Untuk Kepentingan Umum

Partisipasi Politik Perempuan di Kota Tangsel dalam Pemilu 2019

Partisipasi perempuan dalam panggung politik di Indonesia dalam perjalannya cukup terjang lantaran dianggap sebagai subordinat dari kaum laki-laki. Dominannya budaya patriarkal bikin kesadaran politik kaum perempuan di Indonesia terhitung lamban, ditambah adanya ketidakadilan berbasis gender terjadi dimana-mana, baik sektor pendidikan, ekonomi, sosial dan politik. Patriarki merupakan sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti.

Menurut Mansour Fakih, ketidakadilan gender termanifestasi dalam berbagai bentuk, seperti marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam putusan politik. Struktur sosial dan politik yang bersifat patriarkal, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.(Nasri, 2017)

Upaya gigih para aktivis perempuan dan organisasi perempuan di Indonesia yang tak pernah lelah mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan himbauan CEDAW, dimana negara diharapkan melakukan tindakan affirmative action agar tidak ada lagi diskrimasi terhadap perempuan, baru membuahkan hasil pada rezim Dewan Perwakilan Rakyat pasca reformasi. Tindakan affirmative action ialah negara memberikan kompensasi dengan tindakan khusus koreksi atas ketidak adilan gender selama ini. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 4 CEDAW tersebut, yang berbunyi: (Kurniawan, 2014)

“Pembuatan peraturan-peraturan khusus sementara oleh negara-negara peserta yang ditujukan untuk mempercepat persamaan “ de facto” antara pria dan wanita, tidak dianggap diskriminasi seperti ditegaskan dalam Konvensi ini dan sama sekali tidak harus membawa konsekuensi pemeliharaan norma-norma yang tak sama atau terpisah, maka peraturan-peraturan ini dihentikan jika tujuan persamaan kesempatan dan perlakuan telah tercapai”

 

Indonesia meratifikasinya dalam Pasal 65 ayat 1 “Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%” undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pada pemilu 2009 dilakukan penguatan dalam pengaturan affirmative action yaitu kewajiban partai politik memenuhi kuota 30% perempuan tidak hanya pada syarat pencalonan melainkan kepengurusan partai politik serta dengan penerapan zipper system, setiap caleg dalam urutan 1-3 harus terdapat caleg perempuan yang tertuang dalan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Terus dilanjutkan sampai pemilu 2019 melalu undang-undang nomor 7 tahun 2017

Sekalipun ikhtiar untuk meningkatkan peran perempuan dalam DPR membuahkan hasil dan sudah berlaku sejak pemilihan umum tahun 2004, namun target representasi perempuan dalam parlemen 30% belum tercapai sampai pada pemilu tahun 2019. Jika melihat trennya cukup positif karena relatif tetap naik dari setiap pemilihan umum, sekalipun pada pemilu 2014 mengalami penurunan hampir satu digit.

Tabel I

Refresentasi Perempuan di DPR RI mulai 1950 – 2019

Representasi Perempuan di DPR RI mulai 1950 – 2019
Periode Perempuan (%) Laki-Laki (%)
1950 – 1955 9 3,67% 236 96,33%
1955 – 1960 17 6,25% 255 93,75%
*Konstituante 1956 – 1959 25 4,87% 488 95,13%
1971 – 1977 36 7,83% 424 92,17%
1977 – 1982 29 6,30% 431 93,70%
1982 – 1987 39 8,48% 421 91,52%
1987 – 1992 65 13,00% 435 87,00%
1992 – 1997 62 12,40% 438 87,60%
1997 – 1999 54 10,80% 446 89,20%
1999 – 2004 45 9,00% 455 91,00%
2004 – 2009 61 11,09% 489 88,91%
2009 – 2014 101 18,04% 459 81,96%
2014 – 2019 97 17,32% 463 82,68%
2019 – 2024 118 20,52% 446 77,57%

Sumber : KPU RI dan (Kurniawan, 2014)

Pemberlakuan affirmative dengan kuota 30% di parlemen diharapkan bisa membuat perempuan tidak lagi hanya menjadi objek pembangunan, melainkan ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan sehingga tidak lagi ada kebijakan pembangunan yang bias gender.

