Jadi Ketum Airlangga Masuk Perangkap
Siapa ‘pewaris tahta’ kursi Ketua Umum Partai Golkar setelah Setya Novanto, akhirnya terjawab sudah. Dalam rapat pleno, Rabu malam (13/12), Airlangga Hartarto akhirnya diangkat menjadi Ketua Umum menggantikan Novanto. Ketua DPP Golkar yang juga Menteri Perindustrian itu, akan menjabat ketua umum hingga 2019 sesuai sisa masa jabatan Novanto.
Dalam konferensi pers yang digelar, Ketua Harian Partai golkar Nurdin Halid mengatakan, berdasarkan AD/ART saat ini jabatan ketua umum sudah lowong karena Setya Novanto sudah menjadi terdakwa di kasus e-KTP. Dalam pasal 14 AD/ART Partai Golkar dinyatakan apabila status ketua umum sudah terdakwa, maka pencarian posisi tersebut lewat rapat pleno. Oleh sebab itu, disetujui dalam rapat pleno Airlangga Hartarto menjadi ketua umum.
Selanjutnya, DPP Golkar akan menggelar Rapimnas pada 18 Desember 2017 untuk melaporkan hasil Rapat Pleno kepada pimpinan Golkar daerah. Kemudian, pada tanggal 19-20 Desember 2017 Golkar akan menyelenggarakan Musyawarah Nasional Luar Biasa dengan agenda tunggal yakni pengukuhan Airlangga Hartarto sebagai ketua umum.
Di Balik Pengangkatan Airlangga
Di balik pengangkatan Airlangga sebagai ketua umum Golkar, sebenarnya ada yang patut kita telisik, yaitu: pertama, pengangkatan Airlangga sebagai ketua umum Golkar melanjutkan sisa kepemimpinan Novanyo hingga 2019, menjadikan pelaksanaan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) tidak penting lagi. Terlebih, sebagaimana disampaikan Ketua Harian Golkar Nurdin Halid pasca pengangkatan Airlangga, Munaslub akhirnya hanya punya agenda tunggal: pengukuhan ketua umum. Pemahaman ini tentu bermasalah, sebab lazimnya dalam munas/munaslub, agendanya adalah pemilihan, bukan pengukuhan.
Skenario ini praktis menutup peluang calon lain seperti Idrus Marham, Azis Syamsuddin, Titiek Soeharto, atau calon lain untuk bertarung memperebutkan kursi ketua umum di Munaslub nanti. Kondisi ini tentu saja sangat menguntungkan Airlangga. Dia tak perlu lagi susah payah bertempur menuju Golkar-1, pun tak perlu repot-repot mengeluarkan dana atau energi lebih banyak.
Kedua, pengangkatan Airlangga yang begitu mudah diterima oleh kepengurusan status quo yang notabene orang-orang Novanto tentu menyisakan tanda tanya. Benar, pengaruh penguasa (restu Jokowi dan Jusuf Kalla) terhadap Airlangga sedikit banyak mengubah haluan Golkar. Mungkin juga benar, Golkar tak bisa lagi bergantung pada Novanto yang kini duduk di kursi terdakwa. Namun tanpa mengangkat Airlangga, Golkar sebenarnya masih bisa mempertahankan Plt Idrus Marham hingga digelarnya Munaslub yang waktunya tinggal seminggu lagi. Sambil menunggu Munaslub, Golkar pun sejatinya harus membuka panggung kontestasi bagai para kandidat.
Namun kenyataan berkata lain. Akhirnya, sulit dihindari sinyalemen bahwa manuver pengurus status quo Golkar itu memiliki agenda tersembunyi, yakni mengurung Airlangga ke dalam gerbong mereka. Bukti Airlangga masuk perangkap adalah ia sendirian di tengah kepengurusan lama yang notabene orang-orang Novanto dan Aburizal Bakrie. Itu artinya, kepentingan dan corak pengurus lama masih akan tetap bercokol di tubuh Golkar dan diprediksi tak mampu membawa perubahan.
