Untuk Kepentingan Umum

Belanda dan Keterlibatan CIA di Tanah Air

George Mc Turnan Kahin berada di Yogyakarta ketika Belanda melancarkan agresi militer untuk menduduki kembali Indonesia. Dia sedang melakukan penelitian untuk disertasinya di Johns Hopkins University, Amerika Serikat.

 

Kahin melihat lambang Amerika Serikat pada beberapa pesawat terbang, mobil lapis baja, dan truk-truk pasukan Belanda ketika menyerang Yogyakarta pada 19 Desember 1948.

 

“Seorang mayor Belanda ketika ditanya segera menjawab bahwa dia memakai seragam perang yang bertuliskan U.S. Marines karena merasa bangga pernah dilatih di kamp U.S. Marines di Quantico, Virginia,” kata Kahin dalam bukunya, Subversi Sebagai Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia.

 

Sebelumnya, pada Oktober 1945, Sukarno dan para pejabat pemerintahan telah menyampaikan kepada para perwira SSU (Strategic Services Unit), pendahulu CIA, bahwa pasukan Belanda melakukan serangan dari truk-truk dengan tanda “Amerika Serikat” dan mereka mengenakan seragam Amerika Serikat.

Perwira SSU itu berkilah bahwa truk dan seragam itu berasal dari Lend-Lease, yaitu bantuan Amerika Serikat untuk negara-negara Sekutu pada Perang Dunia II (1941–1945). Bantuan itu mulai dari makanan hingga alutsista dan persenjataan. Sukarno mengatakan bahwa para pemimpin Indonesia mengetahui hal ini. Akan tetapi, masyarakat tidak dan mereka menyimpulkan bahwa Amerika Serikat menyetujui serangan Belanda.

 

Amerika Serikat kemudian mengeluarkan Program Perbaikan Eropa yang disebut Marshall Plan. Bantuan ini digunakan oleh negara-negara penjajah untuk merebut kembali daerah jajahannya, seperti Belanda di Indonesia dan Prancis di Indocina.

 

CIA dalam laporannya pada 14 November 1947 menyebutkan, “Sekarang rakyat Indonesia dan Indocina cenderung melihat upaya Belanda dan Prancis untuk menegakkan kembali kekuasaan mereka dilakukan dengan dukungan Amerika Serikat. Terus meningkatnya Program Perbaikan Eropa (Marshall Plan) dalam memperkuat kemampuan Belanda dan Prancis di Asia Tenggara, membuat kemarahan penduduk meningkat.”

 

Kahin mencatat pada akhir 1948, Amerika Serikat telah membantu Belanda dengan Marshall Plan sebesar $359 juta. Tidak hanya itu, sejak berakhirnya Perang Dunia II, Amerika Serikat membantu Belanda dengan kredit Bank Ekspor Impor $300 juta, kredit untuk membeli suplai surplus perang sebesar $130 juta, dan suplai sipil sebagai bantuan militer senilai $190 juta.

 

“Jelaslah bagi Indonesia bahwa Amerika Serikat menyediakan bantuan yang sangat penting bagi Belanda,” kata Kahin.

 

Bahkan, lanjut Kahin, seorang petani sekalipun dapat melihat senjata yang digunakan tentara Belanda merupakan kiriman Amerika Serikat karena kebanyakan tank, truk, dan pesawat terbang masih menggunakan lambang Amerika Serikat. Setidaknya hingga akhir Januari 1949, sejumlah pasukan marinir Belanda masih menggunakan seragam yang bertuliskan “U.S. Marines” di atas saku dada.

 

Setelah Peristiwa Madiun

Dukungan Amerika Serikat kepada Belanda dalam merebut kembali Indonesia juga karena propaganda Belanda bahwa para pemimpin Indonesia berhaluan komunis. Peristiwa Madiun pada September 1948 menjadi titik balik perubahan kebijakan Amerika Serikat.

 

Menurut sejarawan Baskara T. Wardaya dalam Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953–1963, keberhasilan pemerintah Indonesia menumpas pemberontakan komunis di Madiun disambut gembira oleh Amerika Serikat. Tindakan tegas itu juga meyakinkan para pejabat Amerika Serikat bahwa para pemimpin Indonesia bukanlah orang-orang yang berhaluan komunis.

 

“Setelah pemberontakan berhasil dipadamkan,” kata Kahin, “Belanda tidak bisa melanjutkan propagandanya bahwa Indonesia hanyalah sebuah jembatan menuju komunisme.”

Dalam suratnya kepada Menteri Luar Negeri George Marshall, Konsul Jenderal Amerika Serikat di Jakarta, Charles Alfred Livengood memuji Indonesia karena berhasil menumpas pemberontakan komunis pimpinan Musso tanpa bantuan dari Belanda. Keberhasilan tersebut meyakinkan para pejabat pemerintahan Harry S. Truman bahwa para pemimpin Indonesia bukanlah komunis, mereka justru antikomunis.

