Pemilihan legislatif (pileg) 2019 masih beberapa bulan lagi. Namun panasnya pertarungan sudah mulai terasa. Hal itu bisa terlihat dari massifnya pengenalan calon, baik di media sosial ataupun di dunia nyata. Misal wajah-wajah para calon bisa ditemui di titik-titik keramaian, meski dengan irisan yang berbeda.
Panasnya pertarungan juga terasa di Banten III yang meliputi wilayah Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang, dan Kabupaten Tangerang.
Maklum di dapil ini bertengger nama-nama besar. Mulai dari elite partai, pengusaha, mantan pejabat, dan sebagainya.
Mantan Gubernur Banten Rano Karno, Anggota Tim Pemenangan Nasional Jokowi-Maruf, Inas Nasrullah Zubair, mantan Calon Walikota Tangsel Arsid, Wakil Ketum Partai Gerindra Dasco Ahmad, Ketua DPW Banten NasDem Wawan Iriawan, adik ipar SBY, Hartanto Edhie Wibowo, hingga sederet nama besar lainnya.
Nama-nama besar tersebut membuktikan kalau Banten III ini cukup keras. Luas nya wilayah serta 10 kursi yang tersedia menjadi bukti kalau dapil ini rebutan para caleg.
Yang menarik lagi, para wakil rakyat yang terpilih pada 2014 lalu, sembilan diantaranya maju lagi.
Yakni Inas Nasrullah Zubair (Hanura), Hartanto Edhie Wibowo (Demokrat), Dasco Ahmad (Gerindra), Ali Taher (PAN), Siti Masrifah (PKB), Eddy Kusuma Wijaya (PDIP), Marinus Gea (PDIP), Andi Ahmad Dara (Golkar), dan Irgan Chairul Mahfiz (PPP).
Sementara Jazuli Juwaini dari PKS tidak maju lantaran harus pindah dapil di (Kabupaten Serang, Kota Serang, Kota Cilegon).
Peran Kepala Daerah
Nah, kerasnya petarungan mau tidak mau harus membuat para caleg adu strategi dan sejumlah cara. Model konvensional tetap harus dilakukan meski perang udara lewat media sosial juga penting dilakukan. Mengingat Banten III wilayah urban yang masyaratnya cukup melek teknologi.
Tak kalah penting adalah dengan peran serta kepala daerah. Sudah menjadi rahasia umum kalau dalam setiap perhelatan seperti pileg para kepala daerah punya jago. Entah itu satu partai ataupun arahan dari ketum partai. Kita bisa menyebut dengan istilah titipan pusat.
Biasanya kepala daerah memobilisasi simpul-simpul suaranya dengan membawa jago tersebut. Para jago itu bisa saja lintas partai yang tidak harus satu partai dengan kepala daerah.
Maka ada istilah kepala daerah harus punya orang meski di partai yang berbeda. Tujuannya untuk melanggengkan kepentingan politik sang pemimpin.
Jika dilihat dari pemetaan, Golkar, Demokrat ataupun NasDem menempatkan jagonya menjadi kepala daerah.
Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany (Golkar), Wakil Walikota Tangsel Benyamin Davnie (NasDem), Walikota Tangerang Arief R Wismansyah (NasDem), Wakil Walikota Tangerang Sachrudin (Golkar), serta Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar (Golkar) dan Wakil Bupati Tangerang Mad Romli (Golkar).
Jika melihat petanya memang Partai Golkar bisa paling diuntungkan untuk mengais suara. Meski dalam faktanya, dapil ini hanya menyumbang satu kursi.
Maka itu, langkah-langkah strategis harus dilakukan oleh para caleg jika ingin terpilih atau tertinggal bila hanya berdiam diri.
Program Harus Realistis
Seringnya pesta demokrasi yang dihelat tentunya berdampak kejenuhan di masyarakat. Hal ini berpengaruh secara psikologis kalau pemilu tidak ada dampaknya bagi mereka.
Ujung-ujungnya nanti akan timbul pragmatis masyarakat yang berfikiran mau ada tidaknya pemilu kehidupan mereka sama saja.
Bila ini sudah terjadi akan berimbas kepada politik uang. Jadi ketimbang sayang suara mereka tidak digunakan lebih baik dijual saja dengan Rp50 ribu hingga Rp100 ribu.
Nah agar hal ini tidak terjadi, caleg harus jeli. Ingat pemilu bukan hanya coblosan memilih semata tetapi pendidikan politik juga sangat penting.
Maka itu agar bisa terpilih, caleg harus punya program yang realistis. Tidak mengawang-awang serta punya langkah konkret.
