RESPUBLIKA.ID – Pemerintah Kota (Pemkot) Tangsel telah merampungkan ratusan produk hukum selama tahun 2021.
Produk-produk hukum itu terdiri dari 9 Peraturan Daerah (Perda), 54 Peraturan Walikota (Perwal), dan 425 Keputusan Walikota (Kepwal).
“Sebenarnya pengajuan dari perangkat daerah pemrakarsa jauh lebih banyak dari itu, karena kami sebagai bagian hukum mempunyai tugas melakukan harmonisasi, sinkronisasi, pembulatan dan pemantapan konsepsi, Jadi banyak juga yang dikembalikan,” kata Kepala Bagian Hukum Sekretaris Daerah (Setda) Kota Tangsel, Mohammad Ervin Ardani, ditulis Senin (21/3/2022).
Dikembalikannya usulan itu, kata Ervin, disebabkan lantaran banyaknya produk hukum yang berada di luar kewenangan, maupun juga tidak diperlukan dan cukup dengan keputusan Setda.
“Banyak perangkat daerah pemrakarsa mengajukan rancangan produk hukum yang ternyata bukan kewenangan kita, atau pun ternyata tidak memerlukan produk hukum daerah, tapi cukup dengan keputusan Kadis atau keputusan Setda,” ucapnya.
Dalam proses membuat produk hukum, Ervin menuturkan, memerlukan waktu yang panjang, hingga usulan produk hukum itu dapat diundangkan.
Pasalnya, dalam proses itu melibatkan banyak pihak dan juga prosedur sesuai aturan yang berlaku. Seperti halnya membuat satu Perda.
Kata dia, yang pertama harus membuat Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda). Dalam proses ini, bagian hukum membuat pemberitahuan kepada kepala perangkat daerah, untuk menginventarisasi Peraturan Perundang-undangan mana yang menjadi dasar pembuatan sebuah Perda.
“Nah nanti mereka mengusulkan hanya judul. Nanti kepala perangkat daerah akan mengusulkan judulnya, berdasarkan oh Undang-Undang ini meminta daerah atau mendelegasikan dalam bentuk Perda. Nah itu di perencanaan namanya penyusunan Propemperda,” tuturnya.
Usai perencanaan dalam Propemperda di jajaran eksekutif, kata Ervin, Propemperda itu dibahas bersama DPRD untuk menjadi, Propemperda tingkat daerah.
Kemudian, berdasarkan Propemperda itu, perangkat daerah pemrakarsa menyusun isi Perda, baik menggunakan naskah akademik maupun keterangan.
“Jadi penyusunan itu tanggung jawabnya ada di pemrakarsa, kalau dia nyusun Perda boleh menggunakan naskah akademik, boleh menggunakan keterangan.
Naskah akademik itu tidak wajib, tapi sunah, banyak yang kita buat juga yang tidak menggunakan naskah akademik, karena kalau pakai naskah akademik butuh waktu lama dan anggaran lagi, sementara seringkali Raperda itu dibutuhkan dalam waktu cepat, sehingga teman2 berfikir lebih efektif menggunakan penjelasan atau keterangan saja,” ungkapnya.
Selanjutnya, Ervin mengatakan, Kepala Perangkat Daerah pemrakarsa barulah menyusun naskah Raperda, penjelasan hingga pasal-pasal yang akan dituangkan di dalamnya.
Di situ, pemrakarsa dapat mengundang pihak-pihak terkait untuk membahas Raperda yang diusulkan untuk kemudian disampaikan kepada Walikota.
“Setelah itu, Walikota menyampaikan permohonan harmonisasi kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Ham Provinsi Banten, berdasarkan harmonisasi tersebut, Walikota melalui tim pembahas menyempurnakan Raperda dan selanjutnya disampaikan kepada Ketua DPRD,” katanya.
Dalam proses pembuatan produk hukum, Ervin mengungkapkan, Tangsel memiliki muatan lokal. Sebelum diserahkan kepada DPRD, Raperda itu dibahas pada Rapat Pimpinan (Rapim), sebagai bentuk sosialisasi dan juga tempat memberikan kritik serta masukan.
Setelah itu, barulah Walikota menyampaikan surat ke DPRD untuk menjadwalkan rapat paripurna Raperda.
“Kemudian dewan akan menjadwalkan nanti dalam Paripurna ke 1,2,3,4 menyesuaikan dengan jadwal dewan dan harus dirapatkan dalam Badan Musyawarah (Bamus), terus biasanya Ketua DPRD menyampaikan ke Bapemperda untuk melaksanakan rapat dengan tim pembahasan Raperda atau pemrakarsanya,” ungkapnya.
Jika Raperda itu dilanjutkan, Ervin mengatakan, DPRD akan membentuk Panitia Khusus (Pansus) pembahasan Raperda. Usai dirapatkan Pansus, barulah Raperda itu disampaikan kepada Gubernur melalui biro hukum untuk difasilitasi.
“Setelah itu akan keluar surat dari Setda Provinsi, hasil fasilitasi, disuruh perbaikin, dan sebagainya. Nah berdasarkan hasil fasilitasi itu, disempurnakan oleh Pemkot dan DPRD. Setelah disempurnakan kemudian dewan akan menjadwalkan Paripurna ke empat untuk persetujuan bersama. Itu kalau disetujui, atau persetujuan dengan catatan, atau ditolak,” ungkapnya.
Jika Raperda itu disetujui, kemudian dilakukan penandatanganan berita acara persetujuan bersama ketua DPRD, dan dilanjutkan Walikota untuk mengajukan nomor register kepada Gubernur, agar Raperda itu bisa diundangkan.
“Setelah selesai, paling lambat 3 hari Ketua DPRD menyampaikan Raperda yang disetujui itu ke Walikota. Berdasarkan penyampaian dewan, Walikota mengajukan lagi ke Gubernur, minta nomor register, kalau engga ada nomor register, engga bisa diundangkan,” ujarnya.
Setelah proses panjang itu, Ervin menambahkan, Walikota menandatangani Perda (menetapkan), kemudian diundangkan oleh Setda.
Lalu, kata dia, Perda tersebut diberikan nomor, tanggal dan diautentifikasi oleh bagian hukum, untuk bisa dipublikasi.
“Jadi kalau mau lihat peraturan yang sudah berlaku, lihat tanggal pengundangannya kapan, karena berlakunya peraturan itu saat pengundangan bukan saat penetapan. Setelah diundangkan Setda, turun ke bagian hukum, bagian hukum punya tugas ngasih nomor, tanggal, mengautentifikasi. Karena produk hukum yang boleh di publish adalah yang sudah di autentifikasi,” pungkasnya.(Adv)