
Monogami bukanlah hal yang natural untuk seseorang. Demikian dinyatakan oleh aktris Scarlett Johansson dalam wawancara dengan majalah Playboy yang dikutip oleh People setelah ia memutuskan bercerai dengan laki-laki yang dinikahinya selama dua tahun, Romain Dauriac. Namun, ia tetap menganggap pernikahan adalah hal yang begitu indah meski disertai banyak ‘PR’ di dalamnya.
“Pernikahan menuntut upaya besar bagi banyak orang dan fakta membuktikan hal ini bukanlah sesuatu yang natural. Saya pernah terlibat di dalam pernikahan dan menghormatinya, tetapi saya pikir hal ini tentunya melawan insting-insting untuk melihat sesuatu [di luar pernikahan] lebih jauh lagi,” ujar Johansson.
Pemeran Natasha Romanova dalam film The Avengers ini menyoroti banyak hal yang berubah setelah orang menikah, termasuk tanggung jawab yang diemban oleh seseorang. Johansson mengungkapkan, “Pernikahan merupakan tanggung jawab yang indah, tetapi tetap saja namanya tanggung jawab.”
Sebagian besar kebudayaan dan kepercayaan religius yang mengutamakan pernikahan dengan satu orang pasangan saja membuat orang-orang mengamini bahwa monogami merupakan suatu kebenaran secara moral. Padahal, penelitian menemukan hanya 3-5 persen dari 5000 jenis mamalia (termasuk manusia) yang benar-benar monogami. Dilansir situs Live Science, Pepper Schwartz, profesor Sosiologi dari University of Washington, Seattle, menyatakan bahwa manusia bukan makhluk monogami.
“Monogami diciptakan untuk keteraturan dan investasi, bukan sesuatu yang pada dasarnya alamiah,” tandas Pepper.
Beberapa peneliti lain yang sejalan dengan pemikiran Pepper juga memandang monogami dalam konteks sosial dan seksual lebih merupakan struktur bermasyarakat dibanding kebenaran secara alamiah.
Daniel Kruger, psikolog sosial dan evolusi dari University of Michigan’s School of Public Health, menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang poliginis seperti kebanyakan mamalia lain, di mana laki-laki cenderung memiliki relasi dengan lebih dari satu perempuan. Karena pertimbangan anak dan untuk menciptakan ikatan dengannya, manusia berevolusi dan membuat komitmen dengan satu orang pasangan, demikian disampaikan oleh Jane Lancaster, antropolog evolusi dari University of Mexico kepada Live Science.
Fakta ilmiah ini menjadi salah satu faktor mengapa sebagian orang memilih jenis hubungan alternatif, yakni poliamori. Apa yang dimaksud dengan hal ini dan faktor-faktor lain apa saja yang mendorong seseorang memilih tak bersetia dengan satu pasangan saja?
Apa itu Poliamori?
Seperti ditulis situs Cosmopolitan, definisi poliamori menurut penulis buku The Polyamorists Next Door: Inside Multiple-Partner Relationships and Families, Elisabeth Sheff, adalah “bentuk relasi nonmonogami konsensual yang menekankan pada koneksi emosional di antara beberapa partner.”
Sebagian orang mengartikan poliamori sama dengan open relationship. Namun, situs Poly Coach menulis bahwa kedua hal ini berbeda. Dalam open relationship selalu ada relasi primer yang tidak ditemukan dalam poliamori. Dalam jenis hubungan yang disebutkan terakhir ini, setiap pihak dapat mencintai satu sama lain dengan takaran yang sama tanpa satu pun yang difavoritkan, sementara dalam open relationship, terdapat satu pasangan yang utama.
Terkait demografi poliamori, situs Personality Testing merilis survei terhadap 5.034 orang untuk mengetahui pendapat mereka tentang relasi dengan banyak partner ini. Data menunjukkan 59,8 persen orang tidak terlibat dalam hubungan poliamori, 25,5 persen merasa tertarik menjajalnya, dan masing-masing sekitar 7 persen menyatakan diri sedang atau pernah terlibat dalam poliamori.
Ditinjau dari aspek ras, sebanyak 10 persen responden berkulit hitam (n=240) dilaporkan memilih poliamori, sementara Asia 6,9 persen (n=737), Hispanic 8,2 persen (n=499), dan kulit putih 6,1 persen (n=3072). Sedangkan dari aspek gender, sebanyak 8,9 persen responden laki-laki (n=2456) dan 4,9 persen perempuan (n=2485) mengaku terlibat poliamori. (den)