Untuk Kepentingan Umum

Gagarin, Sang Wartawan Pejuang

Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan bisa dikatakan partai mapan yang telah jatuh bangun menghadapi pergolakan. Partai yang berdiri sejak 45 tahun lalu ini merupakan fusi dari sejumlah partai berbasis nasional, seperti PNI, Partai Katolik dan lain sebagainya. PDI Perjuangan mewarnai politik di negeri ini. Sejak Orde Baru tengah kuat-kuatnya hingga runtuh, PDI Perjuangan tidak pernah runtuh, malah kian matang.

Kini PDI Perjuangan dikenal partai penguasa lantaran kadernya Joko Widodo menjadi presiden. Puasa 10 tahun berbuah manis saat mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut menduduki orang terkuat di republik ini. Kini setahun jelang pemilu legislatif dan presiden, PDI Perjuangan kembali diuji. Apakah mandat rakyat yang memberikan kekuasaan bisa diteruskan. Atau sebaliknya, kursi nomor satu akan lepas.

Cerita mengenai PDI Perjuangan memang cukup unik. Ada kisah Bung Karno di dalam partai tersebut. Melihat Ibu Megawati konon kita melihat rasa Ir Soekarno. Hal ini bukan cerita biasa. Maklum jika dalam kosmologi Jawa kita bisa melihat aura Soekarno yang hadir dalam diri Megawati.

Indonesianis Ben Anderson dalam bukunya “Imagined Communities” mengisahkan tentang bagaimana pancaran Soekarno yang jatuh ke Megawati bukan tanpa sebab. Konon ketika 17 Oktober 1952 ketika ada kesalahapahaman dengan petinggi Angkatan Darat, moncong meriam di arahkan ke Istana. Konon saat kejadian itu, Bung Karno tengah ditemani Megawati. Nah, pancaran karisma ini yang diturunkan. Artinya ketika sang bapak tengah dalam kesukaran dan kebetulan sang anak ada didekatnya, karisma tersebut secara tidak langsung menurun.

Selain cerita itu. Ada juga kisah mengenai Menteri Agama era Soekarno, KH Wahid Hasyim. Pada 1953 ia mengalami kecelakaan di Puncak, Bogor, hingga menyebabkan putra dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hasyim Asyari ini meninggal dunia. Saat itu yang menemaninya sang anak, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Aura Wahid Hasyim turun ke sang putra sulung. Puluhan tahun berselang sang anak menjadi orang nomor satu di republik ini. Itu kisah aura, kharisma yang biasanya ramai dibicarakan jelang kontestasi politik.

Apalagi sekarang tahun politik. Tahun pemilihan. PDI Perjuangan kini tengah bersiap-siap menghadapi pemilu.
Saat DPC PDI Perjuangan Kota Tangsel menggelar wayang kulit di Bintaro, Pondokaren, Kota Tangsel akhir Januari 2018, sebagai bagian perayaan HUT partai ke-45, Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto yang turut hadir kembali mengingatkan hal itu.

Hasto meminta kadernya untuk mendengar keluhan rakyat, dekat dengan rakyat, jangan elitis. Ia berkali-kali menegaskan agar elite partai tidak berdiam diri. Tetapi turun ke masyarakat. Perhatikan kader yang di tingkat ranting hingga anak ranting. Sebab mereka lah yang merasakan denyut rakyat sesungguhnya.

Ia bahkan meminta para elite untuk bertaubat bagi yang tidak pernah turun ke lapangan, ke massa rakyat. Waktu tiga bulan diberikan olehnya agar elite bisa berbenah. Bila masih bersikap elitis jangan berharap dapat menjadi calon anggota legislatif.

“Sudah bukan zamannya petinggi partai bersikap elitis, jauh dari massa rakyat. Seluruh kader harus merakyat, bersinggungan dengan kader di tingkat ranting dan anak ranting karena dari mereka kita bisa tahu apa yang rakyat rasakan,” kata Hasto dengan suara getar.

Ia pun menitip kader PDI Perjuangan Kota Tangsel untuk terus terjun bersama rakyat, menangis bersama rakyat, susah serta senang bersama rakyat. Karena hal itu yang harus dilakukan. Tidak bisa tidak.
Secara spesifik ia juga memuji Ketua DPC PDI Perjuangan Heri Gagarin yang dianggapnya sebagai wartawan pejuang. Bagi Hasto, Heri bukan sekadar wartawan tetap tahu AD/ART PDI Perjuangan. Tahu seluk beluk partai dan lain sebagainya.