 

Kota Tangerang Selatan

 

Kota Tangerang Selatan resmi berdiri pada 26 November 2008 melalui Undang-undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan di Provinsi Banten. Pada usia yang relative muda, kota ini telah melaksanakan dua kali pemilu (2014 dan 2019), tiga kali pemilihan Walikota dan Wakil Walikota (2010, 2015, 2020), serta dua kali melaksanakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (2012, 2017).

Melihat gambaran di atas saya ingin mengetahui sejauh mana peran partai politik dalam melakukan pendidikan politik terhadap partisipasi perempuan dalam politik di Kota Tangerang Selatan. Artikel ini mengkaji tentang mengukur affirmative action sebagai langkah meningkatkan partisipasi politik perempuan di Kota Tangerang Selatan. Masalah utama dari penelitian ini adalah mengapa partisipasi perempuan dalam politik di lembaga formal relatif rendah dan bagaimana peran partai politik dalam mendukung affirmative action pada pemilu 2019

 

Partisipasi Politik Perempuan

Partisipasi politik merupakan perwujudan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat. Partisipasi bisa dalam bentuk memberikan suara atau kegiatan lain, masyarakat meyakini dengan kegiatan bersama kepentingan mereka akan tersalurkan atau minimal diperhatikan, sedikit banyaknya mereka dapat mempengaruhi pembuat kebijakan, dengan demikian mereka yakin bahwa kegiatannya memiliki efek politik (political efficacy) (Prof. Miriam Budiardjo, 2008)

Dengan demikian partisipasi bisa muncul jika terdapat kesadaran politik, kesadaran muncul karena memiliki pengetahuan (cognitive). Dalam negara demokrasi partisipasi merupakan elemen dasar, bahkan verba, Scholzman, dan Brady berpendapat bahwa “partisipasi warga negara adalah jantung demokrasi” (Saiful Mujani, R. William Liddle, 2012). Semakin tinggi partisipasi masyarakat semikin baik, artinya masyarakat ikut serta dalam pembuatan kebijakan, terlibat dalam pengawasan kebijakan dan rezim memiliki legitimacy yang tinggi. Sebaliknya semakin rendah partisipasi dapat diartikan rendahnya kepedulian masyarakat terhadap negara, dan jika keinginan masyarakat tidak disuarakan maka ada potensi pemimpin negara kurang tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi warganya. Partisipasi tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin, baik laki-laki dan perempuan. Derajatnya sama di negara demokrasi.

Partisipasi perempuan dalam politik di Indonesia dianggap rendah karena lekatnya budaya patrialkal, sehingga partisipasi perempuan dalam ruang publik atau kegiatan politik masih terasa minim, oleh karenya perlu adanya upaya pengutan agar terciptanya kesetaraan gender melalui affirmative action 30% kuota perempuan di parlemen

Pemberlakuan affirmative action di Indonesia usianya baru beranjak dewasa, 17 tahun yang lalu peluang penyetaraan kuota perempuan dalam parlemen baru terbuka lebar dengan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam calon legislatif (caleg) sejak pemilu tahun 2004. Sekalipun pada periode awal ini tingkat keterpilihan caleg perempuan baru 11,09%, jumlah yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan keterpilhan caleg laki-laki di parlemen. Namun setelah dilakukan penguatan dengan perubahan undang-undang pemilu tahun 2009, yakni undang-undang nomor 10 tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Partai politik berkewajiban menyusun kepengurusan partai politik sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan serta menerapkan zipper system, tingkat keterpilihan perempuan di DPR RI meningkat menjadi 18,04%, bahkan terakhir pada pemilu 2019 terjadi peningkatan dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.

Pada pemilu 2019 di Kota Tangsel, pemilih perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Berdasarkan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT), pada pemilu 2019 yaitu dari 948.571 pemilih, pemilih perempuan sebanyak 478.807 sedangkan pemilih laki-laki 469.764 terpaut selisih 9.043 pemilih. Untuk pemenuhan kuota 30% perempuan dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tangerang Selatan mengalami peningkatan yang signifikan, bahkan mampu melampaui 30% kuota perempuan.

