Hiruk pikuk politik di tanah air sudah mulai ramai. Meski pesta demokrasinya masih satu tahun lebih. Terlebih sejak partai NasDem mengumumkan jagoannya, mantan Gubernur DKI Anies Rasyid Baswedan menjadi calon presiden. Konteslasi politik pun kian gemuruh. Tak hanya Anies, nama-nama top pun bermunculan, dari Ganjar Pranowo, Prabowo subianto, Puan Maharani, Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto sampai Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY
Meski nama-nama tersebut masih bisa berubah tetapi kecenderungan pilihan partai politik kentara muaranya akan berlabuh kemana. Hal itu ditandai keberadaan koalisi yang menuntun analis publik Indonesia atas preferensi pemilih yang dicapture dari opini publik beberapa lembaga survei.
Kemunculan Anies dan Ganjar menunjukkan polarisasi partai politik dalam penentuan capres semakin besar peluang ini diusung oleh koalisi partai politik. Koalisi pendukung Anies yang digawangi oleh NASDEM mulai mengenalkan figur ini, begitupun Ganjar sedikitnya partai PSI sudah sesumbar atas nama ini.
Fenomena munculnya dua nama ini yang merupakan kepala daerah bukan merepresentasikan elit partai politik. Anies sebagai professional yang menjadi gubernur DKI Jakarta dan Ganjar Pranowo yang merupakan kader partai non struktural menggeliat namanya dalam top of mind tiga nama capres potensial selain prabowo. Setidaknya dalam survei kemunculan Anies dan Ganjar menjadi perhatian partai politik dan juga kelompok kepentingan lainnya.
Kepentingan kelompok lainnya dalam kasus ini kita menyebutnya oligarki. Sejauh ini oligarki menjadi pemain dalam pecaturan politik di Indonesia yang tidak dapat dihadang kepentingannya. Mereka menentukan capres ke depannya agar sokongannya linear dengan kepentingannya.
Oligarki Dimana-mana
Oligarki (oligarchy) berasal dari kata bahasa Yunani, oligarkhia, yang dikembangkan dari kata dasar oligos yang berarti beberapa (few) dan arkho yang berarti memerintah (to rule or to comand). Secara harafiah, oligarki adalah pemerintahan yang dikuasai oleh segelintir orang kaya.
Setiap negara demokrasi pasti memiliki kecendrungan dikontrol oligarki, termasuk Indonesia. Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy and Democracy in Indonesia, mengatakan demokrasi di Indonesia dikuasai oleh kelompok oligarki, Selaku sponsor, para oligark tentu memiliki berbagai kepentingan yang harus disuarakan oleh para kandidat ataupun partai politik. lanjut Winters dari semua sumber daya kekuatan politik di Indonesia, kekuatan materil (kekayaan) sejauh ini adalah yang paling terkonsentrasi, serbaguna, tahan lama, dan paling tidak dibatasi.
Ilmuan politik Verdi R Hadiz dan Richard “Dick” Robison memandang oligarki di Indonesia sebagai suatu sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan dan otoritas serta pertahanan kolektif atas konsentrasi kekayaan. Oligarki berwajah demokrasi di Indonesia bukanlah hal yang baru. Sejak kapitalisme neoliberal bangkit dan berkembang pesat pada era Orde Baru, oligarki juga berkembang sebagai praktik dan mekanisme politik kekuasaan.
Jika pada era Orde Baru oligarki yang berkembang bersifat sultanik dengan Soeharto sebagai ‘sultan’ tunggal, pada era reformasi yang berkembang adalah oligarki-elektoral-yang-berkuasa (electoral ruling oligarchy), yaitu oligarki yang keberlangsungannya difasilitasi oleh prosedur demokrasi liberal-elektoral.
Ciri utama oligarki adalah kekuasaan segelintir elite politik dan ekonomi yang nyaris bersifat kekal dan turun-temurun dan memerintah sebagian besar rakyat miskin. Oligarki sejatinya tidak memiliki kekuatan untuk mencengkeram negara kalau tidak diizinkan oleh kekuasaan. Semestinya, pemerintah sejak awal seharusnya mampu mempersempit ruang oligarki, dan memperbesar ruang kuasa negara untuk mengatur hajat hidup orang banyak.
