Untuk Kepentingan Umum

Pelacuran, Fraksi Teras dan Gerakan Masyarakat Sipil

“Penindasan, serta kesewenang-wenangan, banyak lagi, teramat banyak untuk disebutkan. Hentikan, hentikan jangan diteruskan. Kami Muak dengan ketidakpastian dan keserakahan. Oiya-oya bongkar”. Suara Iwan Fals terdengar nyaring memecah kesunyian di sebuah sudut di bilangan jalan Satria Sudirman, Kota Tangerang, akhir pekan lalu.

Pada sebuah sudut yang ditumbuhi rerumputan itu, tersibak beberapa bangunan yang disulap menjadi warung makan. Tempatnya berjejer dan tersusun rapih. Jaraknya tidak begitu jauh dari pusat pemerintah Kota Tangerang. Sekira 20 meter. Hembusan angin sore itu terasa sejuk pasca udara menyengat sepanjang hari.

Satu salon dengan suara agak sember tersusun rapi. Begitupun dengan mik yang agak kusam dengan warna pudar kehitam-hitaman. Satu spanduk bertuliskan ‘Fraksi Teras’ dengan lambang mik mulai dipasang oleh dua orang yang agak kucel. Spanduk berwarna putih kehitam-hitaman itu menjadi penanda kalau di lokasi itu akan diadakan acara. Kegiatan di lokasi itu memang sudah empat kali diadakan. Masing-masing temanya berbeda-beda. Yang pasti menyoroti tentang isu yang ramai di Kota Tangerang.

Pengagas Fraksi Teras ini merupakan sekumpulan wartawan yang biasa ngepos di pemkot Tangerang. Sambil mengisi waktu luang di sela-sela liputan, mereka mengisi dengan diskusi yang dapat diambil intisarinya, untuk kemudian bisa dijadikan kebijakan alternatif pemerintahan. Kebetulan sore itu temanya mengambil judul “Transformasi Prostitusi dan Solusi Ketegasan Hukum”.

Narasumber yang didatangkan unsur eksekutif dan legislatif di Kota Tangerang. Yakni Anggota DPRD Kota Tangerang Saiful Milah, Kepala DP3AP2KB Jatmiko, Kepala Satpol PP Kota Tangerang Agus Hendra dan Peneliti Kebijakan Publik IDP-LP Riko Noviantoro.

Diskusi kali ini memang membahas tentang prostitusi yang sedang hit di Kota Tangerang. Beberapa kali Satpol PP menangkap pelacur alias perempuan rekayasa, yang menjajakan tubuhnya lewat aplikasi kencan singkat. Penggunaan teknologi rupanya juga dimanfaatkan oleh perempuan nakal untuk menjaring lelaki hidung belang. Konon untuk menjaring perempuan nakal itu, sejumlah pejabat Satpol PP menyamar menjadi pelanggan. Dari kisah penyamaran ini beberapa kali wanita nakal itu diringkus.

Mereka ditangkap untuk dimintai keterangan. KTP diambil untuk dicatat serta disumpah untuk tidak mengulangi perbuatan tidak senonoh tersebut. Habis itu mereka dilepaskan lagi. Besoknya Satpol PP kembali menangkap perempuan malang lagi, setelah itu diperiksa. Dilepas lagi. Kejadian itu terus berulang lagi.

Nah, kembali pada diskusi yang diadakan Fraksi Teras cukup menarik. Sayangnya narasumber yang hadir hanya kepala DP3AP2KB Jatmiko dan anggota DPRD Kota Tangerang Saiful Milah. Sedang yang lain berhalangan hadir.

Panitia acara terlihat mondar-mandir membawa ponsel. Raut wajahnya tampak kesal. Maklum, lima belas menit sebelum acara, pejabat Satpol PP dipastikan hadir. Hingga acara hampir rampung, batang hidung pejabat Satpol PP tidak juga terlihat. Gerutu, dumelan hingga sumpah serapah terdengar dari panitia. “Tadi sudah oke, kok belum juga datang. Takut dikuliti sepertinya,” gerutu Abdul Aziz Muslim, salah satu panitia.

