Untuk Kepentingan Umum

Demokrasi dan Relevansi Terciptanya Kesejahteraan Masyarakat

Demokrasi Euy

Demokrasi bisa dikatakan sistem politik yang paling banyak diterapkan oleh negara-negara pada abad ini. Hampir semua negara menjalankan sistem yang sudah berkembang sejak ratusan tahun lampau.

Konsep pemikiran politik tentang demokrasi sejatinya sudah dicetuskan oleh Plato, Socrates, Aquinos, JJ Russeau, Agustinus hingga Engels. Mereka membicarakan demokrasi dari pelbagai sudut pandang. Namun pada intinya, demokrasi ini sebetulnya untuk mewujudkan masyarakat sejahtera. Dimana distribusi kesejahteraan terbagi secara merata.

Namun, pada nyatanya tidak semua konsep demokrasi itu bisa menghadirkan kesejateraan. Namun lebih kepada penciptaan ideal sebuah masyarakat yang bisa hidup dengan kekayaan yang setara.

Kita bisa ambil contoh di Indonesia yang sejak puluhan tahun berdiri, sejak kemerdekaan dikumandangkan 17 Agustus 1945. Pergolakan tentang demokrasi sudah ada ketika Nusantara ini lahir dan dideklarasikan Soekarno-Hatta. Bung Karno pernah mencetuskan demokrasi terpimpin. Yakni sebuah demokrasi yang seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin negara. Konsep sistem Demokrasi Terpimpin pertama kali diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956.

Kemudian ada demokrasi liberal, yaitu sistem politik yang menganut kebebasan individu. Nah, di Indonesia ini juga pernah diterapkan pada era Presiden Soekarno, yakni Pelaksanaan demokrasi liberal sesuai dengan konstitusi yang berlaku saat itu, yakni Undang Undang Dasar Sementara 1950. Kondisi ini bahkan sudah dirintis sejak dikeluarkannya maklumat pemerintah tanggal 16 Oktober 1945 dan maklumat tanggal 3 November 1945, tetapi kemudian terbukti bahwa demokrasi liberal atau parlementer yang meniru sistem Eropa Barat kurang sesuai diterapkan di Indonesia. Tetapi seiring berjalannya waktu demokrasi ini kemudian diganti demokrasi terpimpin yang rontok setelah Soekarno kehilangan kekuasaannya pasca 30 September 1965.

Praktis, sejak saat itu, bung Besar sudah tak punya kuasa lagi untuk kemudian digantikan Soeharto. Mantan Pangkostrad ini dalam sejarahnya kemudian menjadi presiden terlama di republik ini, 32 tahun. Selama ia berkuasa, pemilihan umum, sebagai representasi sebuah negara demokrasi, dilaksanakan. Tetapi dalam prosesnya, kecurangan, intrik, manipulasi diduga terjadi selama Soeharto menjadi presiden. Selama kekuasaannya, demokrasi diganti dengan musyawarah mufakat. Yang menurutnya lebih Indonesia ketimbang demokrasi yang sejatinya adalah produk barat. Tetapi demokrasi yang kemudian mengalami pelbagai komodifikasi berjalan hingga kini. Sejak reformasi berjalan pada 1998, demokrasi kita mengalami pasang surut. Mulai dari pemilihan legislatif, presiden, gubernur, hingga walikota dan bupati.

Semuanya dilakukan secara terbuka atau langsung. Jika dulu pemilu hanya mainan kelompok-kelompok elite. Sekarang lapisan masyarakat bisa merasakan ruhnya. Walaupun kelompok elite tetap mengontrol dan memainkan peranan signifikan dari sistem ini.

Bisa dilihat dari sejumlah pemenang pemilu, hampir semua berasal dari kelompok elite atau penguasa lokal untuk di daerah. Rata-rata ongkos yang dihabiskan peserta pemilu untuk bisa menang dalam kontestasi mencapai miliaran rupiah. Hal ini juga diakui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang mengatakan, untuk menjadi calon bupati minimal harus mengeluarkan uang Rp30 miliar. Angka itu untuk membiayai kampanye, mahar politik, dan sebagainya. Maka itu, jangan heran ketika menjabat, kemungkinan untuk korupsi sangat besar.

Ungkapan sang Mendagri untuk merespon terkait pilkada langsung yang dinilainya belum cukup baik untuk mencetak pemimpin berkualitas. Persoalannya, apakah ketika hal ini terjadi lantas mengugurkan demokrasi langsung yang kini sudah berjalan dan dikembalikan ke masa lampau, yang jelas-jelas banyak kebobrokannya. Kondisi itu memang terjadi, namun tak lantas kita harus kembali lagi ke masa lalu.   https://www.teropongsenayan.com/107175-ungkap-biaya-pilkada-tito-bupati-30-m-gubernur-lebih-mahal-lagi

Ungkapan Tito tersebut menjelaskan bahwa orang-orang berduit yang memiliki akses untuk berkuasa. Sementara mayoritas orang yang tidak punya uang hanya menjadi penonton saja. Sementara kelompok masyarakat yang punya kesadaran politik, namun minim pembiayaan, perannya hanya sebagai tim sukses saja.

