Namanya Gunung Bunder. Lokasinya berada di Kabupaten Bogor, tepatnya Kecamatan Pamijahan.
Wilayahnya dataran tinggi yang mencapai sekitar 750 sampai 1.050 mdpl. Kawasan ini sebagian besar dipunyai Perhutani dengan banyak ditanami pohon pinus.
Untuk mencapai ke tempat tersebut butuh waktu sekira 2 jam; jika dihitung perjalanan dari perempatan Viktor, Setu, Kota Tangerang Selatan.
Akhir pekan lalu saya berkesampatan ke tempat tersebut. Menggunakan sepeda motor, jalur yang dilalui cukup menguras tenaga.
Meski bisa dibilang tak begitu ekstrem. Lantaran masih ditemukan jalan-jalan aspal halus. Ada sedikit yang bergelombang. Banyak truk-truk besar yang berseliweran. Rata-rata usia truk tersebut terbilang muda.
Jalur Gunung Bunder, konon katanya kini sudah lebih bagus ketimbang beberapa tahun lalu. Walaupun masih banyak yang berlobang.
Hal itu bisa terjadi karena memang jalannya saban hari dilalui truk dengan muatan tonase besar.
Untuk sampai ke kawasan tersebut pengendara memang wajib berhati-hati karena jalur yang tak seberapa bagus, ditambah banyak ceceran pasir yang jika tak awas bisa bikin kendaraan terjatuh.
Saya hampir mengalami insiden tersebut. Udara terik ditambah debu bertebaran dengan curah hujan yang makin berkurang bikin jalan licin.
Akhirnya setelah perjalanan hampir dua jam, saya tiba di kawasan tersebut. Udara mulai sejuk, meski hawa panasnya cukup bikin kulit sedikit terkelupas.
Ketika mulai masuk kawasan wisata Gunung Bunder, pengunjung dikenakan tarif Rp20 ribu untuk satu orang. Itu belum termasuk ongkos parkir Rp25 ribu.
Dari tempat parkir jalurnya cukup terjal buat ukuran saya yang memang jarang mengunjungi wisata alam seperti pegunungan.
Nah, ketika sampai parkir juga nanti naik lagi ke beberapa bukit di kawasan tersebut. Sekira 500 meter untuk sampai ke pos pertama.
Namanya bukit Kabayan. Saya tidak tahu apakah nama tersebut diabadikan untuk cerita Kabayan, yang memang kesohor bagi masyarakat tanah Priangan.
Ketika sampai sudah banyak pengunjung yang memasang tenda. Jumlahnya sekira 20an yang berjajar dengan ukuran berbeda-beda. Ada besar, sedang, dan kecil; tergantung seberapa banyak wisatawan yang akan memakai.
Alunan musik dangdut terdengar dari sudut tenda. Mereka terlihat bergembira. Sesekali hentakan musik tersebut bikin pengunjung berjoget riang.
Tawa canda terdengar. Tak ada sinyal di kawasan itu. Ponsel kemudian tidak digunakan. Pengunjung begitu nikmat karena obrolan tidak lagi diselingi dengan membuka telepon genggam
Hutan-hutan pinus dengan gagahnya menjulang. Awan-awan menjadi begitu dekat.
Dari kejauhan tampak rumah-rumah warga berjejer dengan cat yang berwarna-warni. Sementara warung-warung yang menyediakan makanan seperti kopi, mie, teh, jumlahnya cukup banyak.
Sesekali pengunjung mendatangi warung itu, hanya untuk mengopi atau sekedar berbincang dengan pedagang.
Bocah-bocah usia kisaran 2-5 tahun dengan jaket tebal juga terlihat bermain dengan riang gembira. Anak-anak muda asyik memainkan gitar dengan lagu yang tengah popular.
Semakin sore pengunjung kian ramai. Lapangan yang tadinya kosong mulai tersisi tenda-tenda dari pelbagai macam sudut.
Alat-alat mulai dikeluarkan. Dari senter, tas ransel yang isinya perlengkapan makanan; beras, kopi, gula, gelas, sendok, garpu, dan lain sebagainya.
Tak berapa lama asap keluar dari kayu yang jumlahnya banyak dengan susunan agak tinggi. Teko berisi air kemudian dimasak.
Api mulai keluar dengan malu-malu. Suasana kian syahdu ketika matahari mulai tak keliatan sinarnya.
Pada bagian lain, aktivitas pengunjung tambah ramai. Terdengar tertawa, ada juga alunan musik yang kian menambah suasana pegunungan yang kian tentram.
Seorang pedagang yang saya tanyai mengatakan, aktivitas wisata ramai, apalagi kalau akhir pekan.
Mereka banyak berasal dari pelbagai wilayah, seperti Tangerang, Jakarta, Bekasi dan sebagainya. Kawasan Gunung Bunder, menjadi satu daerah tujuan pengunjung yang suka wisata alam.
“Trek di sini tidak begitu terjal. Jalannya juga sudah bagus. Untuk sampai ke bukit Kabayan dari tempat parkir jalannya sudah diperbaiki. Tidak begitu menanyak. Makanya di sini menjadi kawasan tujuan wisata alam yang cukup ramai dikunjungi,” kata pedagang kopi
Udara kian sejuk ketika magrib mulai tiba. Suasana menjadi lebih gelap. Pancaran lampu-lampu kemudian menghiasi sejumlah tenda. Terlihat indah. Beberapa pengunjung mendatangi surau.
Mereka ramai-ramai berjamaah salat Magrib. Dari kejauhan pernak-pernik lampu begitu menentramkan rasa. Sementara lampu dari rumah-rumah warga menambah indahnya alam di kawasan Gunung Bunder.
Hari kian larut, pengunjung tambah ramai. Selepas salat magrib, saya bergegas pulang. Penerangannya tidak begitu banyak untuk sampai ke tempat parkiran.
Harus berhati-hati agar tidak terpelesat. Suara gemircik air sungai terdengar jelas. Alunannya begitu merdu. Sangat alami.
Beberapa petugas parkir masih siaga berjaga. Mereka kemudian menyapa pengunjung. Saya ucapkan salam.
“Hati-hati di jalan pak. Semoga selamat sampai tujuan,” kata petugas parkir yang tetap bersemangat meski berjaga dari pagi hari.
Ya, kadang-kadang kita harus rehat sedikit dari gemerlap, dan tekanan kaum urban yang hidup bagai mesin.
Suasana alam seperti di Gunung Bunder mungkin bisa menjadi solusi. Jaraknya tidak begitu jauh namun memberikan rasa nyaman.
Alam memang mengajarkan kita untuk tetap bersahabat dan bisa membahagiakan. Gemercik air sungai memberikan salam ketika saya hendak pulang.
Lalu, hembusan angin kemudian pergi dengan sinar yang memercikan cahaya yang sedikit malu-malu. (Firdaus)