Hiruk pikuk perayaan hari besar Idul Fitri tahun ini memang terasa beda. Maklum, masyarakat mulai merasakan adanya ‘udara kebebasan’, setelah dua tahun dunia, termasuk di dalamnya Indonesia, dilanda virus mematikan Covid19.
Lembaga Kesehatan Dunia (WHO) juga telah membuka peluang bahwa tahun ini status penyebaran penyakit Covid19 dari pandemi menjadi endemi. Pemerintah mulai membuka pembatasan kegiatan masyarakat. Pusat-pusat pembelanjaan mulai diperlonggar. Kegiatan-kegiatan yang mengundang massa pun perlahan mulai diperbolehkan. Even-event skala besar seperti IIMS (Indonesia International Motor Show) di Jakarta International Expo Kemayoran sukses diselenggarakan.
Tak hanya itu, pada tahun ini pula, pemerintah mengeluarkan kebijakan membolehkan masyarakat untuk melaksanakan mudik. Terus terang, kebijakan ini membawa angin segar bagi banyak pelaku usaha. Pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya lesu hingga minus diperkirakan tumbuh positif. Lebaran tahun ini diprediksi akan ada sekitar 85 juta yang melakukan ‘ritual’ mudik.
Pemerintah pun menyiapkan berbagai strategi agar kegiatan mudik ini bisa berjalan lancar, dengan menyediakan infrastruktur baru. Pembangunan jalur selatan Pulau Jawa non tol digeber dan sudah bisa dipergunakan. Tak hanya itu, pemerintah juga telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 34,4 trilun untuk tunjangan hari raya (THR) dan gaji ke-13 bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Perusahaan swasta juga diwajibkan memberikan THR penuh tanpa boleh dicicil seperti pada tahun 2020-2021 lalu.
Dengan adanya kebijakan THR itu artinya masyarakat Indonesia memiliki pendapatan lebih pada saat momentum Lebaran. Perputaran uang pada saat Lebaran tahun 2022 ini diprediksi mencapai Rp8.000 triliun. Angka itu tercatat tumbuh 4,26 persen dibanding perputaran uang pada bulan-bulan biasanya yakni Rp 7.672,4 triliun.
Tingginya perputaran uang pada saat Lebaran membuat banyak pelaku usaha melakukan pelbagai promosi. Maka tidak heran tatkala menjelang Lebaran iklan-iklan produk mulai dari customer goods, fesyen, otomotif, pariwisata, elektronik hingga properti berlomba-lomba memberikan potongan harga yang menarik konsumen.
Coba tengok materi-materi iklan di pelbagai media massa periklanan, jelang Lebaran isinya pasti promo, potongan harga, hingga ‘cuci gudang’. Yang menjadi masalah adalah tidak sedikit penambahan pendapatan pada saat Lebaran hanya sekadar untuk konsumtif gaya hidup.
Meski terdapat juga sebagian kalangan kelas menengah mapan, penambahan pendapatan ini digunakan untuk membeli aset. Properti dan emas aset low risk yang banyak diburu. Seakan-akan sudah menjadi teologi baru, uang THR dihabiskan untuk membeli pelbagai barang, baik barang konsumtif hingga barang yang sifatnya aset.
Bagi sebagian besar orang perantau, membeli barang-barang baru dan ‘wah’ merupakan hal yang dianggap kesuksesan. Para perantau yang hijrah ke kota-kota besar masih belum dianggap sukses jika pada waktu mudik tidak membawa barang-barang baru dan bagus, yang tentu saja tidak ada di kampung halamannya. Pandangan ini sudah seperti doktrin di masyarakat.
Mudik menjadi waktu berharga bagi para perantau berkumpul dengan keluarga. Banyak cerita sekaligus harta dibawa mereka untuk dibagi kepada keluarga tercinta. Ini sekaligus membuktikan bahwa mereka bisa sukses berjuang di kota. Tidak sedikit masyarakat memanfaatkan ajang mudik Lebaran justru menjadi ajang pamer harta atau flexing.
Besarnya rasa gengsi hidup di kota ketika kembali ke kampung halaman menjadi pemicunya. Mudik juga merupakan ajang untuk menunjukkan tingkat kesuksesan seorang perantau. Kondisi ini biasa terjadi kepada mereka yang menjadikan perantauan sebagai ajang untuk mengubah nasib. Seakan-akan menunjukkan bahwa ‘saya sudah berhasil’, kepada sanak famili, kerabat, sahabat dan orang-orang di kampung halamannya.
Data yang penulis peroleh menunjukkan bahwa prilaku pamer harta sudah menjamur bagi masyarakat perkotaan yang merasa memiliki “kekayaan lebih”, atau pihak yang memiliki kepentingan dalam menjalankan strategi pemasaran sebuah produk tertentu.
