Mega 71 tahun, Jokowi Bertahan, JK Pamit
Seperti sudah ditradisikan, setiap Megawati berulang tahun pada siang hari kelahirannya, 23 Januari, selalu dibuka dengan pagelaran kesenian. Seperti tahun lalu, di tempat yang sama–Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki, digelar pertunjukan ‘ketoprak humor’ yang dimotori dua bersaudara putra maestro Bagong Kusudiardjo, Djaduk Ferianto dan Butet Kertaradjasa, dengan sutradara Agus Noor. Lakon yang dipentaskan diberi judul: ‘SATYAM EVA JAYATE’ yang artinya Kebenaran Pasti Menang.
Sepanjang kurang lebih tiga jam, semua yang hadir dikocok perutnya hingga mules. Digojlok sejumlah humor yang membuat penonton tertawa terpingkal-pingkal saking lucunya. Tak kurang Jokowi dan Mega pun turut terbawa suasana yang membuat mereka berdua ikut hanyut tertawa lepas dan terpingkal. Banyak guyon dan sindiran politik yang humoris dan mengundang gelak tawa hadirin. Walau tiga jam pertunjukan yang terlalu panjang ini, lambat laun terasa meletihkan.
Dari awal semua yang hadir memang tertawa renyah dan lepas, kecuali satu orang yang lebih banyak mesam-mesemnya ketimbang tertawa lepas terbahak gembira. Siang itu pak Jusuf Kalla (JK) mungkin sedang banyak pikiran sehingga tidak terlalu tertarik untuk berjamaah melepas tawa yang membahana memenuhi gedung bersama penonton lainnya. Termasuk penonton di sampingnya, Jokowi dan Mega. Sehingga belum lagi selesai jalannya pertunjukan yang baru berjalan memasuki jam kedua, JK tampak pamit dan lengser dari tempat duduknya meninggalkan gedung pertunjukan.
Mengapa JK begitu cepat meninggalkan gedung pertunjukan? Asumsi pertama, lewat amatan yang memperhatikan Beliau dari kejauhan, pastinya ada urusan atau tugas lebih penting yang harus Beliau kerjakan. Kemungkinan kedua, bisa jadi kondisi kesehatan yang mengharuskan ia pulang untuk beristirahat. Sedangkan asumsi ketiga, JK meninggalkan pertunjukan karena lakon yang mengambil tema ‘Kebenaran Pasti Menang’ penuh dengan sindiran politik yang cukup menyengat, untuk tidak dikatakan vulgar!
Bagi yang menonton, mayoritas pendukung fanatik Jokowi, guyon dalam bentuk sentilan politik yang dilakukan oleh tokoh ‘Perdana Menteri’ dalam lakon tersebut, memang cukup menggiring imaji penonton bahwa tokoh yang disentil adalah JK. Siapa lagi tokoh yang digambarkan sebagai figur yang selalu tampil pertama saat bencana alam terjadi kalau bukan JK? Ketidaksinkronan antara pilihan JK dan Jokowi dalam menjatuhkan pilihan siapa yang dijagokan merebut kursi nomor 1 DKI, pun diundang kembali ke dalam memori di benak penonton. Ditambah pula, figur pendamping Raja ini digambarkan sebagai manusia penuh intrik dan licik.
Membaca dari kacamata yang tidak polos, apalagi memakai kaca pembesar politik, wajar saja bila JK gerah dan memilih untuk ‘pamit’. Sebagai penonton yang juga menonton dengan memakai kacamata politik, pada adegan awal memang sarat dengan sindiran yang ditujukan kepada figur tertentu. Dari konstelasi politik istana, figur tersebut lebih mirip dengan figur dan posisi JK. Walau bisa juga sutradara dan penulis skenario tidak bermaksud demikian. Murni hanya sebatas melepas canda mengundang tawa.
Sialnya, pertunjukan yang dirancang untuk sebanyak mungkin mengundang tawa penonton, melupakan satu hal penting, bahwa para penonton 90 persen terdiri dari insan politik. Ditambah pula penonton memastikan bahwa penulis skenario dan sutrada pementasan tersebut bukanlah orang bodoh. Sehingga seluruh guyon politik yang terkemas dengan baik, tak luput dari desain politik di bawah alam sadar maupun kesadaran sang penulis naskah. Dalan alur pikir ini, wajar bila JK memilih pamit awal meninggalkan pertunjukan. Mata orang Jawa yang menyaksikan ini semua pun berkomentar…”Waduh, ngono yo ngono neng ojo ngono ah, mas Agus Noor. Ini kan hari ulang tahun Bu Mega..!”
Setelah JK ‘lengser’, pembicaraan pun beralih ke masalah tema lakon yang berjudul ‘Satyam Eva Jayate’…Kebenaran pasti menang. Ketika dikaitkan dengan kondisi objektif PDIP sebagai partai penguasa sekaligus partainya wong cilik, jargon ‘Kebenaran pasti menang’pun, dilanjutkan dengan tambahan komentar…”Memang kebenaran pasti menang, tapi tetap saja PEMBENARAN juaranya!” Dikembangkan dalam bahasa politik, Menang belum tentu berkuasa. Dan Berkuasa belum tentu memberi kemenangan bagi rakyat!
Terlepas dari catatan kecil di atas, membudayakan seni pertunjukan sebagai media suguhan dalam agenda merayakan ulang tahun, cukup simpatik dan lebih terkesan berbudaya ketimbang jrang, jreng, jrong dan berdansa ria.
Selamat ulang tahun, Mbak Mega. Semoga bertambahnya umur menambah kearifan dan kesehatan lahir batin. Amin. (Disarikan dari tulisan jurnalis senior Eros Djarot dari situs watyutink.com)