 

Tabel II

Refresentasi Perempuan di DPRD Kota Tangerang Selatan Pada Pemilu 2014 dan 2019

 

PEMILU 2014 PEMILU 2019
Partai Pemilik Kursi Jum. Caleg Perempuan Terpilih Sebaran Partai Partai Pemilik Kursi Jum. Caleg Perempuan Terpilih Sebaran Partai
10 Partai 11 Orang 8 Partai 9 Partai 16 Orang 7 Partai
22% 80% 32% 78%

Sumber: KPU Kota Tangerang Selatan

 

Jika dilihat dari tabel di atas refresentasi perempuan dalam DPRD Kota Tangerang Selatan mengalami peningkatan 10 % dari pemilu 2014 menjadi 32% dengan sebaran partai politik yang memiliki kursi cukup dominan yaitu terdapat 7 partai dari 9 partai yang memiliki kursi di DPRD atau setara dengan 78% partai pemilik kursi di DPRD Kota Tangerang Selatan.

Pada pada pemilu 2019 jumlah kursi dan jumlah daerah pemilihan di Kota Tangerang Selatan sama dengan pemilu tahun 2014. Namun terjadi peningkatan jumlah caleg tingkat Kota Tangerang Selatan, begitupun caleg perempuan. Hal ini terjadi karena jumlah partai politik peserta pemilu tahun 2019 mengalami penambahan dari 12 partai menjadi 16 partai politik. Namun tidak semua partai politik mencalonkan calegnya disetiap dapil, misalnya Partai Garuda hanya mencalonkan 3 orang caleg di dapil lima saja, PKPI hanya mencalonkan 12 orang caleg di 4 dapil. Adapun jumlah caleg perempuan pada pemilu 2019 bisa dilihat dari tabel di bawah ini.

 

Tabel III

Jumlah Caleg Perempuan pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019

 

JUMLAH CALEG PADA PEMILU 2014 JUMLAH CALEG PADA PEMILU 2019
Perempuan (%) Laki-laki (%) Perempuan (%) Laki-laki (%)
203 37, 55 368 64, 45 265 38,86 417 61, 14

Sumber: KPU Kota Tangerang Selatan

 

Melihat tabel di atas terjadi peningkatan baik dari jumlah caleg yang terdaftar dalam Daftar Calon Tetap (DCT) maupun jumlah caleg perempuan meningkat menjadi 38, 86% caleg. Hal ini senada dengan yang disampaikan Xydias (2007) memperkirakan bahwa warga yang tinggal di negara-negara yang telah mengadopsi kuota gender lebih cenderung mendukung kehadiran perempuan yang kuat diantara para pembuat keputusan politik.(Fernández & Valiente, 2021)

           

Jika melihat produk Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan, merupakan produk DPRD dan Pemerintah Kota Tangerang Selatan, berdasarkan pantauan penulis dalam lamajdih.tangerangselatankota.go.id terdapat 4 produk Perda Kota Tangerang Selatan yang berorientasi pada peningkatan kesetaraan gender, antara lain:

  1. Pasal 7 poin (b) Perempuan rawan sosial ekonomi, Perda No. 16 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, pada intinya salah satu prioritas perseorangan penerima manfaat program penyandang masalah kesejahteraan sosial adalah perempuan rawan sosial ekonomi
  2. Pasal 8 poin (b dan e) Sasaran Kegiatan Promosi Kesehatan sebagaimana dimaksud pasal 7, yaitu (b) wanita pekerja seks dan (e) ibu hamil, Peraturan Daerah Kota Tangerng Selatan No. 10 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Human Immunodeficiency Virus Dan Acquired Immune Deficiency Syndrome
  3. Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan No. 2 Tahun 2018 Tentang Pengarusutamaan Gender. Intinya upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan Gender dalam pembangunan, kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
  4. Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan No. 1 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan Kota Layak Anak

 

Budaya Politik

Almond dan Verba membagi orientasi budaya politik menjadi tiga bagian, yaitu: pertama, Orientasi Kognitif (cognitive orientation), berupa pengetahuan tentang kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajiban serta input dan outputnya. Kedua, Orientasi Afektif (affective orientation), berupa perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan penampilannya. Dan ketiga, Orientasi Evaluatif (evaluation orientation), merupakan keputusan dan pendapat masyrakat tentang objek-objek politik yang secara tipikal melibatkan nilai-nilai moral yang ada dalam masyarakat dengan kriteria informasi dan perasaan yang mereka miliki (Dr. Sahya Anggara, 2015).

