Laju pertumbuhan penduduk tidak sebanding dengan laju pertumbuhan produktivitas pertanian. Penurunan produktivas ini salah satunya disebabkan oleh perubahan iklim yang menurunkan jumlah produksi pangan akibat dari tanah perubahan musim yang tidak menentu, kekeringan/kemarau, longsor, dan minimnya sumber air.
Sedangkan diskursus pangan memang tidak se-seksi tema lain yang sering diperbincangkan. Apalagi keberadaanya dianggap masih ideal dan sedang baik-baik saja.
Ketua Tatanan Masyarakat Sehat Mandiri Forum Kota Sehat (FKS) Tangsel, Shinta Wahyuni Chairuddin mengatakan, padahal keberadaannya sangat dibutuhkan dan tidak ada manusia yang tidak bergantung padanya. Membincang pangan berarti membahas tentang makanan atau minuman dan bagaimana ketersediannya. Tetapi mestinya lebih dari itu, bicara pangan berarti juga bicara kelangkaan dan kelaparan. Itulah mengapa lahir hari pangan sedunia yang selalu diperingati setiap tanggal 16 Oktober.
“Sebagai masyarakat urban, mungkin kita tidak pernah punya masalah dengan pangan. kebutuhan sehari-hari akan pangan masih bisa dipenuhi karena dapat dengan mudah diperoleh atau dibeli. Tapi dibelahan lain, pangan masih menjadi emas permata yang sulit didapatkan. Global Hunger Index (GHI) atau Indeks Kelaparan Global tahun 2020 merilis jumlah orang yang tidak mendapatkan nutrisi secara layak sebanyak 2,4 miliar atau hampir sepertiga populasi dunia. Jumlah ini jauh meningkat dari sebelumnya yang hanya 320 juta,” ujarnya.
Melihat fakta tersebut, selain penyelamat umat manusia pangan juga berpotensi menjadi bencana jika langka keberadannya. “Oleh karena itu, mulai saat ini harus mulai peduli terhadap ketahanan dan kemandirian, serta kedaulatan pangan. Kenapa? Sistem ketahanan pangan baik skala global maupun nasional masih rapuh. Hal ini sangat dimungkinkan beberapa tahun ke depan akan terjadi rawan pangan. Sebagai dampak dari pamanasan global atau perubahan iklim, alih fungsi lahan petanian, serta rendahnya masyarakat akan produksi pangan,” tambah Shinta.
Shinta juga menegaskan, Perubahan iklim memiliki dampak yang serius mengancam kehidupan. Ancamannya tidak tanggung-tanggung, mulai dari perubahan musim, seperti musim hujan dan kemarau tidak menentu, krisis air bersih, produksi panen hingga gagal panen, sampai dengan penyebaran penyakit.
Lanjutnya juga, negara-negara yang tidak responsif terhadap perubahan iklim akan mengahadapi kondisi buruk dari adanya perubahan iklim. Apalagi saat ini suhu sudah berapa pada level optimal, artinya pemanasan kecil saja akan menurunkan produktivitas sehingga sulit untuk menumbuhkan sumber pangan, ironinya kondisi ini akan banyak dialami oleh neraga-negara yang berada pada kawasan tropis.
“Disamping itu, lahan pertanian sebagai basis dan tempat produksi pangan makin tergerus sementara jumlah penduduk semakin meningkat tidak terkendali. Peningkatan jumlah penduduk semestinya diikuti oleh peningkatan produktivitas pangan yang ditandai dengan peningkatan luas pertanian. Namun faktanya tidak, selain semakin ditinggalkan para generasi petani karena dianggap tidak menjanjikan, lahan pertanian juga banyak yang berlaih fungsi menjadi tanaman beton. Ironisnya, kegiatan dilakukan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat yang masih dapat dimaklumi, namun juga dilakukan oleh pemerintah yang seharusnya dapat menjaga lahan pertanian tetap tumbuh,” tegasnya.
“Satu-satunya celah yang dapat dilakukan untuk menjaga ketahanan pangan adalah melalui penyadaran masayarakat akan pentingnya pangan terutama pada generasi milenial. Sebelumnya memang pertanian identik dengan lahan pertanian berupa sawah yang digarap secara tradisional. Identik dengan kotor dan pegawai (petani) yang berpendidikan rendah. Ditambah dengan lahan yang minim dan harga yang tidak menjanjikan menjadi profesi petani kian dijauhi. Mereka lebih memilih bekerja kantoran atau buruh pabrik sekalipun dengan penghasilan yang lebih pasti,” tambah Shinta.
Kesadaran ini perlu segera ditanamkan pada generasi milenial, bukan semata-mata ada peluang bisnis disitu tapi juga ini menyangkut ketahanan pangan dan kehidupan umat manusia. “Generasi kita harus segera memikirkan bagaimana memproduksi pangan terutama pada lahan yang minim. Tidak hanya untuk dikonsumsi sendiri tapi bagaimana dapat menghasilkan profit dari kegiatan pertaniannya. Selain itu perlu juga memikirkan bagaimana rantai pasok pangan dari desa-kota terjamin. Bagaimana kolaborasi village-urban farmer dapat terjalin saling melengkapi, menguatkan, dan menguntungkan,” ungkapnya.
Shinta mengatakan, peran pemerintah, baik pusat maupun daerah dibutuhkan. Harus segera dibuatkan kebijakan dan program, bagaimana urban farmer pada generasi milenial ini tumbuh. Terutama didaerah perkotaan, kerja dinas pertanian sering tidak terdengar karena berada di daerah yang ditopang oleh sektor perdagangan dan jasa yang mayoritas masyarakatnya bekerja pada sektor itu. Semestinya pemerintah, khususnya pemerintah kota harus mulai kerja keras demi tecapainya kemandirian pangan dan mendorong terciptanya pertanian urban.
“Di Kota Tangsel misalnya, lahan pertanian masih minim dan terus berkurang setiap tahunnya. Data Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Kota Tangerang Selatan misalnya menyebutkan 98 persen lahan pertanian yang ada sudah beralih fungsi sejak tahun 2011 sejak masuknya para pengembang. Pada tahun 2011 lahan pertanian (sawah) di Kota Tangerang Selatan masih 220 hektar, menyusut menjadi tinggal 3 hektar pada tahun 2021, kondisi ini juga terjadi pada daerah-daerah lain. Sementara Kota Tangerang Selatan sangat tergantung pada hasil pangan dari daerah lain. Jika kondisi ini terus berlanjut maka kelangkaan pangan di Kota Tangerang Selatan tinggal menunggu waktu yang tidak lama,” paparnya.
Pekerjaan pengembalian alih fungsi lahan menjadi lahan pertanian tentu bukan perkara mudah, karena tidak hanya menyangkut pengaturan urban farmer tetapi juga menyangkut faktor lain seperti seperti pemukiman.
“Oleh karena itu tugas pemerintah memang berat, pemerintah daerah/kota harus bisa mendesain sektor pertanian di wilayahnya yang minim akan lahan pertanian melalui desain kebijakan yang ideal sehingga tercapai kemandirian pangan. Pemerintah daerah/kota dapat membenahi ketahanan dan kemandirian pangannya mulai dari sebuah gerakan penyadaran masyarakat akan pentingnya kesediaan pangan terutama pada generasi milenial. Mulai dari Gerakan menanam pohon produktif yang sekaligus sebagai tanaman pelindung,” pungkasnya. (dra).