Tahapan pilkada Kota Tangsel sudah memasuki masa kampanye. Tiga pasangan calon berlomba-lomba menarik minat masyarakat agar memilihnya. Pertemuan dengan warga sesering mungkin dilakukan. Pemanfaatan teknologi juga digarap oleh masing-masing tim sukses. Namun, pilkada tahun ini pasti berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Adanya covid-19 menjadi penyebab kenapa pesta demokrasi terlihat berubah dan semuanya serba dibatasi. Dari mulai kampanye tertutup maupun terbuka. Tidak ada lagi kumpul-kumpul dalam jumlah besar, panggung besar hingga mendatangkan pesohor untuk menarik massa. Ataupun rakyat yang menggunakan kendaraan lalu berkumpul di lapangan besar.
Yang ada para kandidat datang ke rumah-rumah dengan jumlah warga paling banyak 50 orang. Dari sisi sosialisasi pembatasan membuat pasangan calon harus memutar otak agar programnya ataupun visi dan misi menyasar masyarakat luas.
Musababnya, jangkauan kampanye jadi terbatas. Penggunaan teknologi secara masif menjadi keharusan. Perubahan mode kampanye dari yang sifatnya konvensional menjadi serba digital sudah menjadi gaya hidup. Kreatifitas dituntut agar pemilih bisa tertarik kenapa harus memilih pasangan calon tersebut.
Sebetulnya ini tidak begitu sulit untuk mode kampanye di Kota Tangsel. Mengingat warganya yang mayoritas melek teknologi. Bisa dikatakan dunia digital sudah menjadi gaya hidup kaum urban. Tinggal bagaimana mengemasnya supaya bisa menjadi hal menarik sehingga pemilih dapat memberikan hak politiknya terhadap calon itu.
Kita menyebutnya kampanye digital. Sebuah model yang menghilangkan batas ruang dan waktu, jangkauan ataupun jarak. Media sosial yang kian berkembangnya membuat masyarakat menjadikannya sebagai kebutuhan utama. Setiap hari kita dijejali arus informasi dari pelbagai media. Seperti Twitter, Facebook, Instagram, Line, Youtube ataupun Whatsapp. Dari bangun hingga terlelap ponsel pintar selalu berada di dekat kita. Bisa dikatakan, hubungan dengan dunia luar lebih ‘intim’.
Dengan kiannya masifnya masyarakat mengunakan teknologi tentunya harus dimanfaatkan oleh para kandidat. Kampanye di media sosial seperti Facebook akhir-akhir ini memang sudah ramai. Hampir tiap menit para tim sukses atau simpatisan mempublish kegiatan jagoannya.
Dari mulai kampanye menemui warga, kesuksesan yang diraih kandidat hingga hal-hal positif tampil di beranda masing-masing tim sukses. Ada yang berdebat, berdiskusi hingga menyampaikan program visi dan misi. Semua terlihat bergemuruh.
Pemanfaatan teknologi untuk kepentingan politik memang sudah tidak asing lagi. Saat pilpres 2014 dan 2019, misalnya, kita lihat bagaimana penggunaan media sosial begitu ramai. Dukungan dua kubu, baik Prabowo maupun Jokowi memenuhi beranda Facebook, Twitter dan lain sebagainya.
Twitter bisa digunakan untuk memengaruhi masyarakat. Dimana media sosial ini bisa digunakan semua kelompok, dari wartawan, elite politik, dan pengguna individu untuk menciptakan sistem kesadaran sosial yang kompleks dan berjejaring.
Pola-pola ini memperkenalkan hibriditas ke dalam berita dengan semakin mengaburkan batas-batas antara informasi, berita, dan hiburan. Sayangnya, pemanfaatan teknologi tersebut menyuburkan berita-berita bohong atau yang kini kita dengar dengan sebutan hoax.
Informasi palsu berseliweran hingga membuat bias mana yang benar atau tidak. Ada istilah ketika informasi bohong terus direproduksi yang terjadi adalah sebuah kebenaran. Batas antara benar dan salah menjadi tidak ada lagi. Ya, semua cara memang digunakan oleh tim sukses untuk memenangkan jagoannya. Walaupun dengan cara kurang elok karena yang terjadi timbulnya sebuah persaingan membuat informasi palsu.