Salah satu fungsi partai politik adalah sebagai sarana sosialisasi politik, dengan target terjadi perubahan budaya politik. Untuk meningkatkan akseptabilitas pemilih terhadap caleg perempuan dibutuhkan sosialisasi atau pendidikan pemilih yang dilakukan oleh partai politik kepada masyarakat akan pentingnya kebijakan diambil dengan melibatkan perempuan sebagai pengambil keputusan, selain itu partai politik melakukan rekrutmen dan kaderisasi kepemimpinan perempuan secara terukur, dengan demikian secara kualitas caleg yang ditawarkan oleh partai politik lahir dari proses pengkaderan bukan sebagai pelengkap syarat pencalonan. Budaya politik tentu menjadi salah satu tantangan atau hambatan bagi partisipasi politik perempuan di Indonesia.

Selain itu, perlunya anggota dewan perempuan yang terpilih mengartikulasikan kinerjanya serta upaya memperjuangkan hak-hak perempuan kepada publik, sehingga publik bisa merasakan manfaatnya dan merubah persepsi masyarakat yang masih berpikiran perempuan tidak cocok diranah politik. dengan demikian dapat terwujud budaya politik partisipatoris karena berbekal pengetahuan tersebut.

Penelitian tentang “Orientasi Politik Perempuan dan Keputusan Pemilih” yang dilakukan oleh Patimah Nularna mahasiswa Fisip Universitas Riau, dengan metode kuantitatif, dan respondennya perempuan yang menggunakan hak pilihnya pada pemilu tahun 2014, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengaruh orientasi kognitif, orientasi afektif dan orientasi evaluatif pemilih perempuan sangat berpengaruh dengan keputusan memilih (Nularna, 2017).

 

 

Sikap Partai Politik Terhadap Affirmative Action

Peserta pemilu 2019 terdiri dari 16 parpol sementara pemilik kursi di DPRD Kota Tangerang Selatan berjumlah 9 parpol dan yang memiliki caleg perempuan terpilih sebanyak 7 parpol atau setara dengan 78%. Keberpihakan partai politik terhadap affirmative action 30% kuota perempuan cukup menggembirakan karena semua partai peserta pemilu 2019 di Kota Tangerang Selatan mencalonkan caleg perempuan diatas 30% kuota yang ada. Selain itu adanya peningkatan kuantitas caleg perempuan dan adanya peningkatan tingkat keterpilihan dibandingkan pada pemilu 2014. Hal ini di perkuat oleh regulasi yang tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dimana aturan ini memaksa partai politik untuk mencalonkan 30% kuota perempuan dengan basis daerah pemilihan (dapil), karena hal ini menjadi sebuah prasayarat dan memiliki phunisment, dimana jika didapil tersebut tidak terpenuhi kuota 30% perempuan maka satu dapil tersebut dianggap hangus atau KPU menganggap tidak memenuhi syarat. Dan dengan zipper system berpengaruh terhadap meningkatnya kuantitas caleg perempuan, pada pemilu 2019 jumlah caleg DPRD Kota Tangerang Selatan disetiap partai melampaui dari 30% kuota, namun hanya terdapat 7 partai yang dapat meloloskan caleg perempuannya diparlemen.

 

Tabel IV

Partai Politik Yang Mencalonkan melebihi kuota 30 % Caleg Perempuan dan Lolos Untuk DPRD Kota Tangerang Selatan Pada Pemilu 2019

No. Nama Partai Jumlah Caleg Jumlah Caleg Perempuan (%) Jumlah yang lolos (%)
1 PKB 50 20 40% 1 orang (nomor urut 3) 5%
2 GERINDRA 50 19 38% 3 orang (nomor urut 1,3,1) 16%
3 PDIP 50 18 36% 3 orang (nomor urut 3, 2, 2) 17%
4 GOLKAR 50 18 36% 2 orang (nomor urut 5,6) 11%
5 PKS 50 18 36% 4 orang (nomor urut 1, 3, 4, 4) 22%
6 PSI 36 14 39% 1 orang (nomor urut 3) 7%
7 DEMOKRAT 50 18 36% 2 orang (nomor urut 3, 3) 11%

Sumber: KPU Kota Tangeragn Selatan

 

