Buku Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, yang dirilis pada 1952, tak hanya menjadi acuan bagi para sejarawan atau bacaan bagi penikmat sejarah Indonesia yang ingin memahami periode lima tahun pertama kemerdekaan Indonesia. Buku itu ditulis berdasarkan pengamatan langsung penulisnya, menyaksikan langsung derap perjuangan revolusi dari jarak dekat, bahkan nyaris tak berjarak.
Dari sanalah dia mencatat, menulis dan menganalisis berbagai hal yang terjadi pada tahun-tahun pertama kemerdekaan Indonesia. Dari laporan-laporan itu, pelan tapi pasti, ikut menentukan perubahan sikap Amerika Serikat terhadap konstelasi politik yang terjadi antara Indonesia yang sedang mempertahankan kemerdekaan dan Belanda yang ingin kembali mengangkangi tanah jajahannya.
Menurut Frances Gouda, buku itu memperlihatkan simpati pengarangnya terhadap perjuangan nasionalis Indonesia. Ia menempatkan orang-orang Indonesia sebagai aktor dalam sejarah Nusantara, tidak memposisikan orang Indonesia sebagai figuran seperti yang terjadi dalam penulisan sejarah Belandasentris di era sebelum ia datang ke Indonesia.
Penulis buku itu, George McTurnan Kahin, memang punya ikatan emosional dengan Indonesia. Cerita awal perkenalan Kahin dengan Indonesia berlangsung secara tidak sengaja.
Jatuh Cinta pada Indonesia
Kahin adalah orang yang (berusaha) adil sejak dalam pikiran. Ketika orang-orang Jepang di Amerika ditangkapi setelah penyerangan Pearl Harbour pada 7 Desember 1941, banyak orang Amerika yang berutang pada orang-orang Jepang itu tak mau membayar. Bersama gerakan Quaker, dia memakai meja hijau hukum dan cara lainnya untuk memaksa orang-orang Amerika membayar utang mereka. Di tengah semangat anti Jepang di Amerika, tindakan Kahin dicap tidak patriotik. Tapi Kahin berani berbeda.
Cap tidak patriotik itu sebenarnya mudah dipatahkan. Kahin sendiri masuk ke dalam militer Amerika untuk untuk melawan Jepang, juga Jerman, pada masa-masa Perang Dunia II.
“Selama perang dunia II, Kahin menjadi sukarelawan misi khusus untuk diterjunkan di Hindia Belanda yang diduduki Jepang. Dalam persiapan tugas tersebut, Kahin belajar bahasa Indonesia di Stanford Unversity, walau di tengah pelajarannya berubah menjadi pelajaran bahasa Belanda. Satu penjelasan bagi perubahan mendadak itu, menurut Kahin, adalah intelijen Belanda mungkin memutuskan bahwa sebagian besar prajurit Amerika dalam program tersebut banyak mendengarkan retorika anti-kolonial pemerintahan Roosevelt,” tulis Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg dalam Indonesia Merdeka karena Amerika? (2008).
Menurut Ben Anderson dalam memoarnya yang berjudul Hidup Di Luar Tempurung (2016), ada sedikit kebetulan dalam perjumpaan Kahin dengan Indonesia. Kata Ben, “Kahin bergabung dalam Angkatan Darat AS, dia dilatih terjun payung (untuk bertempur) di belakang garis pertahanan Jepang di Indonesia dan Malaya. Tak perlu dikata—tahu sendiri kan Pentagon—ujung-ujungnya ia malah dikirim ke Italia. Namun pelatihan itu menumbuhkan minatnya pada Indonesia.”
Seusai perang, dengan pangkat terakhir sersan, Kahin keluar dari Angkatan Darat. Dengan pengetahuannya, dia terlalu pintar untuk menjadi seorang sersan. Gouda bercerita, “Kahin menggunakan uang kompensasi veteran untuk kuliah pascasarjana, belajar kepada pakar Asia terkemuka, Owen Lattimore. Setelah selesai kuliah, Kahin naik kapal laut Veendam dan Oranje dari pantai timur Amerika Serikat ke Jakarta.”
