Perkawinan itu menyatukan dua pasangan. Menyatukan cinta. Menyatukan tulang rusuk yang terpisah. Menyatukan ego. Menyatukan insan. Menyatukan segalanya. Konon ketika ijab kabul malaikat berdoa agar dua insan itu bisa hidup bahagia. Hidup bersama hingga maut memisahkan.
Ada tangisan saat pengucapan ijab kabul. Baik keluarga laki-laki ataupun keluarga perempuan. Ini yang saya rasakan ketika pembina Paguyuban Slamat Wongso, Tubagus Heryono menikahkan anak keduanya.
Meskipun sekilas ia merelakan anaknya untuk membangun mahligai rumah tangga. Tapi ada kegetiran hati, yang terungkap dari sanubarinya paling dalam.
Ia memang kenyang asam garam kehidupan, namun untuk urusan menikahkan sang anak, ini pertama kali. Sang anak yang bernama Angga, sekilas memang sangat mirip dengan dirinya. Baik dari karakter, sikap, pembawaan ataupun gayanya.
Itu yang saya tangkap. Makanya ketika Angga menikah di usia yang terhitung muda, Heryono tampak takjim. Tatapan matanya jauh menerawang ke depan. Sayup matanya memang lelah. Namun, ada rasa optimis dalam diri Heryono, sang anak bisa sukses menjadi pemimpin keluarga. Pemimpin bagi anaknya kelak, dan pemimpin bagi istrinya.
Maka ketika lepas ijab kabul, kegembiraan terlihat di wajahnya. Ada rasa kelegaan dalam dirinya. Satu fase paling sakral terlewati. Kemudian selepas itu pesta pernikahan digelar. Tamu undangan berdatangan. Mereka memanjatkan doa. Memberikan harapan agar pasangan pengantin bisa sukses melewati satu fase pernikahan.
Semuanya tersenyum. Mereka mengenakan pakaian yang bagus-bagus. Mereka ikut bahagia, seolah-olah ikut larut dalam pesta pernikahan.
Ritual pernikahan memang akan dialami oleh insan yang bernyawa. Cuma prosesnya yang membedakan. Namun esensinya adalah sama. Melalui sebuah ritual ucapan ijab kabul yang dibimbing oleh penghulu.
Nah, mengenai penghulu ini saya sedikit bercerita. Kisah Angga ini mungkin bisa dijadikan pelajaran. Bagaimana sang penghulu tiba-tiba memiliki hak veto untuk membatalkan pernikahan.
Sang penghulu beralasan untuk bisa dinikahkan harus melalui yang namanya penataran. Tak tanggung-tanggung selama dua minggu sang pengantin harus ikut penataran.
Alasannya kegiatan ini sebagai bekal untuk pasangan memasuki maghligai rumah tangga. Nanti saat penataran sang pengantin akan diberikan arahan bagaimana menjalankan biduk rumah tangga, membinanya serta menjalani. Bagi saya itu teori dan tidak selamanya benar.
Makanya agak heran ketika penghulu mengkorelasikan angka perceraian lantaran banyak pasangan yang menikah tidak ikut penataran. Ini lucu dan sangat tidak masuk akal. Tidak ada teori yang bisa menjelaskan secara detail. Itu dalih penghulu. Ia sudah haji dan mungkin ratusan kali menikahkan orang. Ia juga sudah menikah. Tahu bagaimana menjalankan rumah tangga.
Agak aneh sebetulnya. Saya baru dengar perceraian terjadi gara-gara pengantin tidak ikut penataran. Bagi saya ini agak naïf dan tidak masuk akal. Kasus perceraian terjadi gara-gara saat mau menikah sang pengantin tidak ikut penataran. Aneh bin ajaib. Padahal perceraian karena disebabkan beberapa hal. Mulai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hingga persoalan ekonomi. Tidak pernah saya dengar perceraian gara-gara sang pengantin dulunya tidak ikut penataran yang dihajat oleh Kantor Urusan Agama (KUA).
Lalu dengan enaknya penghulu bisa menunda ijab kabul lantaran masalah tidak ikut penataran. Penghulu itu rupanya masih bermental ingin dilayani. Seenaknya bicara.
Padahal jaman sekarang telah berubah. Serba digital, perkembangan teknologi kian pesat. Pengulu itu tidak tahu dunia berubah begitu pesat. Berubahnya tidak dalam kisaran hari, bulan apalagi tahun, tapi detik.
Ia tidak tahu, untuk melangsungkan pernikahan itu telah melalui proses yang panjang. Banyak pertimbangan, banyak masukan dari tokoh masyarakat, alim ulama dan sebagainya.
Maka itu ketika waktu sudah datang, seenaknya ia ingin menunda pernikahan dengan alasan yang tidak masuk akal. Belum ikut penataran. Alasan klasik dibawa-bawa. Ia tidak ingin kena sanksi gara-gara tidak melaksanakan aturan dari pemerintah pusat. Pelajaran dari kisah ini mental birokrat masih belum berubah. Ingin dilayani. Reformasi birokrasi masih tahapan wacana. Dalih aturan pusat selalu dijadikan alasan. Kaku dan tidak lentur.
Meski begitu semua itu sudah bisa terlewatkan. Keruwetan saat jelang ijab dapat diatasi dengan baik. Indah pada akhirnya. Semua mengucapkan alhamdulliah.
Semua berdoa untuk kebaikan. Agar kelak ia bisa imam bagi anak-anaknya dan sang istri. Krikil-krikil dalam maghligai rumah tangga pasti ada. Itu semua dialami oleh insan yang menikah.
Akhir kata saya ucapkan selamat. Sukses selalu. Jangan menengok ke belakang. Tantangan ke depan akan lebih keras. Akan lebih berat. (Firda)