Untuk Kepentingan Umum

Jepang dan Indonesia dalam Penanganan Covid-19. Siapa yang Gagap?

Presiden Jokowi mengumumkan dua pasien positif virus corona pertama di Indonesia, Senin (2/2/2020). Kasus corona saat itu masih terbilang baru dibanding dengan negara tetangga yang sudah lebih dahulu memiliki pasien terinfeksi dengan jumlahnya mencapai puluhan hingga ratusan orang. Tak heran jika negara lain meragukan pernyataan pemerintah kalau Indonesia terbebas dari Covid-19.

 

Namun Covid-19 bukan lah penyakit global pertama kali yang dihadapi Indonesia. Jauh sebelumnya, tepatnya pada 2003 Pemerintah Indonesia juga pernah berhadapan dengan penyakit Savere Acute Respiratory Syndrome (SARS).

 

Lain dulu, lain sekarang, Jokowi mengklaim pemerintah memiliki kesiapan dan perlengkapan yang memadai untuk menangani kasus virus tersebut. Pemerintah juga berupaya untuk menekan penyebaran Covid-19 yang vaksinnya belum juga ditemukan. Jokowi menyatakan kesiapan dan menjamin ketersediaan anggaran mengatasi serangan virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, Cina, ini. Mulai dari pengobatan, penanganan, dan pencegahannya agar tidak menyebar.

 

Salah satu kebijakannya menghentikan penerbangan dari dan ke Cina, pelarangan sementara impor dari Cina, dan mengatur ulang pemberian visa hingga menyiapkan rumah sakit untuk menangani pasien terkonfirmasi positif Covid-19. Persiapan yang dilakukan antara lain menyediakan 100 rumah sakit yang dilengkapi ruang isolasi bagi pasien penyakit infeksi.

Pemerintah pun menjalankan penanganan Covid-19 dengan prosedur penanganan sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Meski begitu, faktanya tercatat ada 4.029 kasus baru. Sehingga total kasus virus corona di Indonesia hari ini menjadi 404.048, sembuh 329.778 , 13.701 kematian.[1]

 

JEPANG

Virus corona sudah masuk Jepang pada Januari 2020, namun kasusnya tidak sebanyak negara-negara maju lainnya. Keberhasilan Negeri “Sakura” menangani wabah Covid-19 ini menyimpan misteri. Bagaimana tidak ? Jepang tidak melakukan pengujian virus secara massal layaknya negara lain yang sukses menekan penularan seperti Cina dan Korea Selatan. Rumah sakit di Jepang pun hanya akan memeriksa orang yang bergejala.

 

Dengan banyaknya lansia dan memiliki salah satu kota terpadat di dunia, namun anehnya negara berpenduduk 126 juta orang ini mencatatkan hanya 16.024 kasus dengan 668 kematian (Data Kementerian Kesehatan Jepang), Kamis (14/5/2020). Angka tersebut jauh di bawah negara-negara maju lainnya, bahkan sempat mengundang kecurigaan dari pihak berwenang sebab tidak membeberkan gambaran lengkap. Bahkan fakta data hingga hari ini pun menyatakan adanya penurunan pasien covid 79.900 terinfeksi dan 1.591 kematian.

 

Jepang disorot karena terhitung negara dengan angka pengecekan Covid-19 yang rendah, sekitar 270 ribu. Angka itu menjadi tingkat per kapita terendah dalam kelompok tujuh negara maju menurut Worldometer. Pemerintah Jepang bersikeras bahwa pengujian massal tidak pernah menjadi bagian dalam rencana penanganan pandemi mereka.

 

Belum ada alasan pasti mengapa virus corona tidak menghantam Jepang, tidak seperti negara selevel dengannya di dunia. Sejumlah dugaan seperti kebiasaan masyarakat Jepang disebut menguntungkan dalam mencegah penyebaran pandemi. Seperti kebiasaan higienis melepas sepatu kala masuk ruangan, dan menundukkan badan sebagai bentuk salam daripada berjabat tangan atau berciuman. Selain itu, Jepang dinilai memiliki sistem kesehatan yang amat baik. Namun para analis sepakat bahwa kebiasaan-kebiasaan tersebut tidak bisa dijadikan patokan parameter keberhasilan Jepang dalam  menangani Covid-19.

 

PEMBAHASAN

Dari penjelasan di atas mengenai kebijakan penanganan covid pada dua negara tersebut, dapat diketahui bahwa pemerintah merupakan nakhoda dalam mengendalikan covid-19 ini. Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan dalam penanganan Covid-19     Pemerintah Indonesia telah bersikeras dalam usaha penekanan jumlah pasien covid-19 dengan berbagai cara, sedangkan pemerintahan Jepang malah bersikeras bahwa pengujian massal tidak akan pernah menjadi bagian dalam rencana penanganan pandemi mereka. Sungguh aneh bukan ?

 

Jika dianalisis dari artikel tersebut, ada beberapa hal yang berkesinambungan dengan teori Gabriel A. Almond dan Sidney Verba yang mengaitkan budaya politik dengan orientasi dan sikap politik seseorang terhadap sistem politik dan bagian-bagiannya yang lain serta sikap terhadap peranan kita sendiri dalam sistem politik.

 

Gabriel A. Almond dan Sidney Verba melihat bahwa dalam pandangan tentang objek politik, terdapat sikap yang disimpulkan dari berbagai pengamatan terhadap objek diekspresikan dalam bentuk respon kognitif, afektif (emosi), maupun perilaku.

