Saya memulai tulisan ini dengan menentukan judul yang cukup lama. Maklum, sudah beberapa waktu tak membuat naskah karena beberapa hal. Dari rasa malas, kesibukan di luar aktivitas jurnalistik hingga bikin ide yang tak kunjung ketemu.
Nah, kebetulan, beberapa waktu lalu, bos Madu Pramuka, mantan wartawan ANTV, haji Ihsan mengontak saya dengan beberapa pengurus Aliansi Jurnalis Video (AJV) Pengurus Daerah Banten. Kebetulan teman-teman pengurus ingin mengadakan buka puasa bersama. Rasanya kegiatan ini tepat karena pengurus AJV sudah lama tak bertemu lantaran kesibukan masing-masing. Momentum bukber ini bisa dijadikan sebagai ajang tali silaturahmi. Sekaligus pembahasan tentang beberapa program kerja AJV yang segera ingin dilaksanakan.
Akhirnya disepakati bukber diadakan di sebuah kafe di kawasan Taman Royal, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang, Kamis, 21 April 2022. Dua jam sebelum buka puasa, Sekretaris AJV Kota Tangerang Fajrin Raharjo atau yang dikenal dengan Eki mengontak saya untuk memastikan kehadiran pada bukber. Dari gagang teleponnya, Eki bilang kepastian hadir untuk menentukan porsi makanan yang akan dipesan. Saya pun bilang bisa hadir karena memang sudah lama tak bertemu teman-teman AJV.
Sekira pukul 17.40 saya tiba di kafe Royal. Teman-teman sudah lebih dulu datang. Mulai Haji Ihsan, yang juga sekretaris AJV Banten, Eki, Sekretaris AJV Kota Tangerang, Hasjantama Djafaruddin, Korwil AJV Kota Tangerang, Iwan Setiawan, Bendahara AJV Kota Tangerang, hingga Milhan “The King Tangsel” Wahyudi, Bendahara AJV Kota Tangerang Selatan.
Terdengar suara teman-teman AJV yang sesekali diiringi tertawa yang sangat lepas. Kafe Pinus ini punya dua lantai dengan ornamen-ornamen yang cukup menarik. Cat cerah diimbangi beberapa lampu tempel yang memang punya ciri khas kekinian. Sejak beberapa waktu terakhir kafe-kafe memang menjamur di Kota Tangerang. Biasanya yang hadir berlatar belakang kalangan, dari anak muda hingga orang tua. Namun, kebanyakan diisi anak-anak muda. Mereka kadang menghabiskan waktu berjam-jam untuk sekadar ngobrol diiringi segelas kopi racikan dengan beragam rasa.
Tak lama berselang es teh manis berdatangan. Warnanya cukup mengugah rasa. Pelayannya anak muda dengan pakaian trendi. Sepatunya kets. Ada juga beberapa butir korma yang sudah tersaji. Setelah es teh disajikan, ada lagi menu nasi ayam dengan sambal. Suara azan terdengar. Kita pun berbuka. Cukup khidmat.
Tak lama berselang ada sosok pria berkaos biru dengan memakai masker datang. Ia mengucapkan salam. Kemudian duduk santai. Ia pun memesan menu. Kita masih belum paham kalau sosok pria tersebut adalah Haris Jauhari, ketua Dewan Pembina AJV pusat. Haji Ihsan yang kemudian baru tahu kalau kang Haris yang datang. Itupun setelah Ketua AJV Banten kang Gunadi mengontak Haji Ihsan.
Saya yang baru tahu itu kang Haris pun langsung menyalaminya. Rasa tidak enak bergejolak di hati. Maklum pertama bertemu setahun lalu ketika pelantikan AJV Banten. Waktu itu rambutnya gondrong keriting, mirip almarhum Wimar Witoelar. Makanya, ketika datang saya tidak mengenalinya karena rambutnya dipangkas.
Tak lama berselang mantan wartawan senior Kompas, kang Nugroho F Yudho, datang. Ia adalah sekretaris Dewan Pembina AJV pusat. Kehadiran dua punggawa AJV ini diluar dugaan. Maklum acara bukber ini pikir saya hanya dihadiri teman-teman AJV Banten saja.
Kehadiran kang Haris dan kang Nugroho bisa menjadi momentum untuk mengeluarkan unek-unek tentang AJV. Setelah salat Maghrib kita kemudian berkumpul. Membentuk lingkaran, haji Ihsan membuka diskusi. Ia juga meminta maaf atas kealpaan tidak tahu sosok kang Haris yang hadir jelang maghrib.
Diskusi kemudian berlanjut. Dimulai dengan ide AJV Banten yang akan mengadakan lomba vlog anak SD yang mengambil tema ramadan setelah era pandemi. Idenya sederhana, era media sosial ini ternyata tidak hanya dinikmati orang-orang dewasa tetapi juga anak-anak; yang sudah tidak canggung lagi ketika berada di depan kamera.
Anak saya yang berusia tujuh tahun saja sekarang sudah akrab dengan gadget. Bahkan kerap saya temui, ia secara diam-diam merekam dan menceritakan aktivitasnya. Padahal saya tidak pernah mengajarkannya, tetapi ia bisa lancar ngomong dan bergaya seorang vlogger. Pikir saya belajar dimana sampai bisa menirukan para vlogger.
