Untuk Kepentingan Umum

Cawe-cawe Presiden Jokowi

Kata cawe-cawe kini familiar di telinga publik tanah air. Meski, kata itu sebetulnya sudah ada sejak lama. Namun kembali lagi jadi perbincangan ketika yang mengucapkannya orang nomor satu di negeri ini. Ya, ungkapan presiden tentang cawe-cawe disampaikan ketika menerima pimpinan redaksi dan konten kreator beberapa waktu lalu di Istana Negara.

 

Jokowi mengeluarkan kata cawe cawe menjawab pertanyaan awak media tentang sosok calon presiden dan calon wakil presiden Pemilu 2024 mendatang. Adapun Jokowi menjawab jika dirinya harus ikut cawe-cawe untuk kepentingan negara.

 

Sontak cawe-cawe menjadi begitu familiar, bahkan sempat trending topik di beberapa flatform media sosial.

 

Jika merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah cawe-cawe merupakan sebuah kata yang diambil dari bahasa Jawa. Kata tersebut mempunyai arti membantu mengerjakan (merampungkan, membereskan); ikut menangani.

 

Melansir dari Merdeka.com kata cawe-cawe mempunyai arti tindakan ikut campur mengenai suatu hal atau urusan yang tak seharusnya menjadi tanggung jawab atau kewenangan seorang.

 

Sehingga, jika mengambil makna dari apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi bisa jadi berarti tindakan ikut campur dalam hal politik. Istilah cawe-cawe bisa jadi bermakna politis sehingga menimbulkan stigma yang negatif.

 

Namun, kata cawe-cawe sendiri dapat digunakan oleh siapa saja dan maknanya pun netral sehingga dalam situasi tertentu dapat berubah. Salah satunya saja jika istilah cawe-cawe digunakan dalam dunia politik maka istilah ini pun bisa berubah juga artinya.

 

Nah, kembali lagi kepada istilah cawe-cawe Jokowi jelang pemilu 2024. Jika melihat esensi sebagai presiden yang merupakan pejabat politik, hal itu masih wajar-wajar saja. Malah akan aneh jika Jokowi sebagai subjek politik tidak terlibat dalam proses politik. Dalam artian, posisinya hanya diam saja tidak melakukan apa-apa.

 

Maka itu, ketika presiden bilang bakal cawe-cawe dalam pemilu tahun depan, itu suatu yang wajar dan seharusnya. Bisa dibilang Jokowi jujur akan terlibat dalam proses politik tahun depan.

 

Sikap sang presiden sebetulnya hanya menegaskan dari tindakan yang selama ini sudah sangat telanjang. Di mana presiden seperti mendukung calon yang digadang-gadang akan maju dalam kontestasi lima tahunan itu.

 

Mulai mengajak Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam pelbagai kesempatan, bertemu dengan ketua umum partai pendukung pemerintah hingga mengadakan kegiatan politik dalam skala besar.

 

Misal acara musyawarah rakyat (Musra) yang dihadirinya, sampai memberikan kode pemimpin harus berani, pemimpin berambut putih, dan pelbagai bahasa lainnya.

 

Hal itu sebetulnya bagian dari dinamika Jokowi sebagai makhluk politik, pejabat politik, dan lain sebagainya. Malah dengan keterlibatannya dalam peristiwa politik, menjelaskan kalau dirinya aktif dan membuka wacana baru bagaimana presiden harus bersikap di masa-masa akhir kekuasaannya.

 

Itu bisa terjadi jika berkaca kepada penyerahan estafet kepemimpinan dari satu presiden ke presiden lainnya yang banyak kurang lancar. Ada semacam jarak yang bikin komunikasi di antara presiden yang satu dengan lainnya kurang baik. Seperti estafet dari Soekarno ke Soeharto.

 

Lalu Soeharto ke BJ Habibie. Dilanjutkan Gus Dur ke Megawati sampai ke Susilo Bambang Yudhoyono. Semuanya agak kurang mulus. Bisa dikatakan banyak bumbu-bumbu ketegangan.

 

Nah, hal itu rupanya disadari oleh Jokowi bahwa estafet kepemimpinan harus berjalan dengan baik. Bagaimana bisa baik, calon penggantinya mestinya punya visi dan misi yang sama dengannya. Maka itu, dukungan kepada calon presiden, penganti Jokowi harus disiapkan.

