Untuk Kepentingan Umum

Di Balik Rambut Klimis Ade Wahyu Hidayat

Ade Wahyu
Komisioner KPU Kota Tangsel Ade Wahyu Hidayat.

Komisioner KPU Kota Tangsel Ade Wahyu Hidayat salah satu teman saya yang agak sempurna kalau urusan penampilan. Dari pakaian, celana, sepatu, minyak wangi, hingga rambutnya yang selalu klimis. Itu benar-benar diperhatikannya. Usianya terhitung muda. 35 tahun. Masuk kategori pemuda kalau melihat undang-undang kepemudaan yang menjelaskan batas usia dibilang muda, di bawah 40 tahun. Artinya ia masih bisa mencalonkan diri jadi ketua organisasi kepemudaan, seperti KNPI.

Urusan organisasi, ia memang sudah malang melintang. Dapat juga dibilang makan asam garam. Aktif sejak masih mahasiswa, kini ia tercatat sebagai pengurus Badan Musyawarah Betawi. Sebuah organisasi kedaerahan di Kota Tangsel. Makanya kalau bicara, ia cukup menggebu-gebu. Apalagi bila diskusi soal demokrasi, hak asasi manusia, hingga pilkada. Bisa paling keras suaranya. Pilkada kini tengah diurusin Ade. Gawean pesta besar kedua yang diurusnya. Setelah tahun lalu, sukses menyelenggarakan pileg dan pilpres secara bersamaan. Tingkat partisipasinya lumayan bagus, 79 hingga 80 persen. Wow. Ukuran pesta demokrasi, sangat baik.

Pilpres memang berpengaruh terhadap partisipasi. Pemilih bukan sadar mencoblos, tetapi kesadaran timbul lantaran sentimen SARAnya kental banget. Ada yang bilang kalau sudah menyinggung isu ini, orang yang terhitung liberal bisa jadi fanatik secara tiba-tiba.

Kembali ke Ade Wahyu Hidayat. Ia biasa disapa AWH. Sebuah singkatan yang kini sudah kian popular di masyarakat. Asal muasalnya tahun 2004 ketika seorang jenderal bintang empat maju menjadi calon presiden. Namanya Susilo Bambang Yudhoyono. Cukup panjang. Biar praktis dan mudah dikenal, disingkat SBY. Setelah itu singkatan nama menjadi popular hingga kini.

Jumat (11/4), AWH datang mengisi acara di Respublika Channel. Siang jam 13.30 WIB ia datang. Seperti biasa ia selalu rapi. Ade mengenakan jeans biru dongker, sepatu bermerk Nike, hingga kaos bergambar anti korupsi dengan corak warna putih dipadu hitam. Rambut klimisnya terlihat basah. AHW memang dijadwalkan mengisi di Respublika sejak beberapa hari lalu. Namun baru kesampaian sekarang. Pembahasannya seputar penundaan pilkada Kota Tangsel.

Isu ini memang tengah hangat di tengah pandemi Corona. Pemerintah pusat sudah membahas penundaan. Opsi waktunya diganti jadi 9 Desember 2020, 9 Maret 2021, atau 9 September 2021. Belum ada keputusan pasti soal kapan waktunya lantaran pemerintah kini tengah fokus pada penanganan wabah yang pertama kali terjangkit di Wuhan, Cina, tersebut.

Setelah briefing sekitar 15 menit soal tema yang akan digali, kita masuk studio. Diskusi cukup mengalir. Ade bicara soal kenapa pilkada ditunda, opsi apa yang mungkin terjadi, hingga dampak yang ditimbulkan akibat Corona. Ia jurhat tentang ekonomi, spanduk sosialisasi yang sudah dicetak lengkap dengan tanggal pelaksanaannya, psikis pemilih, hingga bicara partisipasi. Masalah penundaan itu memang sebuah keniscayaan. Yang perlu dijaga adalah animo masyarakat tentang pilkada. Kata Ade, sebelum ditunda, masyarakat cukup antusias tentang pilkada. Dimana pemilih sudah tahu ada pilkada tahun ini. Bahkan hingga bulannya sudah hafal. Hanya tanggalnya yang kebanyakan belum tahu. Otomatis dengan ditunda, bisa jadi harus kerja keras lagi agar semangat warga tentang pemilu masih tumbuh. Itu yang menjadi tantangannya. Meski begitu, ada juga hikmah dibalik penundaan. Tahapan yang sudah berjalan bisa dievaluasi secara lebih lama. Apa saja kekurangan ini menjadi pembahasan. Supaya ke depannya dapat lebih baik.

“Apa kekurangan selama tahapan bisa dijadikan bahan evaluasi. Ini yang tengah dalam pembahasan,” ujar Ade.

Dirinya juga bicara soal partisipasi pilkada yang ditarget 75 persen. Target tersebut sama juga yang dicanangkan pada 2015 lalu. Namun realisasi masih belum cukup baik. Bila berkaca dibanding dua pilkada sebelumnya, target ini cukup besar. Soalnya pada 2011 partisipasi hanya 55 persen, sementara pada 2015, 57 persen. Meski dua perhelatan lalu partisipasi belum menyentuh 60 persen, namun Ade cukup optimis target dapat tercapai.

“Namanya target harus setinggi langit. Bung Karno kan pernah bilang gantungkan cita-cita setinggi langit, kalaupun belum tercapai minimal sudah sampai bintang. Ini kan bagus,” ujarnya.

Diskusi di podcast berlangsung kurang lebih 30 menit akhirnya berakhir. Suara optimis terdengar dari mulut alumnus Universitas Islam Negeri Syarifhidayatullah ini. Sejak dulu ketika meniti karir ia sudah terbiasa punya jiwa optimis. Maka itu, ketika bekerja di lembaga seperti KPU, semangat itu harus terus digelorakan.

“Hanya optimisme yang mesti dibangun. Saya yakin jika kita punya rasa percaya diri, cita-cita bakal tercapai,” ujarnya sambil tersenyum.

Syuting pun kelar. Sebelum Ade bergegas pulang, kita sempat diskusi. Mulai dari prediksi kapan pilkada, pemulihan ekonomi pasca corona hingga rambutnya yang klimis. Nah, topik terakhir terasa menarik. Yakni soal rambutnya yang terlihat basah. Ade mengaku, rambutnya lemas, jadi ketika tidak memakai minyak rambut bisa berantakan. Ini dapat menganggu performanya ketika berhadapan dengan orang. Apalagi tuntutan pekerjaan membuatnya harus terlihat rapi. “Kalau sudah rapi, klimis, wangi, kan enak dilihat orang. Jelek-jelek begini, kita membawa nama lembaga. Jadi harus maksimal. Bisa dikatakan, wajib rapi. Kalau acak-acakan tidak sedap dipandang,” ungkapnya.

Soal penampilan, menurutnya sudah terbentuk sejak dulu. Jauh sebelum menjadi komisioner KPU, ia sudah terbiasa rapi. Penampilan nomor satu. Ketika orang lain melihat kita tidak rapi, dilihatnya juga kurang enak. Namun bila rapi, selain sedap dipandang mata, juga menumbuhkan rasa percaya diri.

Setelah bicara penampilan, ia mendapat telepon dari kolega. Dari gagang ponsel warna hitam, Ade seperti akan menghadiri acara lagi. Dirinya pun pamit. Mobil Toyota berplat merah yang ditumpangi Ade  melaju cukup kencang. Hujan deras kemudian mengguyur Kademangan. (Firdaus)

 

Berita Lainnya
Leave a comment