Andi Mappetahang Fatwa atau yang dikenal luas dengan sebutan AM Fatwa bisa dikatakan aktivis tiga zaman. Maklum pria kelahiran 1939 ini sudah aktif dalam sejumlah organisasi sejak masa Presiden Soekarno. Kerap melawan penguasa, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan AM Fatwa. Selalu bersinggungan dengan penguasa membuatnya mendekam di penjara. Pada 1980an ia divonis belasan tahun penjara oleh rezim Orde Baru, meskipun pada 1990 sudah bebas.
Tahun 1980-an, kenang aktivis Pijar Tri Agus Susanto Siswowihardjo di akun Facebook miliknya, pernah ada judul berita AM Fatwa Minta Fatwa MA. Itulah berita duka cita dari seorang aktivis yang mengenal betul sepak terjang Fatwa. Karena memang, pada era itu meskipun mendekam di penjara namun AM Fatwa dekat dengan kalangan aktivis.
AM Fatwa wafat, Kamis (14/12) pagi tadi di Rumah Sakit MMC, Jakarta. Sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, tutur Dian Islamiaty Fatwa, putrinya, jenasah akan disemayamkan di rumah duka Jl. Condet, Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Pernah menjabat Staff Khusus di Bidang Politik dan Agama Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang memprakarsai Petisi 50, AM Fatwa terlibat di dalamnya. Karena memang, lelaki kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 12 Februari 1939 itu memang sudah melibatkan diri dalam kegiatan politik sejak usia remaja. Pada usia belasan tahun dia sudah aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII) Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) tempat dia dibesarkan.
Pejuang Kemananusiaan
Pada pertengahan 1980-an, tepatnya tahun 1985 AM Fatwa divonis 18 tahun penjara dari tuntutan seumur hidup terkait Lembaran Putih Peristiwa Tanjungpriuk 12 September 1984 yang ditulisnya. Di balik jeruji penjara itu AM Fatwa mempublikasikan gerakan politik lewat Amnesti Internasional yang bermarkas di London.
Perjuangan Fatwa tidak sia-sia. Tercatat dua anggota Kongres Amerika Serikat (AS) membaca tulisannya dan mendesak Presiden AS George Bush untuk memberikan perhatian khusus kepada dua tahanan politik Indonesia, masing-masing HR Dharsono dan AM Fatwa. Dokumen surat kedua anggota Kongres itu diterima AM Fatwa dan mantan Kapolri Hoegeng Iman Santoso yang juga aktivis Petisi ’50.
Ketika Wapres AS Dan Quayle berkunjung ke Indonesia pada April 1989, penggiat hak axasi manusia (HAM) HJC Princen sempat bertemu dengannya. Di sela-sela pembicaraan mantan tentara Belanda yang membelot (dan menjadi warga negara) Indonesia itu berpesan agar lebih memperhatikan nasib HR Dharsono dan AM Fatwa. Dan Quayle pun langsung memerintahkan Duta Besar Amerika untuk menindak-lanjutinya.
Kedutaan AS lantas mengutus Sekretaris Politiknya Mr. Julian Lebourgeois untuk mengunjungi keluarga AM Fatwa di Kramat Pulo Gundul, di permukiman kumuh pinggir rel kereta api. Sejak itu AM Fatwa diperlakukan lebih manusiawi sebagai terpidana politik. Bahkan dia menjalani pembebasan bersyarat pada 1994, atau hanya menjalani hukuman 9 tahun penjara. Namun apabila ditotal, sejak era Orde Lama hingga Petisi 50 dan terakhir kali kasus Tanjungpriuk, AM Fatwa telah menjalani hukuman kurungan selama 12 tahun penjara.
Atas segala penyiksaan yang dialami, ia merupakan satu-satunya warga negara yang pernah menuntut Pangkobkamtib di pengadilan. Tapi setelah terjadi perubahan sistem politik dan rezim pemerintahan melalui gerakan reformasi yang turut dipeloporinya, dengan jiwa besar dan sikap kenegarawanan, ia memaafkan dan menemui tokoh-tokoh yang bertanggung jawab atas penyiksaan dan pemenjaraannya. Lalu, secara manusiawi dan kekeluargaan membina hubungan baik yang berkelanjutan.
Aktif Berorganisasi
Sejak muda AM Fatwa aktif di berbagai organisasi seperti PII, GPII, HMI dan Muhammadiyah. Ia juga aktif dari awal terbentuknya Keluarga Besar PII sebagai Penasihat dan kini Dewan Kehormatan. Demikian juga di KAHMI pernah jadi Wakil Ketua di awal terbentuknya, kemudian Dewan Penasihat. Belakangan juga ICMI, terakhir sebagai Dewan Kehormatan.