 

Membahas persoalan penanganan covid ini memang menjadi sesuatu yang sangat  urgent dan krusial ditengah maraknya pandemi covid yang melanda di hampir seluruh negara yang ada di dunia ini. Berbagai macam kebijakan maupun peraturan telah dikeluarkan oleh pemerintah dengan segala dalih kepentingannya untuk keselamatan rakyat banyak seperti lockdown dan lain-lain. Untuk di Indonesia sendiri kebijakan yang dikeluarkan dengan sebutan istilah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) menjadi sesuatu yang umum untuk dijadikan sebagai pedoman tatahan kehidupan sosial yang harus dipatuhi oleh semua kalangan ataupun komponen masyarakat termasuk pemerintah sendiri.

 

Berkaitan dengan ini dengan segala konsekuensi logis yang ada. maka pemerintah daerah yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat pun mengeluarkan kebijakan yang umumnya sejalan dengan pemerintah pusat yakni PSBB. Seperti yang sama-sama kita ketahui bersama bahwa Prinsip otonomi daerah yang merupakan produk desentralisasi membuka keran politik lokal tumbuh karena boleh mengatur kewenangan daerah untuk kepentingan nasional termasuk kebijakan PSBB di masing-masing wilayah untuk mengatasi dan mengendalikan angka lonjakan kasus covid dan disesuaikan dengan kondisi masing-masing wilayah.

 

Namun beriringan dengan itu berbagai macam proses dan dinamika nya penuh dengan berbagai macam hambatan yang ada. Termasuk juga membuat kebingungan ditengah-tengah masyarakat seperti munculnya istilah perbedaan mudik dan pulang kampung oleh Presiden Jokowi, hal ini tentu sangat meresahkan dan juga mengkhawatirkan masyarakat.

 

Karena yang menjadi persoalan sebenanrnya ialah perpindahan orang dari satu daerah ke daerah yang lain baik yang mudik ataupun pulang kampung dan dikhawatirkan mereka atau orang-orang tersebut dapat menjadi carrier dari virus tersebut. Belum lagi saat itu pernah terjadi kedatangan tenaga kerja asing (TKA) Cina yang memasuki wilayah Sulawesi Tenggara, tentunya mengusik kesabaran publik yang sudah lama taat dengan PSBB.

 

Hal ini dapat berdampak pada tidak patuhnya masyarakat sama pemerintah, mosi ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah, sehingga tidak heran jika masyarakat banyak yang melanggar PSBB dan menjadi jenuh dengan kebijakan itu dan merindukan situasi yang normal seperti sediakala.
Terbukti ketika pemerintah melonggarkan kebijakan PSBB dengan istilah PSBB transisi atau new normal masyarakat banyak yang sudah masif berkerumun dimana-mana yang membuat angka penambahan kasus covid sedemikian melonjak jauh ketika PSBB transisi yang pertama diterapkan.

Serta selain itu juga terjadinya aksi masa dari elemen atau aliansi masyarakat ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan RUU HIP yang dinilai merugikan rakyat dan bertentangan dengan jiwa dan ideologi pancasila di tengah pandemi.

 

Realitas dalam fenomena ini tentunya relevan jika kita memotretnya dengan teori Gabriel A. Almond dan Sidney Verba melihat bahwa dalam pandangan tentang objek politik, terdapat tiga komponen yaitu : kognitif, afektif, dan evaluatif.

 

Sikap yang disimpulkan dari berbagai pengamatan terhadap objek diekspresikan dalam bentuk respon kognitif, afektif (emosi), maupun perilaku. Jadi segala bentuk sikap masyarakat terhadap pemerintah dalam hal ini berangkat dari keresahan masyarakat akibat kebijakan pemerintah yang tumpang tindih.

Social distancing dan physical distancing tidak cukup dimaknai dalam perspektif terhindarnya dari covid atau gangguan kesehatan (klinis) untuk membendung ekspansifnya wabah. Ini menyangkut ketahanan nasional yang penanganannya multi aspek. Kesiapan satgas merumuskan roda map serta aksi yang tepat sasaran menjadi sangat penting untuk menghambat laju penyebaran covid.

 

Bagi negara maju seperti Jepang mengambil langkah lockdown total atas pertimbangan menyelamatkan manusia lebih berpengaruh signifikan, karena punya nilai politik dan akuntabilitas, kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Bagi negara ekonomi pas-pasan seperti Indonesia, tidak mudah menerapkan kebijakan lockdown total. Apalagi kondisi ekonomi ekonomi semakin memburuk, selain beban politis yang menghantui. Realitas politik yang demikian sebenarnya membuat Jokowi sangat sensitif dan cepat bereaksi untuk melakukan political control dalam bentuk penggunaan kewenangan pada jajaran pemerintahan. Baik itu dengan kepala daerah maupun kordinasi antar kementerian ataupun lembaga.

Kunjungan pemerintah pusat melalui Mendagri ke Balaikota Jakarta memberikan sebuah isyarat lampu kuning, bahwa kewenangan kebijakan apapun terkait covid ialah kewenangan pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah. Langkah pemerintah pusat di sini sulit dibantah, jika bukan respon atau langkah cepat Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dalam menanggulangi covid-19. Sepatutnya dilakukan oleh seorang presiden dalam menghadapi situasi darurat.

Tapi dalam covid di sini sepertinya pemerintah pusat selalu ingin mendominasi, maka penanganan covid dalam politik lokal di sini tidak akan maju. Karena dalam hal ini pemerintah pusat masih menganggap bahwa dia satu-satunya pemain tunggal dalam hal ini, sehingga penanganan ini menurut hemat penulis terlihat masih sangat sentralistik. (*)

*Nur Amalaia Dini

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia

[1] https://covid19.go.id/p/berita/jumlah-pasien-sembuh-dari-covid-19-terus-bertambah-menjadi-329778-orang

Berita Lainnya
Leave a comment