Mahalnya biaya politik bisa jadi akan menurunkan kualitas demokrasi itu sendiri. Soalnya yang punya akses adalah kelompok berpunya. Mereka yang sedari awal kaya, bisa jadi keluarga saudagar, yang otaknya hanya berisi untung-rugi. Kemudian masuk politik untuk mengamankan bisnisnya ataupun melindungi kelompok pengusaha tertentu.

Ini yang terjadi ketika berkuasa yang dihitung dengan kalkulator. Ketika biaya yang dikeluarkan sedari awal masa kampanye hingga kemudian menang. Nah, pengeluaran ini akan dihitung sebagai balas jasa saat berkuasa.

Fenomena itu sebetulnya sudah dijelaskan Plato sejak ratusan tahun lalu. Ia mendeskripsikan lima macam bentuk negara. Yakni aristokrasi dimana  penguasa  pemerintahan  dari  kalangan  cendekiawan atau  para  budiman  yang  memerintah  dengan  bijaksana  dengan berpedoman  pada  keadilan. Lalu  timokrasi dimana pemerintahan  dijalankan  oleh  orang-orang  yang bertujuan  mencapai  kemasyhuran  dan  kehormatan,  bukan  untuk menciptakan  keadilan.

Kemudian Oligarki dimana tampuk  pemerintahan  dipegang  oleh  golongan  hartawan  dengan  tujuan  memperkaya  diri  sendiri.  Ada juga demokrasi yakni pemerintahan  berada  di  tangan  kalangan  rakyat  biasa dimana  kebebasan  sangat  diutamakan.

Terakhir adalah tirani, sebuah bentuk  pemerintahan  yang  menindas  bahkan  menelan rakyatnya,  sehingga  dia  berkuasa  dengan  sewenang-wenang  dan tak terbatas. Tirani itu timbul akibat kemerosotan demokrasi. Tirani merupakan  bentuk yang paling jauh  dari bentuk negara ideal  yang didambakan  Plato.

Plato menjelaskan kalau aristokrasi adalah bentuk negara yang paling ideal. Secara harfiah aristokrasi, terdiri dari kata aristos: paling baik dan kratein: menguasai. Hal ini menurutnya warga negara yang paling baik dan paling cakap yang boleh diangkat menjadi pemimpin negara.

Oligarki; sebuah Keniscayaan

Kata oligarki mungkin paling sering kita dengar akhir-akhir ini. Istilah oligarki sendiri berasal dari bahasa Yunani, oligarkhes – yang berarti diperintah atau diatur oleh beberapa orang. Merujuk pada kamus Merriam-Webster, oligarki yang sebelumnya diartikan sebagai “pemerintahan yang diatur oleh beberapa orang”, berubah menjadi “kelompok kecil orang yang melakukan kontrol terhadap pemerintahan untuk tujuan korupsi ataupun kepentingan diri mereka sendiri”.

Pada konteks Indonesia, definisi oligarki yang lebih spesifik merujuk pada pandangan Profesor di Northwestern University, Jeffrey A. Winters yang mendefinisikan oligarki sebagai politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan materil (oligark). https://www.pinterpolitik.com/ini-akar-oligarki-di-indonesia/

Pilkada serentak tahun ini menjadi biang kenapa kata oligarki menjadi begitu familiar. Musababnya, banyak keluarga elite negeri yang maju dalam kontestasi lima tahunan. Dari lingkaran presiden dan wakil presiden aja ada beberapa keluarga inti yang berniat maju dalam kontestasi. Yakni putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang maju di pilkada Surakarta, menantu Jokowi, Bobby Nasution, yang maju di pilkada Kota Medan, adik ipar Jokowi, Wahyu Purwano yang maju di pilkada Kabupaten Gunung Kidul. Sementara putri Wapres KH Maruf Amin, Siti Nur Azizah maju di pilkada Kota Tangsel.

Fenomena anak pesohor yang terjun ke politik sebetulnya sudah lama terjadi. Kebanyakan adalah kelompok elite-elite lokal yang secara bergantian menduduki posisi di legislatif maupun ekskutif. Dari anggota DPRD kota/kabupaten, provinsi, DPR-RI, Bupati/walikota serta gubernur. Kita menyebutnya sebagai dinasti politik. Beberapa daerah yang terkenal dengan dinasti politiknya, tersebar di Banten, Kalimantan Barat, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sumatera Selatan.