Kata Hasto, ketika PDI Perjuangan ditekan penguasa Orde Baru, Heri tahu dan paham bagaimana perjuangan yang dilakukan oleh petinggi partai. Maka itu, sudah seyogyanya ia bisa merumuskan ataupun membumikan cita-cita yang termaktum dalam PDI Perjuangan.

Ya, Heri merupakan wartawan senior yang hadir saat masa represif Orde Baru, saat reformasi, hingga sekarang. Ia sudah berdinamika dengan elite-elite partai ataupun petinggi negara. Dinamika itu harusnya dijadikan spirit untuk diserap saat ini. Bagaimana terlibat aktif dalam politik untuk kemudian bersama-sama mensejahterakan rakyat.
Ia pernah bekerja sebagai wartawan di harian Merdeka, kemudian Rakyat Merdeka, dan kini Berita Satu, tentu Heri sudah paham sisi jurnalistik.

Ya, Heri bukan wartawan biasa. Ia bukan wartawan yang tidak hanya menulis, tapi juga memiliki kepekaan sisi kemanusiaan. Sisi massa rakyat. Nah, ketika didaulat untuk memimpin partai tentunya ia sudah bisa bagaimana mengimplementasikan gagasan-gagasan partai untuk kemudian diserap kepada rakyat. PDI Perjuangan merupakan partai wong cilik, partai rakyat.

Apalagi ia juga pernah bercerita bagaimana setiap hari terus terjun ke lapangan. Mendengarkan aspirasi kader hingga tingkat anak ranting. Curahan hari rakyat ini bisa mewakili rasa rakyat secara keseluruhan. Baginya dengan mengetahui apa yang rakyat rasakan, akan menambah spiritnya untuk berjuangan mensejahterakan rakyat. Dari cerita rakyat ini, gagasan akan hadir untuk bisa diimplementasikan dalam setiap kebijakan partai.

Ia pun paham akan hal itu. Bisa bersinggungan dengan rakyat kecil hingga elite di negeri ini merupakan satu modal. Apalagi Heri juga menulis buku tentang Ketua Umum Megawati Soekarno Putri. Jadi ia bisa tahu juga apa cita-cita putri Proklamator ini.

“Sebagai wartawan pejuang tentunya bung Heri tahu bagaimana memperjuangan rakyat, ia tahu bagimana rasa rakyat, tahu bagaimana suara rakyat,” kata Hasto.

Oleh karena itu ketika ditunjuk ibu Ketua Umum menjadi Ketua DPC Kota Tangsel, Heri tahu apa yang harus dilakukan, apa yang harus diperjuangkan, dan seterusnya. Ia menitip pesan untuk hormat kepada senior partai karena itu sudah menjadi tradisi yang ada di PDI Perjuangan.

“Ini yang harus kita lakukan, tidak boleh tidak. Hormat kepada senior adalah bagian dari tradisi. PDI Perjuangan adalah partai wong cilik, yang akan terus berjuang untuk kesejahteraan rakyat. Menangis dan tertawa bersama rakyat. Saya yakin bung Heri bisa melakukan hal tersebut,” imbuhnya.

Maka itu, ketika digelar wayang kulit itu bagian dari tradisi membumikan Pancasila. Wayang merupakan sebuah peradaban, sebuah kebudayaan, sebuah keberagamaan. Lewat wayang juga penyebar agama islam menggunakan medium ini. Dari kesenian ini dikenalkan nilai-nilai islam. Sejarah pun mencatat hal bagaimana penyebaran islam pertama kali di nusantara. Nah, itu yang harus juga diketahui oleh generasi muda bagaimana kesenian merupakan bagian dari Indonesia.

Negara besar yang beragam ini. Negara yang memiliki ratusan suku bangsa. Negara yang memiliki ratusan bahasa dengan pelbagai agama. Ini sebuah anugerah yang harus terus dipelihara agar ke depannya Indonesia makin jaya, makin hebat, makin kuat dan makin disegani oleh bangsa lain.

Kata Hasto, PDI Perjuangan akan terus menjaga marwah tersebut. Menjaga keberagaman yang memang menjadi nilai lebih yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Ia yakin dengan segala upaya yang sudah dilakukan, bangsa ini akan terus besar, akan terus jaya. (firda)

Berita Lainnya
Leave a comment