Saat menyeberangi Samudera Atlantik menuju Jakarta itulah Kahin tanpa dinyana bertemu dengan dengan Kees van Mook. Siapa lagi jika bukan putra Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Hubertus van Mook. Dialah yang mengajari Kahin bahasa Indonesia sambil menemaninya berjalan-jalan di atas kapal.
Dua orang yang baru saja itu bersahabat itu pun bicara soal Indonesia. Kedua bule muda itu tergolong orang dari zaman baru, zaman yang anti-kolonialisme. Dalam buku sejarah, Van Mook termasuk pejabat Belanda tua yang turut berusaha memperpanjang kolonisasi Belanda. Sebagai pejabat Belanda dia terpaku pada slogan Belanda: je martendrai (kami akan berkuasa selamanya) di Hindia—yang kala itu sudah disebut Indonesia.
Sebagai generasi muda yang memahami arus pasang anti-kolonialisme, Kees tentu ada dalam posisi yang sulit. Tetapi dengan jujur, seperti ditulis Kahin dalam Southeast Asia: A Testament (2003), Kees tak pernah menyangkal siapa dirinya. “Ini salah ayah saya,” begitu Kees berkata.
“Persahabatan yang terjadi karena kebetulan itu tidak hanya menghasilkan kemampuan berbahasa yang lumayan ketika Kahin tiba di Jawa, tapi banyak kontak di kalangan masyarakat kolonial Belanda,” tulis Gouda. “Dari Jakarta, Kahin menyebrang perbatasan ke dalam wilayah Republik Indonesia dengan jip tentara Amerika. Jip itu dibeli Kahin seharga US$ 501.”
Jip itu termasuk salah satu sisa alat perang Amerika di Indonesia, yang belakangan dilelang Konsulat Jenderal Amerika di Jakarta. Sebagai veteran tentara Amerika, Kahin mendapat prioritas untuk membelinya.
Dalam perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta, Kahin dan jipnya pernah dikepung massa rakyat di Kebumen. Postur dan wajah bule tentu membuatnya jadi bahan kecurigaan sebagai mata-mata Belanda. Massa itu bisa beringas dan membuat Kahin mampus atau babak-belur. Tak disangka, massa itu jadi tenang karena Kahin memekik: “Merdeka!”
Dengan ditemani seorang perwira TNI bernama Sutrisno, juga sebuah bendera kecil merah putih yang dipasang di jip hasil jahitan istri Sutrisno, Kahin pun tiba dengan selamat di Yogyakarta. Kota gudeg itu segera menjadi basis utama Kahin melakukan penelitian untuk disertasinya.
Masa-masa penelitian Kahin Indonesia diwarnai persahabatannya dengan orang-orang Indonesia. Kahin sering ngobrol santai dengan mereka, yang tak jarang bicara soal politik. Setelah Peristiwa Madiun 1948, Kahin malah diajak pihak pemerintah untuk meninjau wilayah tersebut.
Selain sibuk meneliti melalui pengamatan jarak dekat, Kahin tak lupa menulis laporan dan artikel tentang Indonesia ke surat kabar-surat kabar Amerika. Tulisan-tulisan Kahin dengan terang benderang memperlihatkan simpatinya kepada Indonesia.
Blokade ekonomi oleh Belanda untuk memperlemah posisi Indonesia dianggap Kahin begitu keterlaluan. Menurut Gouda, Kahin menulis kegeramannya di Far Eastern Survey pada November 1948. Ia memuntahkan kemarahannya soal kelangkaan obat-obatan untuk penyakit tropis dan sulitnya kampanye pemberantasan buta huruf yang dilakukan Republik Indonesia karena kekurangan buku. Biang keroknya, menurut Kahin dalam tulisan itu, siapa lagi kalau bukan Belanda yang mengembargo Republik Indonesia.
Sikap Kahin ini menjadi alternatif bagi publik Amerika untuk memahami Indonesia. Sebelum-sebelumnya, publik Amerika lebih dipengaruhi oleh kampanye dan propaganda Belanda. Mereka mencoba membangun opini bahwa Belanda mendapat dukungan dari Amerika.