Lelaki 45 tahun ini terus menghisap rokok Sampoerna Mild dalam-dalam. Ia cukup stress karena tugasnya mengkoordinasi narasumber. Satu saja yang tidak hadir reputasinya sebagai wartawan bisa tercederai. Makanya, sepanjang acara, raut wajahnya terlihat kusut.

Acara terus berlangsung hingga sore hari. Diskusi menggalir dengan tema yang memang cukup menantang. Sesekali suara tertawa terdengar nyaring. Maklum diskusi yang temanya selangkangan memang bikin kepala segar. Apalagi yang hadir adalah kau adam dengan segudang pengalamannya.

Seperti yang disampaikan Denis Codet. Ia berkisah tentang pengalamannya di dunia prostitusi. Mulai dari Open Boking Order (BO) atau memesan perempuan nakal lewat aplikasi hingga ia sampai ke Vietnam untuk mencicipi perempuan malam di sana. Bukan wajah oriental yang didapat, perempuan dari Indonesia yang malah dicicipinya.

“Saya kaget waktu ke Vietnam, mau cari perempuan sipit, yang ada orang Indonesia. Kok bisa orang kita jadi penjaja seks sampai ke timur jauh. Menurut saya ini persoalan dan memang harus dicari solusinya,” ujar Denis.

Pria yang selalu memakai topi ini menilai langkah yang dilakukan pemda dalam persoalan prostitusi tidak punya efek. Prostitusi tetap tumbuh subur meski razia hampir tiap hari dilakukan. Pemerintah menurutnya hanya razia tanpa memiliki solusi. Hal ini yang menurutnya bikin prostitusi bukan hilang malah tumbuh subur.

Dirinya pun malah mengusulkan agar dibuat satu tempat legal khusus prostitusi ketimbang terus menangkapi pelacur yang tidak jelas dampaknya. Kata dia, hal itu realistis dan malah bisa memberikan pemasukan untuk daerah dengan mengenakan pajak yang besar.

“Kalau ditangkapi terus dibebaskan. Besok seperti itu lagi tidak akan hilang namanya pelacuran. Mending dibuat satu tempat khusus saja. Kita pajaki dengan nominal besar. Pelacuran terlokalisasi. Gampang mentrackingnya kalau ada apa-apa. Tidak liar seperti sekarang, menjajakan tubuh lewat aplikasi. Dampaknya juga buruk buat pelacur karena rentan mengalami kekerasan,” katanya yang disambut riuh peserta diskusi.

Beberapa nampak tertawa kencang, ada juga yang tersenyum kecut. Sedang pembicara Saipul Milah mencoba menetralisir dengan mengatakan hal itu sulit terwujud karena Kota Tangerang ada Perda tentang prostitusi. Kata Saipul, masalah pelacuran sudah paripurna dan tidak bisa diganggu gugat. Artinya tidak ada celah untuk melegalisasi pelacuran di Tangerang yang terkenal dengan sebutan aklakul karimah.

Salah satu pengagas Fraksi Teras Fajrin Raharjo menjelaskan diskusi kali ini untuk memotret bagaimana pelacuran menjadi isu yang sensitif di Kota Tangerang. Nah, lewat diskusi ini ingin melihat sejauh mana Pemkot Tangerang melihat isu tersebut. Hasilnya diharapkan bisa memantik untuk wacana yang lebih jernih dalam memandang isu pelacuran.

Fraksi Teras, kata Fajrin, merupakan bagian kecil bagaimana peran masyarakat coba dimaksimalkan. Artinya tidak melulu mengharapkan peran Eksekutif, Legislatif atau Yudikatif. Masyarakat sipil dalam skala kecil ini ingin coba terlibat dalam setiap kebijakan pemerintah. Fraksi Teras ini bagian dari Civil Society tersebut. Gerakan yang digagas Fajrin ini bisa menjadi pionir bagaimana masyarakat seharusnya dapat berperan. Tidak melulu saat waktu pemilu saja yang mana peran masyarakat diukur dari sebuah angka. (Firdaus)

Berita Lainnya
Leave a comment