 

 

“Segera setelah itu CIA mengirimkan agen pertamanya ke Yogyakarta guna membantu kampanye antikomunis yang dijalankan oleh para pemimpin Republik,” tulis Baskara.

 

Menurut Baskara, Livengood menyebut nama agen tersebut adalah Arturo Campbell, tetapi tidak menyatakan dia seorang agen CIA. Di Yogyakarta, Livengood berusaha merekrut Kahin untuk bekerja untuknya, tetapi Kahin menolak. Livengood marah.

 

“Dia memaki saya, dia mengatakan bahwa saya ini orang Indonesia, bahwa saya pastilah seorang yang pro-komunis. Dia kemudian mengadukan saya ke Washington,” kata Kahin dikutip Baskara. Tidak sampai dua tahun setelah pertemuannya dengan Livengood, Kahin mendapat kesulitan dengan Washington. Paspor yang dia butuhkan untuk kembali mengunjungi Indonesia dicabut.

 

Bertemu Agen CIA

Kahin menyebutkan bahwa perubahan posisi Amerika Serikat tidak hanya ditunjukkan oleh H. Merle Cochran, wakil Amerika Serikat dalam Komisi Jasa Baik PBB, yang berubah tidak lagi pro-Belanda. Melainkan juga kunjungan diam-diam selama seminggu yang dilakukan agen CIA pertama yang dikirim ke Indonesia, yaitu Arturo Campbell. Dia tiba di Yogyakarta dengan pesawat terbang pada November 1948, setelah pemberontakan Madiun dihancurkan.

 

“Arturo Campbell ketemu Pak Kahin di Yogyakarta. Kemungkinan dia seorang hispanik, orang yang mirip-mirip orang Indonesia agar tidak terlalu mencolok dalam menjalankan operasi CIA,” kata Baskara yang pernah bertemu Kahin di Amerika Serikat.

 

Arturo Campbell adalah anggota OSS (Office of Strategic Service), cikal bakal CIA, selama Perang Dunuia II. Dia kemudian secara resmi ditempatkan sebagai atase konsuler di Konsul Jenderal Amerika Serikat di Jakarta.

 

Kahin mengakui menghadapi kesulitan di Yogyakarta. Dia berhasil membantah tuduhan bahwa dirinya seorang agen pemerintah Amerika Serikat. “Saya hampir tidak dapat menghindari Campbell karena dia tinggal di wisma tamu negara yang mempunyai tiga kamar, di mana Hamid Algadri dan saya juga tinggal ketika itu. Saya merasa agak gugup juga karena ditempatkan dalam rumah yang sama dengan Campbell,” kata Kahin dalam “Kenangan dan Renungan tentang Revolusi Indonesia”, yang termuat dalam Denyut Nadi Revolusi Indonesia.

 

Campbell mendesak Kahin sebagai satu-satunya orang Amerika di Yogyakarta agar membantunya. “Ketika saya menolak, dia menjadi marah sekali dan mencaci maki saya, baik ketika itu maupun kemudian di Washington. Dia mengecap saya sebagai pro-komunis,” kata Kahin.

 

Campbell setidaknya bertemu sekali dengan Cochran. Dia dibantu dengan baik oleh Mayor Brentel Susilo, kepala intelijen kota Yogyakarta yang mengganggu Kahin.

 

Operasi apa yang dilakukan Campbell?

 

Menurut Kahin, Campbell mewawancarai para perwira muda Mobile Brigade (Mobrig, kini Brimob), memilih yang paling pandai, dan mengirim mereka ke tempat pelatihan militer Amerika Serikat melewati blokade Belanda untuk dilatih secara khusus.

 

“Saya menyaksikan sendiri operasi itu ketika menginap di penginapan kecil yang kemudian juga ditempati oleh agen itu,” kata Kahin.

 

Penerjemah Indonesia yang disediakan untuk Campbell mengatakan kepada Kahin bahwa dia menyaksikan sendiri agen CIA itu menawarkan bantuan keuangan dalam jumlah cukup banyak, namun ditolak oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta.

 

“Tampaknya, alasan bagi kebijakan rahasia tersebut adalah apabila pada akhirnya Republik menang atas Belanda, para perwira yang dilatih di Amerika Serikat itu akan menentang kebangkitan kembali komunisme,” kata Kahin.

 

Tidak diketahui pasti sampai kapan Campbell bertugas di Indonesia. Sedangkan Kahin menyelesaikan disertasinya tentang revolusi Indonesia di Johns Hopkins University pada 1951, yang kemudian diterbitkan dengan judul Nationalism and Revolution in Indonesia. Dia mengajar di Cornell University sejak 1951 dan mendirikan Cornell Modern Indonesia Project. Pada 1991, pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Jasa Pratama kepada Kahin karena telah menjadi pionir kajian Indonesia di Amerika dan bersimpati kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia. (sumber Historia.id)

Berita Lainnya
Leave a comment