Ia juga aktif di front-front pergerakan seperti Front Pemuda, Badan Kerjasama Pemuda Militer (BKSPM), Front Nasional, dan Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB), serta Front Anti Komunis (FAK) pimpinan Isa Anshari, Hassan Aidit, dan Aunur Rofiq Mansur. Pernah menjadi Sekretaris Perserikatan Organisasi-Organisasi Pemuda Islam Seluruh Indonesia (PORPISI) mewakili HMI, ketika presidiumnya diketuai A. Chalid Mawardi dari GP Anshor. Juga pernah menjadi Sekjen Badan Amal Muslimin ketika presidiumnya diketuai oleh Letjen. H. Soedirman. Badan Amal Muslimin nantinya menjadi fasilitator inisiatif terbentuknya Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI).
AM Fatwa mengenyam pendidikan tinggi di IAIN Jakarta Fak. Dakwah (1960-1965 minus ujian akhir), merangkap Fak. Publisistik Univ. Ibnu Chaldun Jakarta (1960-1964), melanjutkan ke UNTAG Surabaya Fak. Ketatanegaraan & Ketataniagaan (1968-1970) ujian akhir S1 UNTAG Jakarta (1970). Selain aktif di intra-universiter sebagai Ketua Senat dan Anggota Dewan Mahasiswa IAIN, ia juga memelopori terbentuknya HMI Komisariat IAIN dan Cabang Ciputat.
Calon Perwira TNI-AL
Saat kuliah di IAIN itu, AM Fatwa mendapat beasiswa ikatan dinas dari ALRI, dan menjabat Ketua Koprs Pelajar Calon Perwira AL Komisariat Jakarta menggantikan dr. Otto Maulana dari Universitas Indonesia (1960-1961). Selanjutnya jadi Ketua Senat Seluruh Indonesia menggantikan dr. Tarmizi Taher dari Universitas Airlangga (1961-1963).
AM Fatwa juga sempat mengkuti Sekolah Dasar Perwira Komando (Sedaspako) V/1967 KKO AL, namun tidak berlanjut sebagai Perwira AL, dan hanya menjadi Imam Tentara yang ditempatkan sebagai Kepala Dinas Rohani Islam Pusat Pendidikan Tamtama, merangkap Kepala Penerangan di Gunung Sari, Surabaya. Terakhir Wakil Kepala Dinas Rohani Islam Komando Wilayah Timur KKO AL di Surabaya hingga akhir tahun 1969. Kemudian oleh Komandan Pusat KKO AL Mayjen KKO Moch. Anwar, pada tahun 1970 AM Fatwa diperbantukan kepada Gubernur DKI Jakarta, Letjen KKO AL Ali Sadikin, di bidang agama dan politik.
Hubungan baiknya dengan TNI terjalin sejak Jend. AH Nasution dan Jend. A. Yani membangun konsolidasi organisasi-organisasi kemasyarakatan no-Parpol untuk mengimbangi pengaruh PKI dan mantel-mantelnya. Saat Sekber Golkar didirikan pada 1964, AM Fatwa ikut menanda-tangani mewakili PII. Maka tidak mengherankan apabila AM Fatwa pernah menjabat Ketua Bidang Pembinaan Rohani Golkar DKI (1976).
Meskipun menjalani status pembebasan bersyarat pada 1994, namun atas izin Presiden Soeharto Menteri Agama Tarmizi Taher mengangkatnya menjadi staff khusus dan berlanjut pada era Quraish Shihab. Kendati memegang jabatan di ambang berakhirnya pemerintahan Orde Baru, AM Fatwa terlibat aktif dalam gerakan reformasi. Selain Amien Rais dan Faisal Basri, AM Fatwa juga termasuk penggagas, pendiri dan deklarator Partai Amanat Nasional.
Di era reformasi AM Fatwa dua periode terpilih menjadi anggota DPR-RI mewakili PAN daerah pemilihan DKI Jakarta, masing 1999-2004 dan 2004-2009. Setelah itu dia juga terpilih dua periode sebagai anggota DPD mewakili DKI Jakarta, masing-masing periode 2009-2014 dan 2014-2019. Namun sebelum periode keduanya berakhir dia telah wafat.
Selamat jalan Bung Fatwa, semoga Allah SWT menerima amal baik anda dan mengampuni segala khilaf dan dosa.[]
Sumber Nusantara.news