Jika dilihat dari tabel di atas jumlah caleg perempuan disetiap partai rata-rata diangka 36%, Partai Kebangkitan Bangsa paling banyak caleg perempuannya yaitu 40% kemudian disusul PSI dan Gerindra masing-masing terpaut satu persen. Partai yang memiliki anggota DPRD Kota Tangerang Selatan paling banyak PKS dengan 4 caleg perempuan terpilih, disusul Gerindra dan PDIP masing-masing 3 caleg perempuan terpilih, selanjutnya Golkar dan Demokrat masing-masing 2 caleg perempuan, terakhir PSI dan PKB dengan 1 orang caleg perempuan terpilih. Sekalipun yang menentukan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, jika dilihat dari tabel diatas potensi caleg perempuan terpilih berada pada nomor urut 1-3. Namun masih sangat kecil para caleg perempuan mendapatkan nomor urut pertama, lebih banyak pada nomor urut 3 dari daftar pencalonan. Adapun jumlah data caleg perempuan berdasarkan nomor urut dapat dilihat dari tabel di bawah ini.

 

Tabel V

Jumlah Caleg Perempuan Berdasarkan Nomor Urut pada Pemilu 2014 dan 2019

PEMILU 2014 PEMILU 2019
Nomor Urut Caleg % Caleg Perempuan % Caleg Laki-laki % Caleg Perempuan % Caleg Laki-laki
Caleg Nomor 1 19% 81% 18% 82%
Caleg Nomor 2 24% 76% 24% 76%
Caleg Nomor 3 57% 43% 74% 26%
Caleg Nomor 4 24% 76% 25% 75%
Caleg Nomor 5 28% 72% 36% 64%
Caleg Nomor 6 61% 39% 55% 45%
Caleg Nomor 7 32% 68% 35% 65%
Caleg Nomor 8 31% 69% 33% 67%
Caleg Nomor 9 54% 46% 65% 35%
Caleg Nomor 10 32% 68% 40% 60%
Caleg Nomor 11 53% 47% 43% 57%
Caleg Nomor 12 38% 63% 50% 50%

            Sumber: KPU Kota Tangerang Selatan

Jika melihat tabel di atas keberpihakan partai politik terhadap penempatan caleg perempuan pada nomor urut satu sangat kurang sekali, bahkan terkesan hanya untuk memenuhi persyaratan pencalonan saja, adanya caleg perempuan untuk menyelamatkan caleg laki-laki agar tidak gugur dalam satu dapil. Asumsi ini menguat dengan melihat data diatas pada penempatan nomor urut perempuan dikelipatan tiga, yaitu pada nomor urut 3, 6 dan 9, namun masih cukup optimis pada penempatan nomor 3 yang mengalami peningkatan dari 57% menjadi 74%. Di bawah ini penulis tampilkan prosentase keterpilihan caleg perempuan berdasarkan nomor urut.

Tabel V

Jumlah Caleg Perempuan Terpilih Berdasarkan Nomor Urut pada Pemilu 2014 dan 2019

NOMOR URUT JUMLAH CALEG PEREMPUAN JUMLAH CALEG PEREMPUAN TERPILIH PROSENTASE
NOMOR URUT 1 16 3 19%
NOMOR URUT 2 21 2 10%
NOMOR URUT 3 64 7 11%
NOMOR URUT 4 21 2 10%
NOMOR URUT 5 29 1 3%
NOMOR URUT 6 38 1 3%

Sumber: KPU Kota Tangerang Selatan

 Prosentase keterpilihan caleg perempuan berdasarkan nomor urut, nomor urut 1 sampai dengan nomor urut 4 memiliki kans yang bagus untuk caleg perempuan, sekalipun prosentase nomor urut 1 jauh lebih potensial. Sebagaimana Tabel IV di atas caleg perempuan paling banyak 74% pada nomor urut tiga sehingga berkorelasi dengan jumlah caleg perempuan terpilih paling banyak juga pada nomor urut tiga.

