Untuk Kepentingan Umum

Setiadjit Soegono, Orang Kiri yang Terlupakan

Para aktivis masa pergolakan kemerdekaan, banyak lahir dari kaum berada. Maklum untuk bisa mengakes pendidikan hanya segelintir orang. Itupun dari kelas atas yang memiliki akses. Mereka anak bupati, ningrat dan sejenisnya. Salah satunya adalah Setiadjit Soegono. Bersekolah adalah tujuan utama dikirimnya Setiadjit Soegondo ke Belanda pada 1927. Dia tiba bersama Soedrio Miewalladi. Keduanya dari keluarga berada. Soedrio anak dokter Jawa dan Setiadjit anak Bupati. Keduanya lulusan sekolah menengah elit yang cuma sedikit jumlahnya di Hindia Belanda.

Mereka juga pernah aktif dalam Perhimpoenan Indonesia (PI). “Tahun 1929-1930 Setiadjit kebanyakan berada di Berlin,” tulis Harry A. Poeze dkk dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008).

Tak banyak catatan tentang latar belakang Setiadjit. British documents on foreign affairs: reports and papers from the Foreign Office confidential print. From 1946 through 1950. Asia 1947. Japan and China, January 1947-December 1947 (Bagian 4, Volume 3, 2001), menyebut, dia “lahir tahun 1910 dari keluarga Aristokrat.”

Sementara Jennifer L. Foray dalam Visions of Empire in the Nazi-Occupied Netherlands (2011), menyebut usianya sudah 20 tahun ketika tiba di Belanda. Jadi dia lahir tahun 1907. Diperkirakan, dia lulusan sekolah menengah elit Hogere Burger School (HBS). Hanya anak-anak Belanda dan anak penggede pribumi seperti ayah Setiadjit yang bisa sekolah di sana. Foray juga menyebut Setiadjit kuliah teknik di Delft.

Menjadi Aktivis di Negeri Kincir Angin

Di Belanda, Setiadjit muda segera membangun reputasi sebagai mahasiswa yang mudah bergaul. “Setiadjit adalah mahasiswa yang malas dan kesenangannya pergi ke klub malam (sampai 1935),” tulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948 (1997). Kalau pemuda yang doyan dugem ini sedang bokek, maka malaikat penolongnya adalah kawan-kawan sesama komunis macam Abdulmadjid.

“Pengkomunisan Setiadjit berjalan lama dan perlahan-lahan,” tulis Hok Gie. Abdulmadjid lah yang pelan-pelan memengaruhinya. Seperti Setiadjit, Abdulmadjid juga anak bupati, dan juga anak tiri dari R.A. Kartini.

Setiadjit pernah dikirim ke Berlin untuk bergiat di Liga Anti Imperialis. Dia cukup berpengaruh di kalangan mahasiswa dan buruh-buruh kapal Indonesia. Anak bupati ini juga pernah jadi Ketua PI sejak 1933. Namun, karena sakit pada 1935, dia harus ke Swiss dan baru kembali tahun 1937. Mulai 1938, dia aktif lagi di PI. Setiadjit juga berafiliasi dengan Communist Partij Nederland (CPN).

Pada Agustus 1939, Setiadjit menjadi salah satu delegasi dalam Congress of World Student Assembly di Paris. Di situ, dia berkenalan dengan Eric Hobsbawm muda. Kelak, Eric kondang di seluruh dunia sebagai sejarawan Marxis Inggris terbesar abad ke-20.

Dalam otobiografinya, Interesting Times: A Twentieth-Century Life (2002), Eric mengenang bagaimana sosok Setiadjit sembari memandangi foto kenang-kenangan kongres Paris itu. “Di situ, di antara kelimun wajah-wajah muda yang terlupakan, tampak seorang Jawa nan tampan bernama Satjadjit Soegono, yang kelak menjadi pemimpin serikat buruh terkemuka di Indonesia setelah perang sampai ia terbunuh dalam pemberontakan komunis Madiun 1948” (hlm. 125).

