Untuk Kepentingan Umum

Selamat Jalan Ketua! Nanti Maiyahannya di Surga Saja

Sabtu (11/12) pagi sekira pukul 05.25 WIB aku terjaga. Tak lama berselang ponsel terus berdering, pesan grup Whatsapp (WA) terlihat sudah ramai. Jarang masih pagi grup tersebut ramai. Setelah dibuka ternyata isinya ucapan duka cita. Mengabarkan kepergian ketua KPU Kota Tangerang Selatan Bambang Dwitoro. Sehari sebelum ia berpulang, aku dikabari kalau mas Bambang tengah kritis dan dirawat di Intensive Care Unit (ICU) di salah satu rumah sakit di bilangan Ciputat. Ia dirawat karena terjangkit covid19. Mendengar kabar tersebut badanku terasa lemas. Sedih. Dan tetap berharap semua akan baik-baik saja.

 

Beberapa jam kemudian, kabar kepergiannya benar membuatku terpukul. Rasanya tak percaya. Ketua, begitu aku memanggilnya pergi begitu cepat. Perasaan baru kemarin, aku berkomunikasi dengannya. Sekadar menelpon menanyakan kabar. Aku sengaja tidak main ke kantor beberapa waktu terakhir karena takut menganggu. Kesibukannya meningkat jelang coblosan 9 Desember. Ketimbang mengganggu pekerjaannya lebih baik menanyakan kabarnya lewat ponsel. Komunikasi terakhir dengannya tanggal 9 Desember 2020. Saya mengirimkan video berupa ajakan untuk mencoblos. Ia hanya membalas dengan simbol emoji jempol.

 

Sebelumnya saya mendengar kabar ketua yang katanya tengah sakit. Pikirku sakit biasa saja, kecapaian karena kerjanya terhitung padat. Apalagi selama mengenalnya, ketua termasuk orang yang jarang mengeluh sakit. Paling hanya matanya yang memang agak sedikit terganggu. Itupun ia sudah rutin terapi dan mengabarkan kalau sudah baikan.

 

Beberapa kali ia juga mengabarkan tengah suka jalan kaki dan bersepeda. Saya bahkan satu dua kali menemaninya joging sekadar menjaga kondisi badan. Urusan jaga badan, ia termasuk yang paling telaten.  Makanya ketika mendengar ia sakit, pikir saya hanya sakit biasa dan bisa teratasi dalam beberapa hari.

 

Saya mengenal mas Bambang sejak tahun 2013 silam ketika ia terpilih menjadi komisioner KPU untuk periode pertama. Kesan pertama mengenalnya; sopan, pendiam, dan murah senyum. Musim pemilu komunikasi dengan komisioner KPU pasti lebih intens. Biasanya saya bertanya tentang teknis kegiatan pemilu dan lain sebagainya. Nah, dari situ saya mulai mengenal karakter mas Bambang. Dari obrolon ringan, diskusi, saya jadi tahu ternyata ketua begitu mengidolai Emha Ainun Najib (Cak Nun). Hal itu saya tahu ketika diskusi kebudayaan dengan ketua. Ia selalu mengutip soal Cak Nun. Buku-buku budayawan asal Jombang, Jawa Timur, itu semua sudah dibacanya. Bahkan, ia selalu mengikuti pengajian Cak Nun di Taman Ismail Marzuki (TIM) yang rutin digelar setiap tanggal 14. Acara tersebut dinamakan Maiyah, kelompok pengajian yang biasa digelar olehCak Nun. Yang hadir pada pengajian Jamaah Maiyah acap kali mencapai ribuan orang. Acara itu biasanya digelar hingga larut malam, bahkan rata-rata mencapai pukul 03.00 WIB. Dalam acara tersebut Cak Nun biasanya memberikan ceramah atau melakukan sholawatan.

 

Nah, ketua, memang pasti datang tiap bulan ikut Maiyah. Kegiatan tersebut diakuinya sudah dilakoni sejak tahun 2000. Tak hanya datang ke TIM, sejumlah daerah di Jawa Tengah ataupun Jawa Timur dikunjungi untuk sekadar mengikuti pengajian bersama Cak Nun.

 

Bisa dibilang mas Bambang penganggum garis keras Cak Nun. Ucapan ini tak hanya omongan belaka, saya beberapa kali menyaksikannya. Pertengahan 2019 saya diajaknya untuk ikut Maiyahan. Kebetulan juga saya suka dengan tulisan-tulisan Cak Nun sejak masih kuliah di Jogjakarta dulu. Ketika mas Bambang mengajak ikut Maiyahan, langsung saya terima dengan senang hati. Apalagi keinginan untuk menghadiri acara Cak Nun sudah sejak lama. Lantaran tidak ada teman bareng, akhirnya hanya bisa mengikuti lewat media sosial saja.