Sinyalemen capres dambaan oligarki
Sering kita mendengar adagium “setiap orang ada harganya” adagium ini lumrah diungkap karena kesetiaan seseorang dapat ditukarkan dengan materiil atau uang. Dan uang sendiri dapat dimanifestasikan ke dalam bentuk kekuatan lain.
Sinyalemen ini ditunjukkan bagaimana para pialang capres paska reformasi menginisiasi untuk menginventarisasi oligarki yang mau berpartisipasi secara finansial untuk kebutuhan operasionalisasi pencapresan. Kesan terburuknya adalah para capres sejatinya dikelilingi oleh oligarki untuk mendesign kepentingan circle ketimbang rakyat. Akhirnya kesan yang muncul adalah rakyat menjadi pemain nomor dua setelah oligarki.
Munculnya kandidat seperti Anies, Ganjar, Prabowo, Puan, Muhaimin tidak lepas dari circle atau lingkungan oligarki. Mungkin yang paling kentara adalah Anies dan Ganjar. Ada beberapa alasan yang perlu ditegaskan, Pertama Anies dan Ganjar merupakan orang yang tidak memiliki ikatan kepartaian maupun penentu di partai. Anies sebagai profesional politik mampu memukau partai-partai lain untuk mengusung dirinya. Ganjar yang notabene kader partai tapi bukan penentu. Meski begitu, keduanya berpeluang maju pilpres karena survei keduanya memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi. Lantaran tak ada ikatan kepartaian yang dominan, keduanya berpeluang diminati oleh Oligarki.
Kedua, Anies dan Ganjar tidak memiliki basis pengusaha. Keduanya juga tidak ada ikatan kuat secara personal dengan komponen bisnis. Wajar kemudian Oligarki menimbang keduanya sebagai stimulus mereka atas proses politik ke depannya.
Kedua penegasan peluang bermainnya oligarki di ranah politik electoral kental erat terhadap Anies dan Ganjar bagi oligarki. Pengusaha dan politisi plamboyan seperti Surya Paloh (SP) dan Jusuf kalla (JK) sebagai pemain utama mampu menjadi laison officer Anies kepada oligarki. Intensitas komunikasi SP dan JK mengusung Anies dapat dipastikan keduanya menjadi string-pullers atau penarik tali. Supporting JK-SP sebagai string-pullers merupakan pihak yang memiliki kontrol atau pengaruh terhadap keputusan pejabat pemerintahan.
Ganjarpun dipersepsikan sama dengan Anies. Besar kemungkinan sokongan terbesarnya dari penguasa saat ini yaitu Jokowi. Presiden Jokowi turut andil besar memfasilitasi Ganjar kepada partai politik koalisinya. Sebagai penguasa di republik ini sangat dimungkinkan Jokowi bertaruh all out dengan segala infra dan supra struktur kekuasaan yang dimobilisasi untuk memenangkan Ganjar. Jokowi sangat kental dipersepsikan sebagai string puller atau king maker untuk mempertemukan Ganjar dengan kelompok oligarki.
Ala kulli hal, publik harus lebih cermat, melihat latar belakang, Bukan kecendrungan isi tas yang melampaui kapasitas, integritas dan prestasi para capres yang akan berlaga di pilpres 2024 kedepan. Jika yang tampil dan terpilih adalah sosok-sosok capres dengan hanya modal pencitraan dan dari hasil manipulasi oligarki-kapitalis, akan menghadirkan sosok yang pemimpin yang bekerja atas kemauan mereka. sedangkan espektasi publik terhadap calon pemimpin bangsa yang besar ini harus memenuhi unsur terpenting, yaitu memiliki visioner untuk rakyat kedepannya, berkarakter, berkompeten, dan beyond capacity presiden terdahulu.
Wallahu a’lam bisshowab
*Memed Chumaedy
Dosen UMT