Ketika Jerman menduduki Belanda pada 10 Mei 1940, Setiadjit masih di situ. Ratu Wilhelmina dan jajaran pemerintahannya, sementara itu, kabur ke Inggris. Setiadjit termasuk pemimpin orang-orang Indonesia dalam kelompok perlawanan anti-Jerman, Vrije Nederland (Pembebasan Belanda), dalam front Eropa Perang Dunia II.

Dia sering bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain agar terhindar dari deteksi tentara Jerman. Setiadjit, menurut majalah Indonesia (24/11/1945), “menjadi tokoh yang banyak dicari oleh Sicherheits Dienst (Dinas Keamanan Jerman).”

Suatu kali pada 1940, Setiadjit pernah bilang: “Ini bukan perang demi demokrasi, demi melindungi bangsa-bangsa kecil dan lemah, demi kemerdekaan, dan juga bukan perang semata-mata, melainkan perang kaum imperialis untuk membagi ulang dunia.”

Keterlibatannya melawan Jerman dia lakukan bukan untuk Ratu Wilhelmina dan kerajaan-kerajaan Belanda. Dia hanya solider pada kawan-kawan dan rakyat Belanda—yang tidak ada sangkut pautnya dengan kolonialisme ratusan tahun negeri itu di Indonesia.

Dalam tulisannya yang berjudul “De Toestand” (keadaan), yang dirilis majalah stensilan PI, Setiadjit menyebut: “Dengan larinya pemerintah itu sekarang, maka ia telah menyatakan dirinya di luar hukum […] dengan demikian pemerintah Belanda secara formal dan moral telah kehilangan hak untuk memerintah kita.”

Kerajaan Belanda dianggap telah berakhir statusnya sebagai penguasa Hindia Belanda. Inti menarik bagi orang-orang Indonesia dari tulisan itu adalah: “Dengan terjadinya perubahan yang radikal atas keadaan ini, maka berubah juga status Indonesia.”

Selesai perang, Setiadjit bersama Nazir Pamoentjak diangkat menjadi anggota Staten General (parlemen Belanda) sebagai wakil dari PI. Bedanya, Nazir di Majelis Tinggi (Eerste Kamer) dan Setiadjit di Majelis Rendah (Tweede Kamer).

Di Belanda, Setiadjit kawin dengan Elly Soumokil, perempuan berdarah Ambon yang juga sekolah di situ. Mereka akhirnya pulang ke Indonesia pada 25 April 1946.

Sampai di Indonesia, Setiadjit sempat aktif di Partai Buruh Indonesia (PBI). Orang-orang dari partai ini banyak juga yang masuk Partai Komunis Indonesia (PKI). Setiadjit pun ikut masuk pemerintahan. Dia adalah Menteri Muda Perhubungan dalam Kabinet Sjahrir III. Setelahnya, selama Amir Sjarifuddin jadi Perdana Menteri, Setiadjit adalah Wakil Perdana Menteri. Baik dalam Kabinet Amir I maupun II.

Sebagai orang yang pernah jadi anggota parlemen di Belanda, muncul omongan-omongan miring tentang Setiadjit. Seperti ditulis dengan sinis di brosur Murba (3-4/04/1948), yang dikutip juga oleh Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 3: Maret 1947-Agustus 1948 (2010), “Setiadjit dikirim ke Indonesia sebagai pelopor dari Komisi Jenderal, sebagai duta dari politik imperialis. Herankah kita kalau hidupnya Setiadjit, sesudah perang ini mendadak menjadi mewah-mewah? Herankah kita kalau istrinya satu-satunya orang Indonesia yang diperbolehkan menumpang kapal pesiar […] lux (mewah) dari Nederland ke Indonesia ini?”

Brosur Murba itu dirilis kelompok komunis jaringan Tan Malaka yang bersilang jalan dengan PKI pimpinan Moesso dan Amir, di mana Setiadjid tergabung di dalamnya. Setelah kabinet Amir jatuh, dan Amir terlibat petualangan di Madiun dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 1948, Setiadjit pun kena sikat. Tak hanya ikut ditangkap, tapi juga dihukum mati bersama Amir di akhir 1948.

Sumber: Tirto.id

Berita Lainnya
Leave a comment