Hal inilah yang amat mengganggu pikiran Kahin. “Kahin melihat pesawat tempur di angkasa dengan lambang bintang putih Amerika; dia juga menemukan perwira-perwira Belanda mengenakan seragam tempur yang masih bertuliskan US Marine. Kahin malah menduga bahwa permintaan (Menteri Luar Negeri Amerika) Byrnes untuk melepas semua lambang AS dari peralatan militer sengaja diabaikan agar menimbulkan kecurigaan bahwa tentara Belanda mencoba menunjukkan seolah mereka mendapat dukungan penuh Amerika dalam konfrontasi bersenjata melawan Republik Indonesia,” tulis Gouda.
Kahin juga menjadi saksi yang kritis atas lemahnya kekuatan Republik yang menjaga Ibukota Republik Yogyakarta ketika Belanda menyerbu pada 19 Desember 1948 dalam Agresi Militer II. Serangan tak terduga yang membuat Yogyakarta dengan mudah dikuasai Belanda dalam tempo kurang sehari.
Dalam memoarnya Southeast Asia: A Testament (2003), Kahin mempertanyakan pernyataan Soeharto dan Nasution yang menyoroti keengganan Sukarno juga Hatta memilih ditangkap ketimbang ikut bergerilya bersama para pejuang. Sumber-sumber militer selalu menyebutkan bahwa para pejuang Indonesia sudah pasti akan memberi perlindungan kepada petinggi Indonesia, terutama Sukarno-Hatta jika bersedia ikut gerilya.
“Perlindungan apa?” tanya Kahin dalam tulisannya sendiri. Kahin tak melihat perlindungan yang memadai. Kahin melihat, baik Nasution dan Soeharto, yang ketika itu punya pasukan, tidak memberikan perlawanan terbaiknya pada 19 Desember 1948. Bahkan dengan mudah Yogyakarta diduduki tentara Belanda yang menyerbu ibukota RI dengan pasukan yang sebenarnya jumlahnya sedikit namun bergerak dan bekerja secara efisien.
Indonesianis Terkemuka
Setelah Tentara Belanda angkat kaki dari Indonesia pada 1950 dan terbitnya buku Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Kahin masih terus berhubungan dengan Indonesia. Setelah tahun-tahun tersebut, Kahin termasuk aktivis anti perang yang dilakukan Amerika. Perang Vietnam, atau perang apapun yang melahirkan penderitaan rakyat dunia ketiga, apalagi yang melibatkan Amerika, selalu dia kutuk.
Sebagai dampaknya, Kahin tidak terlalu disukai oleh sebagian kalangan Amerika. Ia pernah merasakan tuduhan sebagai simpatisan komunis oleh publik Amerika yang berhaluan anti komunis.
Sebagai peneliti, Kahin meneruskan kariernya di bidang akademik. Namanya makin terkenal di Asia Tenggara karena berinisiatif membangun Pusat Kajian Asia Tenggara di Cornell University, Ithaca. Disertasinya tentang Indonesia, yang kemudian dibukukan menjadi Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, menjadikannya sebagai salah satu dari sedikit orang Amerika yang dianggap punya otoritas akademik tentang Asia Tenggara, terutama Indonesia.
Dari kegiatan akademiknya sebagai profesor di Cornell itulah Kahin membangkitkan minat publik Amerika terhadap Asia Tenggara dan Indonesia hingga ia meninggal pada 29 Januari 2000. Sangat banyak ahli tentang Asia Tenggara dan Indonesia yang lahir dari gemblengan Kahin. Beberapa di antaranya adalah Daniel Lev, Audrey Kahin dan Ben Anderson.
Melihat kiprah “kecil” Kahin bagi Indonesia, ia tak ubahnya Hanuman dalam epik Ramayana: makhluk asing serupa kera yang berada di pihak Rama. Dalam konteks Revolusi Indonesia, Kahin adalah orang asing yang berada di pihak yang benar. (sumber Tirto.id)