Daerah tersebut identik dengan dinasti politik. Di Banten, misalnya, hampir semua daerah kekuasaannya bergantian diisi satu keluarga. Seperti Kabupaten Tangerang, bupatinya dari sang ayah Ismed Iskandar, kini dijabat anaknya Ahmed Zaki Iskandar. Kabupaten Lebak, bupatinya dari sang ayah Mulyadi Jayabaya, kini dijabat anaknya Iti Oktavia Jayabaya. Di Kota Cilegon, walikotanya Tubagus Aat Syafaat, kemudian diganti anaknya Tubagus Iman Ariyadi (kini tak lagi menjabat lantaran tersandung kasus korupsi). Di Kabupaten Pandeglang, bupatinya Irna Narulita, dulu suaminya, Achmad Dimyati Natakusuma. Itu sederet yang menguasai eksekutif, belum lagi legislatif, yang anggotanya memiliki koneksi dengan bupati, walikota ataupun gubernur. https://kumparan.com/kumparannews/menilik-kembali-gurita-dinasti-politik-banten

Kondisi ini merupakan dampak dari demokrasi. Dimana semua warga negara berhak mendapatkan hak yang sama dalam politik. Mencalonkan dan dicalonkan. Sebetulnya tidak ada yang salah dalam sistem ini. Jadi soal ketika fasilitasi yang dimiliki keluarga dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan melalui mekanisme pemilihan secara langsung. Kita menyebutnya pilkada serta pileg yang dipilih secara langsung.

Budayawan Sudjiwo Tedjo dalam acara di ILC mengkritik demokrasi yang disebutnya tidak logis karena kebenaran diukur dari benarnya orang banyak. Sangat tidak masuk masuk akal. Kebenaran ditentukan para ahli. Di dalam demokrasi kebenaran itu ditentukan oleh benarnya orang banyak. Itu sama dengan keris, dupa, dan klenik. Kita menertawakan sistem kerajaan tetapi tidak menertawakan sistem pemilihan umum. Dimana suara profesor sama dengan tukang becak. Bagi Tedjo, hal itu aneh dan tidak masuk akal.  https://www.youtube.com/watch?v=qq6CTGf3yeE

Demokrasi yang direalisasikan dalam sistem politik berupa pemilihan umum (pemilu) bertujuan agar semua rakyat memiliki kedaulatan yang sama. Tidak ada perbedaan antara masyarakat satu dengan lainnya. Pemikir politik JJ Russeau memperkenalkan untuk pertama kalinya konsep kedaulatan rakyat yang menempatkan kebebasan manusia sejajar dengan kehendak negara. Menurutnya, kedaulatan rakyat ini bersifat tidak terbatas dan tidak dapat dibagi-bagi. Rakyat adalah subyek hukum maka dia harus menjadi pembantunya. Semua anggota komunitas politik memiliki kedudukan sama dalam pembuatan hukum. Parlemen yang representatif dipilih oleh rakyat. Individu bebas dari pengaruh orang lain dalam menyatakan kehendak bebasnya.

JJ Russeau mengatakan bahwa tidak ada sistem pemerintahan perwakilan. Oleh karena itu, pemikirannya tentang konsep kedaulatan rakyat ini biasa dikenal dengan demokrasi langsung.

Nah, efek dari demokrasi langsung ini kemudian melahirkan oligarki. Soalnya dalam sistem ini semua warga negara memiliki hak sama untuk mencalonkan ataupun dicalonkan. Kebebasan yang diberikan berimbas kepada munculnya oligarki.

Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI Firman Noor mengatakan oligarki politik yang menguat di Indonesia bersumber pada dua hal. Pertama, ketimpangan ekonomi dengan 0,0000000002 persen masyarakat menguasai 10 persen pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia.

Kedua, adanya warisan Orde Baru dalam sistem ekonomi politik. Aktor politik, bisnis, dan birokrasi berkoalisi untuk menghasilkan kebijakan yang jauh dari kepentingan rakyat. https://nasional.tempo.co/read/1190381/oligarki-politik-menguat-ini-penyebabnya-menurut-peneliti-lipi

Analisis Firman berdasarkan faktor ekonomi yang menyebutkan alat produksi hanya dikuasai oleh segelintir kelompok saja. Mereka ini yang punya akses masuk ke dalam kekuasaan. Sementara demokrasi itu mempersilahkan siapapun memiliki hak yang sama dalam kehidupan berpolitik. Persoalan sebetulnya disini.

Maka muncul istilah, jika ingin berkuasa, harus kaya terlebih dahulu. Nah, siapa yang diuntungkan dari kondisi ini. Ya, orang-orang kaya yang secara turun-temurun menguasai alat produksi.  Jika sudah begini, masih berharapkah kita akan sistem yang sudah berjalan ini akan mampu mensejahterakan rakyat? Atau tetap mempercayainya sistem ini, persoalannya hanya mengubah aturan-aturan yanga ada. Seperti semangat tentang berdirinya sebuah negara, untuk kesejahteraan semua masyarakat. Apakah ini sudah berjalan atau belum. Hanya waktu yang akan menjawabnya. (dawson)

Berita Lainnya
Leave a comment