Belum lagi kampanye negatif seperti menyebarkan isu Suku, Agama, Ras, Golongan (SARA) yang juga kerap dimainkan masing-masing tim sukses. Cara-cara ini dampaknya menimbulkan perpecahan dan gesekan di masyarakat bawah. Tak jarang adu debat, saling ejek, di media sosial bisa menjadi kontak fisik beneran di dunia nyata. Sering ditemui kasus adu jotos hingga menyebabkan kematian gara-gara berbeda calon pilihan.
Kampanye positif dalam artian lebih menonjolkan visi dan misi calon harus masif disebarkan, ketimbang memunculkan isu-isu negatif yang malah bikin perpecahan.
Dibutuhkan kedewasaan masing-masing kandidat agar menahan diri untuk tidak menggunakan isu-isu sensitif yang bisa memancing perpecahan. Maka itu, kampanye ‘sehat’ harus ditonjolkan karena pilkada ini menjadi ajang pendidikan politik bagi masyarakat. Mencoblos bukan sekedar datang ke TPS lalu menjatuhkan pilihan kepada pasangan tertentu. Tetapi dalam coblosan ada mandat dari rakyat agar ketika calon tersebut diberi kuasa bisa mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang membuat masyarakat jadi sejahtera.
Ini yang harus mulai bisa dimunculkan oleh para kandidat. Jika ini bisa dijalankan nantinya secara alamiah akan muncul sebuah trust atau kepercayaan. Warga akan berbondong-bondong datang ke tempat pemungutan suara tanpa harus dimobilisasi. Bagaimana hal itu agar bisa terwujud? Caranya dengan memulai kampanye positif menyebarkan informasi-informasi, seperti mengedepankan program-program unggulan. Visi dan misi ditonjolkan serta mengajak diskusi rakyat dengan hal-hal positif. Juga menjelaskan kalau pilkada bagian dari pesta demokrasi. Maka itu, menjadi kewajiban masyarakat untuk menggunakan hak politiknya. Setelah itu dijalankan, rakyat punya haknya, yaitu menuntut calon terpilih untuk amanah dan merealisasikan janji-janji kampanyenya.
Apakah itu bisa? Saya rasanya bisa. Kuncinya ada komitmen dan kemauan masing-masing kandidat untuk mewujudkan hal tersebut. Apalagi pilkada ini bukan kali pertama dilaksanakan, tetapi sudah ada sejak belasan tahun lalu. Artinya kedewasaan peserta pemilu juga sudah ada. Komitmen untuk sama-sama memajukan masyarakat dengan terobosan-terobosan yang jitu juga sudah harus dimulai.
Pesta demokrasi yang sekarang kita jalankan harus mengusung semangat yang didasarkan pada kegembiraan, kebahagiaan, kesenangan. Bukan sebaliknya, kampanye hitam, tebar kebencian, menyebarkan informasi palsu dan hal-hal lainnya yang membuat pilkada jadi ajang permusuhan. Saya yakin itu tidak terjadi di Kota Tangsel. Mengingat ketiga kandidat yang maju punya komitmen untuk menciptakan pesta demokrasi yang sejuk, riang gembira. Sesuai motto KPU Kota Tangsel ‘Pilkada Berbudaya Tangsel Berdaya’. Dimana itu bukan sekadar motto tetapi ada harapan, kemauan, keinginan dan spirit dari sebuah cita-cita.
Pesta lima tahunan ini juga bisa menjadi petunjuk bagaimana kita dapat melihat kualitas demokrasi. Kalau saya liat semakin baik dan akan punya kualitas hebat. Meski, saat ini tahapan-tahapan dalam pilkada dilaksanakan dengan pembatasan lantaran ada pandemi covid19.
Harapan kita semua, virus itu bisa cepat hilang dan pilkada di Kota Tangsel berjalan sukses tanpa ada halangan. Itu juga menjadi doa kita bersama. Pemilu sukses, pandemi berakhir. Masyarakat bisa kembali beraktivitas normal, ekonomi segera pulih dan membaik. Ya, ini harapan kita bersama. (Wardana Toer)