 

Jadi, menonton langsung Maiyahan jadi pengalaman yang luar biasa bagi saya. Ketika sampai di TIM, saya sempat bingung karena memang tidak pernah kesana. Mas Bambang saya lihat begitu hafal tempat mana yang pas untuk bisa mendengarkan ceramah Cak Nun. Bahkan, sampai parkir yang nyaman pun sudah ia tahu. Tukang-tukang yang biasa menjajakan makanan juga ia tahu sejak tahun berapa saja berjualan. Sambil Maiyahan, mas Bambang bercerita tentang pengalaman masa lalu dan kisah awal mengenal Cak Nun lewat tulisan-tulisannya yang dibaca semasa kuliah. Berawal dari itu, ia pun langsung mendatangi TIM. Kesan pertama ikut Maiyahan, ia langsung tertarik dan berikrar akan rutin mengunjungi TIM setiap bulannya.

 

Selama 20 tahun, bisa dikatakan ia rajin ikut Maiyahan, meskipun beberapa kali sempat tidak hadir. Bahkan, ‘virus’ Maiyahannya ditularkan ke keluarga kecilnya. Istri dan kedua buah hatinya sudah beberapa kali ikut.

 

Bersama mas Bambang, saya pernah juga Maiyahan bersama istri dan putra bungsunya, Mustopa. Putri sulungnya, Aisyah, sedang nyantri di Krapyak, Jogjakarta. Seperti memang sudah terbiasa ikut acara tersebut. Ketika dari kantor KPU bersama Mas Bambang, saya menjemput istri dan anaknya. Tiba di rumahnya, peralatan untuk menonton Maiyah sudah disiapkan. Dari tikar, makanan, minuman, jaket dan lain sebagainya. Bahkan ketika tiba, mas Bambang dan istri begitu menyimak ceramah yang disampaikan Cak Nun hilang selesai. Tidak ada terlihat ngantuk. Sementara Mustopa, hanya sebentar, setelah itu ia tidur nyenyak hingga acara selesai. Meski begitu, TIM terlihat tidak asing dengan si bungsu. Ia nampak sudah hafal dengan Maiyahan.

 

Berhubung Covid19, kegiatan Maiyahan dihentikan. Dan untuk melepaskan kerinduan dengan ceramah-ceramah Cak Nun, mas Bambang mengaku selalu membuka Youtube.

 

“Maiyahan dihentikan karena Covid19. Sekarang nonton lewat Youtube saja,” katanya.

 

Meski begitu, informasi tentang Cak Nun tidak pernah dilewatkan. Setiap kali singgah ke kantornya, mas Bambang selalu cerita Maiyahan. Bahkan, saat Ramadan lalu, ia mengaku mendapatkan pengalaman spiritual yang luar biasa. Covid19 membuatnya untuk bisa lebih mengkaji diri. Sepanjang sebulan dirinya hanya beraktivitas di rumah. Waktu tersebut diisi dengan mengaji, mengkaji, berzikir, serta mendengarkan ceramah Cak Nun ataupun Mustopa Bisri yang biasa disebut Gus Mus.

 

Dua kyai tersebut menjadi inspirasinya dalam menjalani hidup. “Banyak hikmah yang saya dapatkan bulan Ramadan kemarin. Sekarang mengkaji diri saja. Mengaji, dzikir, mendengarkan ceramah mbah Nun dan Gus Mus. Hidup lebih enteng dan ringan. Belajar ikhlas,” ujarnya.

 

Selepas Ramadan, ketika berkunjung ke kantornya, beberapa kali mas Bambang dzikir dengan khusuk. Ia terlihat tenang dan hidup dengan tanpa beban. Selepas itu, ketika ada waktu luang, membuka youtube dengan ceramah Cak Nun dan Gus Mus. Dua orang yang dikagumi dan diakuinya sebagai gurunya.

 

Dari Gus Mus, mas Bambang juga sering menginformasikan tentang seputar kesehatan. Misal, kesukaannya dengan sate kambing. Saya pernah bertanya tidak takut kolestrol makan banyak kambing. Ia menjawab tidak perlu takut, yang penting sopnya tidak bersantan. Dirinya dapat informasi tersebut dari Gus Mus. Setelah dapat omongan mas Bambang, saya tidak takut makan sate lagi. Atau ceritanya tentang duduk diantara dua sujud yang dipraktikannya selama berzikir.

Kata mas Bambang, duduk tersebut menyehatkan lantaran  membuat tulang punggung kita lurus, dan apabila tulang punggung kita lurus, maka syaraf-syaraf yang bekerja di tulang punggung akan ikut lurus dan bekerja dengan baik, dan mengakibatkan seluruh anggota tubuh yang diatur oleh syaraf-syaraf tersebut akan bekerja dengan maksimal.

Ajaran-ajaran yang disampaikan Cak Nun memang benar-benar dipraktikkan oleh mas Bambang. Sang guru spiritualnya yang mengilhami kehidupannya menjadi lebih damai, ikhlas, dan tenang. Ya, kini mas Bambang sudah berpulang. Ia pergi untuk selama-lamanya. Tubuhnya kini menyatu dengan tanah dan akan hilang.

Selamat jalan mas. Nanti Maiyahannya di surga aja ya. (Firdaus)

Berita Lainnya
Leave a comment