 

Tabel VI

Daftar Caleg DPRD Kota Tangerang Selatan terpilih pada Pemilu 2019

Berdasarkan Nomor Urut Caleg

 

NOMOR URUT CALEG JUMLAH (%)
NOMOR URUT 1 20 orang 40%
NOMOR URUT 2 9 orang 18%
NOMOR URUT 3 8 orang 16%
NOMOR URUT 4 4 orang 8%
NOMOR URUT 5 3 orang 6%
NOMOR URUT 6 2 orang 4%
NOMOR URUT 7 2 orang 4%
NOMOR URUT 10 1 orang 2%
NOMOR URUT 11 1 orang 2%
TOTAL 50 orang 100 %

               Sumber: KPU Kota Tangerang Selatan

Berdasarkan data di atas caleg terpilih untuk DPRD Kota Tangerang Selatan di dominasi oleh caleg dengan nomor ururt 1 (40%), sedangkan jumlah caleg perempuan dengan nomor ururt 1 hanya (18%). Selanjutnya caleg nomor urut 2 sebanyak 18%, kemudian caleg nomor urut 3 sebanyak 16%, kemudian nomor ururt 4 sebanyak 8%, nomor urut 5 sebanyak 6%, selanjutnya disusul nomor urut 6 dan 7 masing-masing 4% dan nomor ururt 10 dan 11 masing-masing memperoleh 2%. Berdasarkan data di atas, caleg dengan nomor urut 1-4 memiliki potensi sebesar 83%. Sedangkan caleg perempuan pada pemilu 2019 paling banyak ditempatkan pada nomor ururt 3, dan sangat langka caleg perempuan ditempatkan pada nomor urut 1.

 

Tabel VI

Kepengurusan Partai Politik Pada Posisi Ketua, Sekretaris, Bendahara

Tingkat Kota Tangerang Selatan di Pemilu 2019

 

No Jabatan Jenis Kelamin (%) Perempuan
L P
1 Ketua 13 3 18,8 %
2 Sekretaris 12 4 25%
3 Bendahara 11 5 31,3%
Total 33 12 25%

            Sumber: SK Kepengurusan Tahun 2019

Sekalipun dalam Surat Keputusan Kepengurusan Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2019 terpenuhi kuota perempuan 30% namun jika dianalisa pada puncuk pimpinan harian, posisi perempuan sebagai ketua masih sangat minim (18,8%) jika dibandingkan dengan laki-laki, namun jika dibandingkan dengan kepengurusan pada pemilu 2014 mengalami trand kenaikan. Penempatan perempuan dalam kepengurusan KSB (Ketua, Sekretaris, Bendahara) baru mencapai 25%, dan posisi perempuan dalam kepengurusan KSB diasosiasikan pada peran perempuan dalam kultur yang berkembang selama ini di rumah tangga, setara dengan bendahara.

 

Kesimpulan

Affirmative action terhadap 30% kuota perempuan mengalami trend positif di kota Tangerang Selatan jika dilihat dari kuantitas caleg perempuan yang mendaftar serta keterpilihannya di DPRD Kota Tangerang Selatan pada pemilu 2019.

Mengingat kuatnya budaya patriarki di Indonesia maka penting kiranya melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih kepada masyarakat agar terjadi kesetaraan gender sehingga perempuan tidak hanya menjadi objek pembangunan namun terlibat dalam menyusun kebijakan-kebijakan negara maupun kontrol terhadap implementasinya. Dengan dilakukannya sosialisasi dan pendidikan pemilih membuat budaya politik masyarakat menjadi budaya politik partisipatoris. Selain itu fungsi partai politik sebagai sarana rekruitmen kader dapat melakukan penjaringan serta kaderisasi secara terbuka dan terukur terhadap caleg perempuan khususnya, sehingga secara kualitas tidak dapat diragukan lagi.

Sekalipun refresentatif perempuan di DPRD Kota Tangerang Selatan pada pemilu 2019 mengalami peningkatan bahkan melampaui kuota 30% perempuan, namun keberpihakan partai politik terhadap penempatan caleg perempuan pada nomor urut yang memiliki potensi keterpilihan yang tinggi masih sangat minim, penempatan caleg perempuan paling banyak pada nomor urut 3 terkesan hanya menggugurkan kewajiban sebagai syarat pencalonan, dengan diberlakukannya zipper system caleg perempuan terselamatkan, minimal pada penempatan nomor urut 3.

 

*Achmad Mudjahid Zein

(Komisioner KPU Kota Tangerang Selatan)

Berita Lainnya