 

Tidak boleh berdiam diri, bersikap netral, apatis, atau enggan merangkul kelompok-kelompok tertentu. Esensinya manusia itu tidak bisa netral. Harus berpihak. Maka itu jika dikaitkan dengan sikap Jokowi terkait pemilu itu sudah pada posisi yang benar.

 

Lalu Kemana Dukungan Jokowi?  

 

Sikap Jokowi memang belum tegas kemana memberikan dukungannya. Secara formal memang dukungan harusnya diberikan kepada jagoan PDIP Ganjar Pranowo, sebagai tempat parpol sang presiden berasal. Namun dukungan itu belum juga diberikan secara tegas, sejak 21 April lalu, ketika Ganjar secara resmi diberikan mandat untuk maju sebagai calon presiden.

 

Malahan satu hari setelah dukungan itu, Jokowi bertemu Prabowo, meski dalam ranah silaturahmi Idul Fitri. Spekulasi yang beredar pertemuan itu tidak hanya sekadar silaturahmi biasa, namun juga bicara soal dukungan resmi PDIP terhadap Ganjar Pranowo.

 

Pertemuan Jokowi dan Prabowo berlangsung dalam suasana kekeluargaan lantaran dihadiri Gibran dan Kaesang beserta Didit yang merupakan putra tunggal sang ketua umum partai Gerindra tersebut. Sepertinya Jokowi bicara tentang kelanjutan koalisi dan proses mengabungkan Prabowo dan Ganjar. Walaupun sudah dibantah sang Menhan yang mengatakan partainya Gerindra juga kuat.

 

Bagi presiden hal itu menjadi semacam dilematis, memilih diantara Ganjar dan Prabowo. Jauh sebelum deklarasi Ganjar, Jokowi sudah pernah mempertemukan keduanya dalam acara resmi. Waktu itu sore-sore di Kebumen, Jawa Tengah, awal Maret lalu.

 

Dalam foto yang dibagikan Sekretariat Presiden, terlihat ketiga berpose dalam suasana persahabatan. Jokowi berfoto bersama Menhan Prabowo Subianto dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo saat melakukan kunjungan kerja ke Jateng.

 

Momen foto bersama Jokowi, Prabowo, dan Ganjar terjadi saat mereka meninjau panen raya padi dan berdialog dengan petani di Desa Lajer, Kecamatan Ambal, Kabupaten Kebumen, Jateng. Ini merupakan agenda pertama kunjungan kerja Jokowi ke Jateng.

Berdasarkan foto yang dibagikan Sekretariat Presiden, Jokowi dan Prabowo terlihat memakai baju kemeja putih lengan panjang. Sementara itu, Ganjar memakai baju seragam dinas warna cokelat. Momen hangat Jokowi, Prabowo, dan Ganjar berfoto bersama itu terlihat penuh keakraban. Ketiganya tampak tertawa bersama.

Foto ketiganya bukan sebuah kebetulan, tapi juga bisa jadi bagian dari awal membangun koalisi sebagai kekuatan besar. Ya, Jokowi ingin menyandingkan Prabowo dan Ganjar. Sementara calon lainnya, Anies Rasyid Bawsedan memang sejak lama komunikasinya kurang begitu baik dengan sang presiden.

 

Nah, jika membaca kepada cawe-cawe presiden dalam pemilu tahun depan, pilihannya calon yang diusungnya memang Ganjar dan Prabowo. Tinggal bagaimana kekuatan Jokowi yang akan cawe-cawe bisa menentukan arah pemilu nanti. Waktu sisa beberapa bulan dari sekarang memang bisa mengubah kontelasi politik.

 

Apakah cawe sang presiden ini ampuh sehingga jagoannya nanti menang. Atau sebaliknya bakal kalah. Namun yang pasti, terlepas dari dinamika politik, presiden sudah mempopulerkan kata cawe-cawe yang memang sudah terkenal sejak dulu, sempat tenggelam dan kini berkibar lagi.

 

Ya, presiden sedang memainkan politik cawe-cawe. Hidup cawe-cawe. (*)

 

 

*Nanda Rodiyana, S.I.Kom, MM.

(Akademisi Universitas Pamulang).

Berita Lainnya
Leave a comment