Dengan jalan itu, mereka bisa dengan mudah mendikte kepemimpinan Airlangga, termasuk menempatkan orang-orang lama dalam kepengurusan Golkar baru. Dan Airlangga, sebagai sosok yang bukan petarung dan cenderung penurut, bukan saja masuk ke dalam perangkap orang-orang Novanto, tetapi juga membawa Golkar pada kooptasi pemerintah (Jokowi, JK, Luhut B. Panjaitan).
Tak heran, selepas pengangkatannya, Airlangga langsung menegaskan kembali tentang posisi partainya terhadap pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Dia juga meminta pengukuhan dukungan partai berlambang pohon beringin itu ke Jokowi pada Pilpres 2019.
“Partai Golkar berkomitmen mendukung pemerintah Pak Jokowi-JK sampai 2019. Dan Partai Golkar dalam Rapimnas lalu juga mendukung Bapak Presiden untuk mencalonkan pada 2019 sampai 2024. Dan kami mengajak seluruh kader Partai Golkar untuk mengamankan dan mengamanatkan,” katanya di DPP Golkar, Jakarta, Kamis (14/12/2017) dini hari.
Ketiga, pengangkatan Airlangga tak beda dengan penunjukkan. Dia bukan dipilih, Munaslub pun agendanya bukan pemilihan, tetapi pengukuhan. Tampuk kuasa yang diraihnya, tak dilalui lewat pertarungan politik yang sedianya menghadirkan adu gagasan dan adu strategi. Sebab itu, dalam hal menentukan pemimpin puncak, Golkar mengalami degrdasi dari partai modern ke partai tradisional.
Jika ditilik dalam sejarah, selepas Orde Baru Golkar tumbuh menjadi partai modern. Di masa transisi dan adaptasi dengan era reformasi, Golkar di bawah Akbar Tandjung mampu mempertahankan kelasnya: memperoleh suara terbanyak kedua (setelah PDI-P) pada Pemilu Tahun 1999, suatu masa di mana Golkar begitu terpojokkan, bahkan kemudian Golkar menjadi pemenang pemilu 2004 dengan memperoleh 21,6 persen suara mengalahkan PDI Perjuangan.
Sebagai partai modern, Golkar di masa itu mengadakan Konvensi Calon Presiden. Melalui mekanisme ini, Partai Golkar menyaring calon pemimpin secara terbuka dengan menerima para calon dari berbagai latar belakang, tidak eksklusif hanya dari internal Golkar. Dengan langkah ini, semakin meneguhkan posisi Golkar sebagai partai dengan paradigma barunya, sekaligus pendulum Golkar tengah bergerak ke arah modernisasi partai. Langkah ini, memberi keteladanan dalam perpolitikan nasional kala itu.
Namun apa lacur, pendulum itu kini bergerak ke arah sebaliknya. Kini, kultur pemilihan ketua umum Golkar pasca Akbar Tanjung, menunjukkan penurunan kualitas: dari konvensi, pemilihan, kemudian pengangkatan/penunjukan. Pola penunjukan ini adalah cara paling tradisional dalam memilih pemimpin, lebih-lebih dalam suasana demokrasi sekarang ini. Aksi tunjuk paling memalukan bagi Golkar tentu saat Novanto pada posisinya sebagai tersangka dan berada di sel tahanan. Ia menunjuk pelaksana tugas ketua umum Golkar berikut sekjennya, juga menunjuk ketua DPR pengganti dirinya.
Kembali ke Airlangga, posisinya sebagai ketua umum Golkar sejatinya lebih elok manakala ia rebut lewat proses pemilihan di Munaslub. Bertempur dengan kandidat lain, dan dengan itu sekaligus tersebut sebagai wadah pematangan dirinya lebih fight di tengah banyak faksi di Golkar. Apalagi, Airlangga disebut-sebut lebih berpeluang dibanding calon lain karena mendpat dukungan besar dari para pemilik suara di DPD 1 Golkar. Namun jika Airlangga menyerah pada permainan status squo, bukan saja Golkar tak beranjak dari kemelut, juga menempatkan demokratisasi dan modernisasi partai pada titik terendah.[]