Keterbatasan ekonomi tak lantas membuat Muharmi putus asa. Dengan kegigihan dan keuletannya, pria 70 tahun ini berhasil mendidik kelima anaknya sukses pada pelbagai bidang. Dari tenaga pengajar hingga pegawai negeri. Salah satu anaknya bahkan akan melanjutkan sekolah doktoral. Bagaimana kisahnya?
Ceritanya dimulai pada tahun 1980, ketika pria asli Kabupaten Pariaman, Sumatera Barat ini mengadu nasib di Jakarta. Saat merantau ia meninggalkan istri, Murni dan kedua anaknya yang masih belia. Saat merantau, dirinya bahkan tidak memberitahu sang anak, istri hanya memberi tahu kalau sang ayah tengah dalam keperluan. Keinginan merantau didasarkan mau merubah nasib karena bekal pendidikannya hanya lulusan sekolah dasar.
Pada satu ketika, ada teman kampungnya yang juga merantau di Jakarta, pulang. Ternyata ketika hendak balik ke Jakarta, istri dan anak Muharmi ikut juga diboyong. Dirinya kaget ketika sang istri beserta anak tiba-tiba ada di Jakarta. Rupanya keinginan sang istri ikut ke Jakarta karena rasa kangen yang begitu mendalam. Singkat cerita, sang istri tidak bisa hidup tanpa belahan jiwanya.
Awal hidup bersama istri di perantauan tidak langsung hidup enak. Melainkan prihatin karena tinggal di bantaran kali Ciliwung dengan membayar sewa bulanan kepada pemilik bangunan tersebut. Sanitasi dan kebersihan yang buruk bikin Muharmi beserta keluarga menjadi tidak terjamin kesehatannya. Penyakit hilir mudik menghinggapi keluarganya. Kondisi Muharmi yang hidup susah terdengar saudara sepupunya, Ujang Satri, yang kebetulan sudah berhasil karena bekerja di Bank swasta terkemuka. Ia pun memberikan obat dan meminta Muharmi tinggal di dekat kediamannya. Ia menurut dan kemudian bekerja menjadi kondektur Bus Metromini milik Udjang. Dirinya pun membiayai sekolah anak Muharmi. Tak hanya itu, ia pun membeli sebidang tanah di Depok seluas 5.000 m2 untuk bisa ditinggali Muharmi. Disinilah kehidupannya mulai berubah. Dari anaknya yang bertambah menjadi lima orang hingga usaha ternak ayam dan ikan yang mulai tumbuh. Sayangnya, bisnis yang mulai naik seketika jatuh. Pelbagai pekerjaan dilakoni setelah usaha ikan dan ayamnya bangkrut, dari berburu ular dan menjualnya, berdagang perabotan di emperan pasar Parung Bogor, menjadi kuli galian PLN pinggir jalan, berjualan nasi padang, penjaga kandang ayam, bertani singkong, berjualan jamu gerobak tradisional, jual-beli pasir, menjual bata tanah liat hingga menjadi pembantu rumah tangga di rumah WNA asal Prancis.
Meski serba terbatas, namun, Muharmi bertekad anak-anaknya bisa sekolah tinggi. Keinginannya tersebut berhasil karena dari lima anaknya, empat berhasil meraih sarjana, bahkan ada yang sekolah pascasarjana serta menjadi dosen tetap di perguruan tinggi swasta ternama. Namanya Adi Musharianto, yang berprofesi sebagai dosen di ITB Ahmad Dahlan. Ia anak kedua. Hidupnya pun tak mulus, namun tekadnya besar untuk berhasil. Pria kelahiran 1979 ini berhasil kuliah di Akademik Keuangan dan Perbankan Muhammadiyah (AKPM, sekarang ITB Ahmad Dahlan). Dengan penghasilan yang tidak tentu dan pas-pasan, pada 1999 ia menjadi sarjana muda atau ahli madya. Tekadnya yang kuat untuk bisa lulus S1, membuatnya nekad karena bermodal biaya registrasi Rp 50ribu. Untuk memenuhi biaya kuliah, Adi bekerja sebagai sales counter di toko buku Gramedia Pondok Indah selama dua tahun hingga lulus jadi Sarjana Ekonomi (SE) pada 2002. Akhir 2012r, Adi mendapatkan kesempatan beasiswa oleh kampusnya untuk meneruskan ke jenjang pascasarjana. Pada akhir 2013 Adi menikah, dua tahun berselang ia mendapat gelar Magister Manajemen (MM) dan langsung mengajar di ITB Ahmad Dahlan Jakarta hingga sekarang.
Sedang anak pertama Muharmi, Indra Joni, lulus SMA. Ia mengalah tak melanjutkan sekolah lebih tinggi agar sang adik bisa sarjana. Anak ketiga Susanti menjadi pegawai negeri di Dinkes Pariaman, Sumatera Barat. Anak keempat Zulkifli lulusan sarjana Keperawatan di STIKes Mercubhaktijaya Padang dan sekarang bertugas di Puskesmas Rawatan Luga, Solok Selatan. Anak kelima Yuli Fitriyani adalah dosen di Universitas Gunadarma, ia akan melanjutkan sekolah doktoral. Begitulah kisah inspiratif Muharmi dengan segala keterbatasannya, namun bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang tinggi. (*)