Untuk Kepentingan Umum

Partai Politik, Hanya Sebagai Alat Kuasa?

Tujuan lahirnya partai politik dilihat dari kacamata pragmatis hanya untuk merebut kekuasaan. Sesungguhnya esensi tersebut tidak salah. Pertanyaannya, setelah diberikan kuasa, apa yang akan dilakukan.

Idealnya kuasa itu digunakan untuk mendistribusikan kesejahteraan masyarakat. Partai politik itu melahirkan kader-kader, untuk menjadi pemimpin. Nantinya pemimpin ini disitribusikan ke lembaga eksekutif atupun legislatif. Lewat mereka kita berharap lahir kebijakan-kebijakan yang pro rakyat. Mandat yang diberikan rakyat melalui demokrasi prosedural seperti pilkada, pileg, ataupun pilpres dapat digunakan dengan sebaik mungkin.

Tujuan politik itu cita-cita sucinya untuk kesejahteraan bersama. Dimana rakyat memberikan kuasanya untuk dikelola lewat lembaga-lembaga formal untuk ditunggu kebijakannya yang dapat mensejahterakan.

Inti pemilu itu memberikan vote menjadi voice. Bahasanya sederhana kita mencoblos bukan sekadar hanya ritual lima tahunan saja. Ada harapan di balik bilik suara, ada perubahan di balik bilik suara, ada secercah kehidupan yang lebih baik di balik bilik suara. Namun, pasca reformasi 22 tahun silam, rasanya belum sepenuhnya bisa terwujud.

Yang terjadi dalam setiap pesta demokrasi, ada politik uang, jual beli suara. Rakyat hanya dilihat sebagai angka-angka yang diprosentasikan jumlahnya. Esensi politik untuk kesejahteraan itu hilang. Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah demokrasi prosedural menjadi jawaban akan membaiknya masyarakat kita? Ini menjadi kegelisahan kita bersama.

Lalu apa yang bisa dilakukan. Masuk dalam partai politik yang sudah sedemikian rusak, lalu kita memperbaikinya. Atau kita hanya berdiam diri, pasrah dengan keadaan. Kalaupun kita masuk partai politik apakah bisa ada perubahan. Sebaliknya, kita ikut sistem yang sudah berjalan dan ikut menjelajahinya. Pertanyaannya, apalah kita sanggup untuk mengubah itu. Ini menjadi pertanyaan besar.

Dinasti Politik dan Pemetaannya

Partai politik dikuasai oleh kelompok-kelompok besar. Mereka kemudian melahirkan oligarki yang kemudian mendukung sistem yang sudah lama terbangun. Pengelompokan-pengelompokan tersebut ada di pusat hingga daerah. Partai mapan seperti PDI Perjuangan, Partai Gerindra, Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrat, punya simbol satu pemimpin. Mereka dikatakan sebagai pemersatu. Seperti PDI Perjuangan yang identik dengan Megawati Soekarno Putri, Partai Gerindra yang identik dengan Prabowo Subianto, Partai Demokrat yang didentik dengan Susilo Bambang Yudhoyono,  Partai Kebangkitan Bangsa yang identik dengan Muhaimin Iskandar, ataupun Partai NasDem yang identik dengan Surya Paloh.

Kuatnya ketokohan partai tersebut bisa berdampak baik, juga berdampak buruk. Baiknya mereka dianggap pemersatu, terjadinya perpecahan partai bisa dihindari. Buruknya, kekuasaan yang begitu mutlak di partai tersebut menghambat terjadinya regenerasi kader.

Selain itu, kondisi ini juga menguatkan tumbuhnya dinasti politik. Pada pemilu 2019 dinasti politik meningkat. Setidaknya premis ini terkonfirmasi oleh riset lembaga studi Nagara Institute yang menyebut sekitar 17,22 persen anggota DPR RI 2019-2024 merupakan bagian dari dinasti, sebab memiliki hubungan dengan pejabat publik, baik hubungan darah, pernikahan, maupun kombinasi keduanya.

Jika diklasifikasi secara partai, maka terdapat tujuh partai yang paling banyak menerapkan politik dinasti di level legislatif nasional. Di urutan pertama adalah Partai Nasdem yang meloloskan 20 orang berdasarkan politik dinasti dari total 59 perolehan atau 33,90 persen anggota lolos ke Senayan. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menempati urutan kedua, yaitu sebesar 31,58 persen dari total kursi DPR RI, kemudian secara berturut-turut Golkar sebesar 21,18 persen, Demokrat 18,52 persen, PAN 18,18 persen, Partai Gerindra 16,67 persen, dan PDIP 13,28 persen. Sementara PKB dan PKS menjadi partai yang menempatkan dinasti politik di bawah 10 persen. Berdasarkan riset Nagara Institute, PKB memiliki persentase paling kecil terpapar politik dinasti, yaitu 5,17 persen dari total perolehan 58 kursi. Sedangkan PKS sebesar 8,00 persen dari total 50 kursi di DPR.

https://tirto.id/dinasti-politik-era-jokowi-menguat-apa-bahayanya-bagi-demokrasi-ezZ4

Dinasti politik itu bicara pelanggengan kekuasaan. Dimana kuasa biasanya diturunkan kepada anak, keponakan, ipar, dan lain sebagainya. Tidak salah memang adanya dinasti politik jika berpatokan kepada setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih. Menjadi soal, ketika kelompok ini memanfaatkan kekuasaannya untuk mendukung  calon tertentu. Ketika nanti terpilih apakah bisa memperjuangkan rakyat. Sementara penguasa ini sejak lahir sudah terbiasa enak dan bergelimang harta. Rakyat hanya menjadi pemanis belaka dalam setiap pemilu. Mereka dihitung hanya dari angka-angka saja. Sementara keadaan terbentuk karena kesadaran. Bagaimana bisa merasakan denyut rakyat, sedang dari kecil hidupnya bergelimangan kemewahan. Ini menjadi pertanyaan kita bersama? (*)

 

* Ibrahim Bali Pamungkas S.T, M.M (Akademisi Universitas Pamulang)

 

 

Berita Lainnya
Leave a comment