijaya untuk menjumpai musuh yang datang dari utara, yaitu tentara Jayakatwang. Ardaraja bimbang dan memutuskan menyeberang ke pihak musuh. Akibatnya Wijaya mengalami kekalahan.

Menjamin persekutuan politik dengan pernikahan pun rupanya tak sekuat yang diduga. Apa daya, gempuran Jayakatwang, yang telah berhubungan besan pun tak disangka-sangka malah yang mengakibatkan kejatuhan Singhasari. (his/daw)

Berita Lainnya