Untuk Kepentingan Umum

Hasil Riset, Pemahaman Publik Soal RUU Ciptaker Rendah

Badan Kajian Strategis (BKS) Al Washliyah Sumatera Utara memandang hingga kini pemahaman publik terhadap RUU Cipta Kerja (Ciptaker) masih sangat kurang.

 

Bahkan dalam sejumlah hal menunjukkan beda tafsir yang serius. Hal ini berdasarkan hasil riset yang dilakukan BKS Alwashliyah bekerjasama dengan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) Jakarta.

 

“Ada distorsi pemahaman publik terhadap substansi RUU Ciptaker. Ini karena tidak ada sosialisasi yang intensif, terencana dan menyasar dari pemerintah,’’ kata Eko Marhaendy, Ketua BKS Al Washliyah Sumatera Utara kepada media di Tangerang, Selasa (12/5/2020).

 

Diungkap Eko, riset ini dimaksudkan sebagai uji publik RUU Ciptaker yang diselenggarakan selama satu bulan di lingkungan Al Washliyah Sumatera Utara. Dari riset itu pihaknya menemukan, RUU Ciptaker telah membelah opini publik di lingkungan internal Al Washliyah sendiri. “Ada pola khas dalam pencarian informasi pada masing-masing pihak yang berbeda pandangan dalam melihat RUU ini. Masing-masing berupaya mencari medianya masing-masing sebagai kanalisasi opini mereka,’’ ungkapnya.

 

Eko mencontohkan, Ikatan Sarjana Al Washliyah (ISARAH) menilai banyaknya penolakan buruh terhadap RUU Ciptaker, dilatarbelakangi ketidakpahaman buruh terhadap RUU itu sendiri. Dalam hal ini, dia memandang pemerintah gagal melakukan sosialisasi.

 

Sementara Ketua Himpunan Mahasiswa Al Washliyah (HIMMAH) menunjukkan signal mendukung RUU Ciptaker, bahkan mendorong DPR untuk segera mengesahkannya. Dalam perspektif ketua HIMMAH, RUU Ciptaker memiliki tujuan positif dalam rangka memajukan perekonomian Indonesia, dengan perampingan undang-undang yang berdampak langsung pada lapangan kerja.

 

Penolakan yang dilakukan beberapa pihak terutama buruh, didasari kekhawatiran yang justru bertolak belakang dengan tujuan prinsipil RUU Ciptaker itu sendiri. “Saya melihat dukungan mereka tersebut menyangkut kepentingan mereka sebagai kelompok muda yang membutuhkan lapangan kerja. Sehingga RUU Ciptaker dapat dimaknai sebagai jaminan bagi kaum muda untuk lebih mudah mendapat pekerjaan,” papar Eko.

 

Kajian Al Washliyah digelar menggunakan pendekatan Critical Discourse Analysis dalam rangka memetakan opini terkait RUU di media. Eko dan kawan-kawan melakukan wawancara mendalam kepada jajaran pengurus Al Washliyah pusat dan daerah terkait RUU Ciptaker. Kajian juga dilengkapi teknik kuisioner untuk memeroleh pandangan alternatif di luar pandangan pengurus inti. Baik kuesioner maupun konsep interview disusun dan dirumuskan dengan melibatkan praktisi hukum, aktivis buruh, dan pelaku usaha. 

 

Lebih jauh, studi ini mengidentifikasi beberapa aspek yang diduga menjadi alasan kelompok buruh menolaknya.

 

Berdasarkan pembacaan terhadap UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai salah satu undang-undang yang terdampak, dengan membandingkannya pada RUU Ciptaker, hampir seluruh permasalahan yang dikhawatirkan buruh tidak cukup signifikan terkonfirmasi. Pembacaan yang tidak komprehensif terhadap RUU Cipta Kerja, atau bahkan kegagalan memahami paradigma perubahan undang-undang, tampaknya telah memicu sebaran isu RUU tersebut yang jauh melampaui keadaan sebenarnya. “Kuatnya arus penolakan, terutama oleh kelompok buruh, pada gilirannya mereduksi aspek-aspek kemanfaatan yang menjadi semangat dasar lahirnya RUU Ciptaker, seperti kemudahan perizinan, pemangkasan birokrasi yang terlalu panjang dan perlindungan tenaga kerja,” terang Eko.

 

Anggapan RUU Ciptaker akan menghidupkan kembali Koeli Ordonantie (Perbudakan Modern), menurut Eko, justru terbantah dengan dihapusnya pasal 64-65 UU No 13/2003 melalui RUU tersebut. Sejauh ini, pasal tersebut diduga menjadi dasar pemberlakuan tenaga kerja outsourching yang seyogianya ditolak di kalangan buruh. “Keberpihakan RUU Ciptaker terhadap kelompok buruh dengan dihapusnya pasal-pasal kurang menguntungkan pada UU No 13/2003 pun abai dalam perhatian publik,”  terangnya.

 

Pemahaman terhadap RUU Ciptaker di ruang publik banyak dipengaruhi informasi yang tersebar di media sosial dan media daring.

 

Berdasarkan kuesioner yang disebar, sumber informasi dari Whatsapp (34,21%), Facebook (18,42%), dan Media Online (28,95%), menempati posisi tertinggi sebagai sumber informasi partisipan tentang RUU Ciptaker.

 

“Jika pada bagian terdahulu media sosial dipetakan sebagai kanal informasi bagi suara-suara yang menolak RUU, maka paparan data ini telah menguatkan dugaan itu,’’ kata Eko.

 

Isu-isu yang menguat di ruang publik dalam konstruksi wacana RUU Ciptaker justru terjadi pada hal-hal yang tidak substansial.

 

Isu hilangnya hak cuti perempuan haid dan kebebasan berserikat misalnya, menguat tapi tanpa rujukan jelas.

 

“Pasal-pasal yang mengatur bagian hak cuti haid dan kebebasan berserikat faktanya tidak dihapus ataupun diubah, yang artinya tetap berlaku. Dalam hal inilah kegagalan memahami paradigma perubahan undang-undang ingin ditekankan,” tutup Eko.

 

Berita Lainnya
Leave a comment