Seperti dilakukan Wawan Iriawan, caleg nomor urut satu Partai NasDem. Putera asli Banten ini pernah punya pengalaman maju dari dapil yang sama. Sayang ia kurang beruntung dan hanya kalah sedikit dari Inas Nasrullah Zubair.
Wawan mengaku dari pemilu 2014 ia belajar dan menurutnya agar bisa menarik minat harus punya program yang konkret.
Misal soal lapangan pekerjaan, pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan lain sebagainya.
Dengan menggarap itu dan bisa langsung dirasakan masyarakat, ia yakin bisa terpilih di pemilu 2019.
“Sekarang saya jualan program yang konkret. Bagaimana pengembangan UMKM, pengentasan kemiskinan, hingga pendidikan berkualitas. Ini sangat penting,” ujarnya.
Maka itu, ia yakin dengan langkah seperti itu masyarakat akan paham dan tahu siapa yang pantas untuk dipilih. Bukan sekadar datang, sosialisasi langsung pulang. Tetapi menanamkan bagaimana pemilu itu pesta demokrasi, dimana masyarakat juga harus mendapatkan pendidikan politik yang baik.
“Ini yang akan saya perjuangkan. Pendidikan politik harus diberikan kepada masyarakat. Seperti sering kita dengar, kalau kita tidak terjun ke politik, maka orang jahat yang akan menguasainya,” katanya.
Konsolidasi Jelang Kontestasi Pilwalkot Tangsel
Dari sekian nama yang mencuat ada nama Arsid. Ia bisa dikatakan seorang petarung politik. Besar di Birokrat, pria asli Kota Tangsel ini sudah dua kali ikut pilkada.
Hasilnya mengecewakan. Arsid kalah dua kali dengan petahana Airin Rachmi Diany.
Ini kali ketiga Arsid ikut dalam pertarungan politik. Sebagian kalangan melihat langkahnya sebagai pemanasan jelang Pilkada Tangsel dua tahun mendatang.
Arsid ingin memanaskan dirinya untuk melihat sejauh mana peluangnya pada pilkada Tangsel mendatang. Hal ini dilakukan oleh Wahidin Halim yang maju saat Pileg 2014 dan akhirnya terpilih.
Pengamat Politik UIN Syarifhidayatullah Djaka Badranaya mengatakan bisa saja langkah Arsid maju di Pileg sebagai persiapan maju di Pilkada. Namun bisa juga tidak, misal ia memang serius ingin menjadi wakil rakyat tanpa harus bicara ingin menatap pilkada Kota Tangsel.
Meski begitu tak lantas langkah Arsid ini akan mulus dengan melenggang ke Senayan. Soalnya pertarungan pileg ini pertarungan besar. Ada banyak calon yang memperebutkan suara di wilayah yang sama.
Hal itu berbeda dengan pilkada yang hanya beberapa calon saja. Ini yang harus dilihat, nama besar tidak lantas melanggeng ke Senayan. Walaupun nama besar adalah modal untuk meraup suara.
“Jadi tidak lantas Pak Arsid akan lolos dengan mudah. Meski begitu ia punya keuntungan karena punya basis pemilih di Tangsel karena ia pernah menjadi calon walikota,” ujarnya.
Yang pasti Arsid punya keuntungan selain pernah mencalonkan diri, ia juga putra asli Tangsel. Ini menjadi satu kelebihan baginya menatap pileg 2019.
Tinggal bagaimana strategi dan langkah politiknya dalam menatap pemilihan tahun depan. Salah sedikit target akan hilang. Ini yang harus dilihat oleh Arsid dan juga calon-calon lainnya.
Sementara itu Arsid membantah kalau keikutsertaannya untuk pileg merupakan batu loncatan untuk maju dalam Pilkada Kota Tangsel.
Ia mengaku belum memikirkan pilkada, yang serang difokuskan adalah bagaimana bisa menang saja. “Enggak ada itu saya mau maju pilkada. Belum kepikiran. Sekarang mau fokus di pileg saja. Doakan ya saya menang,” katanya saat dihubungi.
Arsid juga bercerita tentang keseriusannya untuk maju pileg. Dirinya bahkan merelakan pekerjaannya sebagai pengawas di BUMD hanya untuk bertarung di pileg.
Jadi kalau ada yang mempertanyakan keseriusannya maju, ia menjawab sangat serius. Bahkan lebih dari serius.
Meski demikian ia tidak menampik kalau Tangsel merupakan lumbung suaranya. Dua kali menjadi calon walikota di Tangsel merupakan modalnya untuk bertarung di pileg tahun depan. “Tidak naïf ya kalau saya akan fokus menggarap Tangsel. Selain pernah maju jadi calon walikota saya juga putra asli Tangsel. Banyak saudara saya di Tangsel,” ujarnya. (firda)