Aksi Teror di New Zealand, Wawan Minta Pemerintah Berlakukan Travel Warning

Aksi teror bersenjata di New Zealand, minggu lalu, yang menewaskan puluhan warga muslim menuai kecaman dunia. Sejumlah tokoh dunia bersatu mengecam penembakan tersebut. Mereka pun menyerukan perang terhadap aksi terorisme.
Penembakan tersebut dianggap sebagai hari kelam di New Zealand yang dianggap salah satu negara paling aman. Tak ayal kondisi ini dikhawatirkan membangkitkan gerakan ekstrimisme baru.
Dari puluhan jiwa yang melayang, ada satu warga Negara Indonesia yang turut menjadi korban. Hal ini rupanya juga mematik pemerintah Indonesia untuk terlibat gerakan aktif dalam perang melawan teror.
Wawan Iriawan salah satu tokoh yang paling lantang meminta pemerintah bersikap tegas dalam melawan teroris.
Ia pun meminta ada langkah konkret pemerintah dalam menyikapi persoalan ini. Jangan sampai aksi tersebut berulang kembali dan memakan korban.
“Saya rasa kita bersedih dengan adanya tragedi ini. Satu korban WNI turut menjadi korban. Maka itu langkah konkret harus diambil pemerintah. Jangan hanya bersikap turut mengecam saja,” katanya, dalam rilis yang diterima Respublika. Id, kemarin.
Ketua DPW Partai NasDem Banten ini yakin jika pemerintah dapat bersikap tegas langkah konkret Pemerintah New Zealand dalam mengatasi masalah ini akan berhasil.
Apalagi jika mengirimkan travel warning kepada warga Indonesia yang akan berpergian ke New Zealand. Langkah itu satu bentuk antisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Terutama terjadinya aksi teror yang bisa saja terjadi lagi.
“Travel Warning ini bisa dicabut jika New Zealand benar-benar aman lagi,” imbuhnya.
Sebelumnya aksi teror yang dilakukan pria yang berakun Brenton Tarrant 9 ini terlihat pergi ke Masjid Al Noor. Dia melancarkan tembakan sebanyak 205 kali dan membunuh puluhan orang. Pelaku menggunakan empat senjata yang berbeda dan hanya sekali mengisi peluru.
Teroris itu disebut-sebut tergabung dalam kelompok ekstrimis sayap kanan. Salah satu teroris diidentifikasi sebagai pria kelahiran Australia yang menulis telah merencanakan aksi itu hingga dua tahun.
Dokumen setebal lebih dari 70 halaman yang dikutip oleh media Australia dipenuhi dengan referensi `white power`, menyebut imigran sebagai ” penjajah asing” , dan menggambarkan serangan itu sebagai upaya untuk ” menciptakan suasana ketakutan” .
Tersangka kelahiran Australia, dilaporkan menggambarkan dirinya sebagai seorang rasis dan fasis. Merujuk pada teroris dan pembunuh massal asal Norwegia, Anders Behring Breivik dan, Swedia, Anton Lundin Pettersson, yang menewaskan tiga orang dalam serangan terhadap sekolah di Trollhättan pada 2015. (firda)