Izin di Daerah Masih Berbelit-beli dan Bikin Pusing
Neraca perdagangan defisit lantaran ekspor minyak dan gas (migas). Solusi dari masalah ini adalah perlu adanya lading minyak baru.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) Provinsi Banten Akhmad Yuslizar dalam seminar migas nasional dengan tema “Dampak Percepatan Perizinan Hulu Migas Bagi Peningkatan Investasi Migas” di saung Serpong BSD, Jumat (2/11).
”Eksplorasi ladang baru sangat banyak di sini, bahkan ada Banten. Apabila bisa tergarap akan membantu mengurangi beban pemerintah dalam mengekspor migas,” ucapnya
Sayangnya untuk merealisasikan ladang baru tersebut cukup sulit lantaran perizinannya masih berbelit-belit. ”Dampaknya, investor ogah-ogahan menanamkan modalnya,” tukasnya
Sekretaris Jenderal Forum Kajian Energi Indonesia Mashuri mengatakan bangsa ini bukan lagi penghasil migas. Cadangan migas hanya tinggal 3.3 miliar barel yang diprediksi akan habis dalam 10 tahun mendatang. Untuk itu, Presiden Jokowi mencoba melakukan pemangkasan perijinan tingkat pusat. ”Hambatannya luar biasa. Contohnya blok Mahakam. Terkendala di perijinan dan pengawalan daerah,” ucapnya
Ia menilai kebijakan yang telah dibuat Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak selalu segaris dengan aturan di daerah. Pertama, Revisi UU Migas, perlu penyederhanaan. Kedua, Presiden Jokowi melakukan arahan kepada kepala daerah untuk mudahkan perijinan. Ketiga, Pemerintah pusat memberikan kejelasan kompensasi ke daerah.
”Kalau ketiga itu tak dibereskan. Ya akan gitu-gitu aja, siapapun rezimnya. Tidak akan bisa mampu menarik insvestor untuk eksplorasi migas,” ujarnya.
Presidium Nasional (Presnas) 98 P Banten M. Sopiyan mengatakan otonomi daerah ternyata juga berdampak pada munculnya peraturan perundangan yang bertentangan dengan Pemerintah Pusat. ”Mereka membuat produk perundangan baru yang menambah izin-izin baru menjadi sangat panjang. Alhasil meja-meja makin banyak dan pungli pun bertebaran,” tandasnya. (why/firda)