Lantas apa yang dimaksud dengan flexing. Menurut kamus Merriam-Webster, flexing adalah pamer sesuatu dengan cara mencolok. Definisi yang sama juga tertulis dalam Cambridge Dictionary yaitu pamer. Lebih jelasnya, flexing diartikan sebagai pamer atau terlalu membanggakan hal yang dimiliki tapi dengan cara yang kurang menyenangkan bagi orang lain. Menurut dictionary.com, kata flexing merupakan slang dari ras kulit hitam era 90-an yang menggunakan bahasa gaul ini sebagai istilah pamer keberanian atau membanggakan sesuatu.
Pada tahun 1992, rapper Amerika Serikat Ice Cube menggunakan kata flexing dalam lirik lagunya yang berjudul It Was A Good Day. “Saw the police and they rolled right past me/No flexin’, didn’t even look in a n*gga’s direction as I ran the intersection“.
Selanjutnya, kata “flex” atau flexing kembali populer di tahun 2014 berkat No Flex Zone dari Rae Sremmurd. Istilah ini berarti zona orang-orang yang santai, bersikap natural seperti dirinya sendiri dan tidak pamer atau pura-pura jadi pribadi yang berbeda.
Menurut ekonom Renald Khasali, banyak vlogger atau content creator yang menjadikan ajang flexing atau pamer kemewahan ini sebagai konten di laman media sosialnya, yakni dengan menunjukkan barang branded hingga rumah mewah.
Urban Dictionary mendefinisikan istilah flexing sebagai tindakan memamerkan kekayaan untuk mendapatkan perhatian. Jika melihat dari kacamata ilmu pemasaran, flexing bisa dikaitkan dengan Teori Conspicuous Consumption yang merupakan tindakan pembelian produk untuk menunjukkan tingkat kekayaan seseorang.
Terlepas kontroversial tentang kasus Indra Kenz dan Doni Salmanan, namun masyarakat sepertinya menikmati perilaku flexing. Sebab, para pelaku flexing hendak membuat citra dan pesan kepada orang lain untuk melihat mereka berada di suatu tingkat tertentu, meski sebenarnya tidak demikian.
Secara ekonomi, flexing merupakan masuk bagian dari psikologi ekonomi. Pembahasan flexing pada perilaku pelaku-pelaku ekonomi, baik secara personal maupun secara korporasi. Psikologi ekonomi adalah cabang psikologi yang memperhatikan isu-isu ekonomi berdasar pada sudut pandang pengetahuan dan tehnik-tehnik metodologis yang telah dikembangkan oleh cabang-cabang psikologi lain.
Penelitian yang dilakukan penulis menggunakan metode grounded theory kualitatif dengan sampling top manager yang tinggal di kawasan Jabodetabek menunjukkan, fenomena flexing merupakan bagian dari personal branding yang dianggap hal yang wajar. Flexing telah menjadi suatu fenomena yang muncul dan dilatarbelakangi oleh faktor psikologis maupun ekonomis dari pelaku personal branding dan merupakan strategi marketing dalam memasarkan sebuah produk tertentu.
Artinya masyarakat juga sudah sadar bahwa flexing merupakan sesuatu yang wajar dilakukan lantaran bagian dari cara seseorang dalam meningkatkan keuntungan dengan personal branding dan coorporate branding. Karena flexing merupakan salah satu strategi marketing (baca; digital marketing) yang dilakukan pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan.
Pada momentum mudik, perilaku flexing juga dapat diartikan sebagai show up akan kesuksesan kaum urban yang telah merantau ke kota. Mereka seakan-akan ingin menujukkan bahwa telah sukses di tanah rantau dengan membawa segudang barang-barang baru branded (meskipun terkadang kw alias merek bajakan).
Segi posifitnya, perilaku flexing yang dilakukan kaum perantau pada momentum mudik bisa menjadi motivasi bagi masyarakat di kampung halaman. Banyak masyarakat di desa akhirnya terpacu untuk mendapatkan hidup lebih baik. Hal ini juga terkadang membuat para pemudik membawa sanak famili atau tetangganya ikut ke kota.
Karena itu, penulis mengambil kesimpulan, perilaku flexing merupakan suatu kewajaran dan akan semakin marak tatkala pada massa mudik. Para kaum urban yang pulang kampung akan berperilaku flexing di kampung halamannya masing-masing dengan menunjukkan hasil kesuksesan mereka. Perilaku flexing ini pula yang membuat angka urbanisasi setiap pasca arus mudik selalu meningkat setiap tahunnya. Kita lihat saja. (*)
* Muhammad Istijar Nusantara
Direktur Rumah Branding dan Dosen Prodi DKV ITB Ahmad Dahlan Jakarta (*)