Untuk Kepentingan Umum

Dalam Setahun, Ratusan Kasus Kekerasan Anak Terjadi di Tangsel

ilustrasi

Status Kota Layak Anak yang diemban Tangerang Selatan belum mampu menghentikan laju kasus kekerasan kepada anak. Data  Dinas Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DPMP3AKB) Tangsel menyebutkan, sepanjang 2018 terjadi ratusan kasus kekerasan terhadap anak.

Kepala DPMP3AKB Kota Tangsel Khairati mengatakan, ada 126 kasus anak yang terjadi pada 2018, termasuk penelantaran, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga pelecehan seksual. Menurut dia, pelecehan seksual adalah kasus yang paling mendominasi.

“Angka yang paling besar adalah kekerasan seksual pada anak,” kata dia saat dihubungi, Jumat (15/2).

Karena itu, ia melanjutkan, DPMP3AKB terus berupaya secara rutin melakukan sosialisasi pencegahan kekerasan pada anak di sekolah. Selain kepada anak, sosialisasi juga dilakukan kepada orang tua dan guru.

“Kalau di sekolah saat upacara itu sebentar untuk menjelaskan singkat. Tapi kalau orang tua lebih lama, agar mereka meengerti bagaimana mengawasi anaknya,” kata dia.

Pasalnya, menurut dia, kekerasan pada anak umumnya terjadi lantaran kurangnya kepedulian orang tua. Padahal, perilaku anak juga harus diperhatikan secara intens, bukan hanya dibuat tenang dengan menggunakan gawai.

Khairati mengatakan, gawai adalah sumber anak zaman sekarang untuk mengakses pornografi. Karena itu, pihaknya rutin melakukan sosialisasi penanganan pornografi dan pembekalan ke sekolah sekolah. Dengan begitu, anak mengerti menggunakan gawai yang baik dan orang tua dapat melakukan pengawasan dengan benar.

“Di Tangsel banyak kejadian bermula karena media sosial. Kita harus tangani, makanya kita sosialisasi. Kalau sudah terjadi maka kita akan adakan penanganan secara intensif baik itu secara paikologi atau hukum,” kata dia.

Ia menjelaskan, kasus umum yang dialami korban setelah terjadinya kekerasan seksual adalah trauma. DPMP3AKB telah bekerja sama dengan dinas terkait untuk mengambalikan mental anak yang mengalami kekerasan seksual.

“Kalau masalah hukumnya kita bekerja sama dengan Polres untuk pelakunya, untuk korbannya perlu penanganan khusus,” kata dia.

Ia menambahkan, dalam sosialisasi anak juga diajarkan untuk mengenal ciri-ciri pelaku yang ingin melakukan kekerasan seksual. Dengan begitu, anak bisa menghindarinya. Sementara untuk anak SMA, diajarkan juga agar mereka dapat menerima korban kekerasan seksual agar tak terjadi perundungan.

Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA), Dermawan mengatakan, sosialisasi diperlukan dalam mencegah pengaruh pornografi pada anak. Namun, pihaknya tak bisa mendeteksi ketika anak itu terpapar pornografi.

“Berbeda dengan narkoba, kita bisa lihat. Anak yang terpapar pornigrafi tak bisa dideteksi,” kata dia.

Karena itu, sosialisasi diperlukan untuk melakukan pencegahan. Pasalnya, lanjut dia, anak berpotensi jadi korban ketika terpapar pornografi.

Ia menjelaskan, anak umumnya mengakses pornografi melalui gawai mereka. Ketika telah menonton 20-30 kali, anak berpotensi untuk teradiksi pornografi. Dari situ, akan timbul keinginan untuk melihat terus dan akhirnya akan mencontoh agedan yang dilihatnya.

Karena itu, ia menegaskan, pencegahan itu tak bisa dilakukan hanya dengan kementerian/lembaga. Lebih dari itu, diperlukan juga peran dari sekolah dan orang tua.

“Harus dilakukan pendekatan keluarga dan secara moral keagamaan, serta melalui pendidikan. Karena hampir separuh dari 84 juta anak hampir separuh ada di sekolah. Sekolah juga keterbatasan SDM dan tak bisa sendiri, harus ada peran orang tua,” kata dia. (den)

Berita Lainnya