Untuk Kepentingan Umum

Pemilu 2024, Ajang Kontestasi Antara Kebaikan dan Keburukan

RESPUBLIKA.ID – Pemilu serentak 2024 saat ini sudah memasuki babak akhir, yakni tahapan sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perselisihan Hasil Pemilihan umum (PHP). 

 

Rezim Pemilu serentak sejak tahun 2019 menegasikan bahwa demokrasi pemilihan yang berjalan di negara Indonesia dapat berjalan dengan baik, meskipun dalam mengelola penyelenggaraan Pemilu memiliki tingkatan dinamika tersendiri.

 

Proses panjang yang dilalui selama 18 bulan dalam menyelenggarakan tahapan demi tahapan memiliki jalannya tersendiri. 

 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai regulator utama bersama Komisi II DPR RI sebagai partner kerja tentunya menginginkan pemilu 2024 berjalan dengan baik dan lancar tanpa ada akses. 

 

Persepsi publik dalam perjalannya menganggap bahwa penyelenggaraan Pemilu dapat berjalan dengan baik dan cukup memuaskan. Sampai pada titik pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang banyak menyita perhatian publik sehingga menjadi diskusi warung kopi serta masa tahapan kampanye yang relatif singkat berimbas terhadap penyediaan logistik Pemilu yang masih menggunakan banyak item kebutuhan dari surat suara sampai paku sebagai alat untuk mencoblos. 

 

Namun proses itu semuanya dapat terlewati dengan cukup baik, sehingga kekhawatiran publik dan peserta pemilu terhindar dari cara pandang yang skeptis, bahwa Pemilu 2024 akan berjalan dengan “bar-bar”. 

 

Pemilu serentak menceritakan sisi kebaikan dalam rangka menaikan partisipasi publik untuk menggunakan hak pilihnya secara nasional mencapai angka di atas 81%. 

 

Dorongan Masyarakat pemilih untuk datang ke TPS karena akan memilih calon kepala negara yang baru dalam siklus 10 tahun pemilihan umum pun berjalan. Selain dampak dukungan-dukungan yang fanatik dari masing-masing pendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden serta kampanye yang di laksanakan dari calon anggota legislatif.  

 

Dampak Pemilu antara kebaikan dan Keburukan

 

Pengalaman penulis sebagai penyelenggara Pemilu selama 10 Tahun di Tingkat KPUD Kota Tangerang, menegasikan bahwa ujung dari semua tahapan pemilu adalah hasil pemilu yang telah dilakukan dari hasil pemungutan suara di TPS. 

Hasil tersebut setelah di rekapitulasi sesuai jenjang tingkatannya akan mengalami dinamika pleno yang berbeda-beda. 

 

Dinamika awal yang terjadi adalah apakah yang di dukung oleh masyarakat pemilih berdampak terhadap menang atau kalah calon yang di dukungnya, yang kemudian di tetapkan dalam surat Keputusan secara nasional oleh KPU.

 

Kemudian, persoalan selanjutnya adalah bagi peserta Pemilu yang merasa kalah akan berupaya bahwa akan ada stigma “kecurangan Pemilu” terjadi secara massif sehingga netralitas penyelenggara Pemilu di pertanyakan hingga hasil pemilu bisa di batalkan.

 

Reaksi tersebut menjadi suatu hal yang biasa terjadi dalam dinamika siklus Pemilu. Hanya saja tinggal bagaimana penyelenggara Pemilu, yakni KPU dan Bawaslu menegasikan dalam hal pembuktian pada proses sengketa pemilu di MK.  

 

Proses akhir inilah yang akan membuktikan bahwa kebaikan dan keburukan penyelenggaraan tahapan Pemilu sebagai sebuah proses administrasi dan teknis di pertaruhkan, yang di persepsikan bagi peserta Pemilu yang merasa kalah. 

 

Bahwa dalam UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sudah di buat kanal-kanal terhadap penanganan pelanggaran pemilihan umum secara eksplisit. 

 

Bawaslu menangani pelanggaran administrasi tahapan dan yang dianggap pelanggaran terstruktur, sistematis dan massif (TSM) dan MK menyelesaikan perselisihan hasil Pemilu. 

 

Semestinya skenario tahapan akhir sengketa di MK bagi mereka yang sedang bersidang, sudah mafhum dan mengetahui strategi apa yang akan di mainkan, melihat struktur tatanan kenegaraan yang sudah termaktub dalam Undang-undang. 

 

Dalil-dalil pembuktian selama periode kepemiluan secara langsung sejak 2004 khususnya sengketa pasangan calon Presiden di MK, selalu di menangkan oleh pihak termohon dalam hal ini KPU. 

 

Terbukti hanya di beberapa daerah saja yang mengalami pemungutan suara ulang dan itupun ada pada rezim Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) seperti di Kalimantan Selatan saat pilkada 2020. 

 

Sedangkan, perbedaan payung hukum antara Pemilu dan Pilkada sudah jelas dalam Undang-undangnya tersendiri. Jika pihak termohon sampai kalah, berarti ada sesuatu yang mesti di evaluasi besar oleh negara mengenai proses pemilihan umum di negara kita yang besar ini. 

 

Artikel ini berisi Opini yang ditulis oleh Ahmad Syailendra, Mantan Ketua KPUD Kota Tangerang

Berita Lainnya
Leave a comment