Rupanya ide lomba vlog tersebut mendapat apresiasi dari kang Haris dan kang Nugroho. Mereka pun meminta agar konsep tersebut segera dieksekusi karena punya cita rasa tersendiri. Kang Nugroho pun bercerita konsep pendidikan tentang video dokumenter yang melibatkan pewarta televisi di Sumatera Selatan. Waktu itu, ada pelatihan dengan menghadirkan jurnalis National Geografic. Hasil dari pelatihan itu, belasan wartawan televisi membuat dokumenter tentang daerah di Sumatera Selatan.
Kata kang Nugroho, kegiatan tersebut terbilang sukses. Bahkan, sang kepala daerah mendukung penuh pembuatan dokumenter tersebut. “Konsep vlog anak SD ini menurut saya brilian. Saya tidak pernah membayangkan ide tersebut. Ini bagus dan perlu dilaksanakan,” katanya, memulai pembicaraan.
Dirinya pun meminta teman-teman AJV untuk merealisasikan konsep tersebut agar bisa segera dilaksanakan. Selepas pembicaraan tentang vlog anak SD, diskusi kemudian mengalir tentang Dewan Pers. Selama ini lembaga tersebut ‘dianggap’ super power ketika bicara soal pers. Mulai dari uji kompetensi wartawan, konstituen dewan pers, hingga intervensi terkait bisnis media.
Bahkan pernah ada berita tentang larangan jurnalis yang tidak boleh meliput jika belum punya sertifikat kompetensi wartawan. Yang kemudian informasi tersebut diralat oleh Dewan Pers. Kang Haris yang memang berpengalaman soal Dewan Pers kemudian panjang lebar bercerita soal lahirnya lembaga tersebut.
Menurutnya, lahirnya Dewan Pers itu berawal dari bebasnya kehidupan pers mulai 1945 sampai 1967. Dimana pers dengan bebasnya bisa mengkritik pemerintah. Hingga kemudian Presiden Soekarno tak tahan juga dengan kritik tersebut dan berpikir ingin membuat lembaga yang bisa mengontrol pers. Makanya dibuat Dewan Pers.
“Jadi lahirnya Dewan Pers itu akibat bebasnya pers. Pasca Orde Baru rontok yang dimulainya kebebasan pers, belum ada apa-apa dibanding era Soekarno,” katanya.
Ia menjelaskan soal fungsi Dewan Pers. Yakni sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 15 ayat 2 adalah melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; mendata perusahaan pers”.
Dirinya pun mengkritik Dewan Pers yang sudah keluar dari tugas dan fungsinya. Contohnya soal Uji Kompetensi Wartawan atau UKW. Menurutnya, UKW biasanya dilekatkan ke Pasal 15 ayat 2 huruf e di atas karena ada kalimat meningkatkan kualitas profesi kewartawanan. Kalimat ini ditafsirkan menjadi dasar UKW. Padahal, kalimat ini tidak dapat dipotong seenaknya sendiri. Ia harus dimaknai secara utuh sebagaimana yang tertulis, yakni memfasilitasi organisasi pers. Bukan membuat UKW atau penilaian terhadap wartawan.
“Yang harus menyusun peraturan dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan adalah organisasi pers, yakni organisasi jurnalis. Bukan Dewan Pers. Apalagi, UKW adalah ujian. Dewan Pers menguji tanpa mengajar atau mendidik terlebih dahulu. Ujug2 orang diuji. Di mana di dunia ada contoh yang seperti itu? Ngarang!,” tegasnya.
Sikap tegas kang Haris ini sangat mencerahkan karena lembaga tersebut dianggap bisa mengatur soal pers. Dari mulai verifikasi administrasi, faktual, konstituen, kode etik jurnalis dan serangkaian kegiatan lainnya.
Diskusi cukup mengalir tentang pers, jurnalistik, hingga citizen jurnalis yang kini menjadi bahasa yang popular di masyarakat. Dirinya pun meminta agar AJV memiliki peranan penting dalam era yang serba digital.
“Makanya saya bersemangat ketika teman-teman AJV Banten memiliki konsep atau program yang akan dijalankan. Ini bagus dan harus dijalankan,” ujarnya.
Diskusi santai namun tetap serius ini tak terasa hampir tiga jam. Waktu menunjukkan pukul 21.50. Obrolan pun berakhir dengan foto-foto bersama. Kang Haris berharap ada diskusi berkelanjutan. Teman-teman AJV Banten mendapat ilmu baru setelah mendapatkan ‘pencerahan’ dari kang Haris dan kang Nugroho. Rencana pertemuan selanjutnya pun diatur. Informasinya teman-teman mau diskusi lagi di kafe Made, milik kang Nugroho. Kafe tersebut berada dekat RS Sari Asih Ciledug.
Tak lama berselang keduanya pamit. Mengendarai Vespa Sprint 150 CC warna kuning terang, kang Nugroho pulang. Motornya melaju pelan meninggalkan rekan-rekan AJV. Begitupun dengan kang Haris yang mengendarai Toyota Innova. Ia bergegas pulang ke rumahnya di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Ucapan terima kasih akan kehadiran dua punggawa AJV saya sampaikan. Keduanya menjadi penyemangat dan penambah energi pengurus di Banten. Ide tentang vlog anak SD harus segera direalisasikan. Semoga dalam waktu dekat lomba tersebut bisa terlaksana dan mendapatkan atensi yang cukup baik. Hidup AJV.
Salam. Firdaus. (Korwil AJV Kota Tangerang Selatan).