Gas melon 3 kilogram akhir-akhir ini menjadi isu hangat. Musababnya, pembatasan penyaluran gas melon ke pedagang eceran. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memberlakukan larangan distribu gas 3 kilogram sampai ke eceran. Akibatnya, terjadi anteran panjang di sejumlah pangkalan gas karena gas melon tidak ada di pedagang eceran.
Jagad dunia maya heboh. Kritik mengemuka karena pemerintah dinilai serampangan melakukan kebijakan. Tidak ada namanya sosialisasi terlebih dahulu. Pasar kemudian terguncang. Menteri Bahlil sampai dipanggil presiden untuk menjelaskan kenapa gas melon bisa sulit didapatkan warga.
Bahkan, Wakil Ketua DPR-RI yang juga ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad sampai harus klarifikasi kalau kebijakan gas melon 3 kilogram bukan instruksi presiden. Kata Dasco, aturan tersebut inisitif menteri terkait, dalam hal ini Bahlil Lahadalia.
“Kebijakan larangan gas 3 kilogram, itu bukan perintah presiden. Namun karena ada kehebohan di masyarakat presiden turun tangan dan memerintahkan pembenahan kebijakan tersebut,” kata Dasco saat ditanya masalah gas melon 3 kilogram.
Dampak dari kehebohan tersebut, Bahlil lalu dipanggil presiden. Tak lama berselang pemerintah bikin aturan baru. Gas melon akan sampai ke pengecer dengan catatan, penjual harus menjadi sub pangkalan. Persyaratan administrasi kemudian harus dipenuhi terlebih dahulu.
Pemerintah beralasan, aturan baru distribusi gas melon ini untuk memudahkan masyarakat agar harganya terjangkau dan tidak terlalu jauh dari yang ditetapkan Pertamina. Ambil contoh, dari Pertamina harga Rp12 ribu, ke pangkalan Rp16 ribu, lalu sampai eceran Rp19 ribu. Nah, sampai pembeli bisa Rp25 ribuan. Perbedaan harga yang terlampau jauh ini yang membuat pemerintah ingin melakukan pembenahan.
Bahlil beralasan subsidi gas banyak yang bocor. Misal, pada 2018, subsidi gas 6,45 juta metrik ton, lalu pada 2024 naik menjadi 8,2 juta metrik ton. Tahun ini katanya bisa mencapai 8,17 juta metrik ton.
Mantan menteri investasi juga bicara soal subsidi untuk elpiji 3 Kg itu sebesar Rp 12 ribu per kilogramnya. Satu tabung berisi 3 kilogram berarti subsidi yang diberikan Rp 36 ribu per tabung.
Bila kemasan 12 kg dijual dengan harga sekitar Rp250 ribuan, maka harga perkilonya sekitar 20 ribu rupiah. Harga normal gas elpiji 3 kg sekitar Rp60 ribu. KPK akhir tahun lalu menyatakan, terjadi kebocoran sebesar Rp14 triliun setahun untuk subsidi listrik dan ketidaktepatan sasaran subsidi LPG 3 kg sebesar Rp50 triliun atau lebih dari separuh subsidi. (tempo.co)
Atas dasar itu, menteri ESDM memberlakukan aturan pendistribusian gas melon harus melalui sub pangkalan dengan beberapa persyaratan. Jadi pengecer mau tidak mau harus menjadi sub pangkalan jika ingin berjualan gas.
Sayangnya, pola komunikasi yang dibangun jauh dari kata laik. Masa kebijakan yang langsung dirasakan warga ini dikelola seolah tanpa perencanaan matang. Tidak ada sosialisasi, tiba-tiba aturan diberlakukan. Lalu rakyat heboh. Antrean orang beli gas terjadi dimana-mana. Bahkan ada korban jiwa di Pamulang akibat antri beli gas.
Tanpa Sosialisasi
Kasus gas melon ini menunjukkan bagaimana pemerintah tidak peka terkait dinamika masyarakat. Kebijakan diambil tanpa melalui kajian mendalam. Serta efek yang ditimbulkan. Harusnya jika bikin kebijakan yang langsung berdampak pada masyarakat, diawali dengan sosialisasi lebih dahulu. Sama seperti makan bergizi gratis (MBG) yang sudah disosialisasikan beberapa bulan lalu; itu pun hasilnya belum sepenuh maksimal. Banyak kritikan yang terjadi, mulai penyajian hingga biaya yang dikeluarkan.
Aturan distribusi gas melon langsung dieksekusi tanpa pemberitahuan lebih dulu menujukkan kegagapan pemerintah merespon publik. Juga tidak berkaca dari pengalaman sebelumnya. Seolah-olah pemerintah tutup mata dan berjudi dalam kebijakan ini.
Imbasnya, kritik ramai-ramai disampaikan lewat jagad media. Setelah ramai baru kemudian ada koreksi pemerintah. Insiden ini harusnya tidak boleh terjadi jika perencanaan sosialisasi digarap secara matang.
Kondisi ini yang membuat kita bertanya bagaimana pengelolaan komunikasi dibangun pemerintah dengan pola serupa. Koreksi terjadi ketika ada kritik. Gambaran antrian gas melon, warga bawa gas melon, sampai terjadinya korban akibat kebijakan tersebut.
Hal ini disayangkan karena pemerintah dalam menjalankan kebijakannya seperti dilakukan serampangan. Ramai dulu; baru ada evaluasi. Dalam kacamata ranah kebijakan tidak bagus karena akan menurunkan citra pemerintah.
Apalagi pemerintahan baru ini usinya menginjak 100 hari. Bisa dibilang tiga bulan pertama sudah banyak hebohnya. Dari masalah Menteri Desa, permintaan kenaikan anggaran Menteri HAM, mobil RI 36 yang bikin heboh, hingga masalah gas ini.
Seratus hari pemerintahan Prabowo sudah banyak hiruk pikuk dan keramaiannya. Hal ini harus menjadi evaluasi dan pembenahan agar kejadian tersebut tidak berulang kembali.
Ini yang perlu dilakukan presiden jika ingin roda pemerintahannya tidak ‘diganggu’ masalah-masalah yang akan menurunkan citranya dimata publik. Gas melon menjadi evaluasi agar ke depannya kebijakan tidak dilakukan seolah tanpa perencanaan. Jangan sampai gara-gara melon citra Prabowo jatuh. Gas melon oh gas melon, bikin heboh saja. (*)