Untuk Kepentingan Umum

Jejak Yahudi di Nusantara

Jejak komunitas Yahudi di Indonesia memang tampak samar-samar. Selain tidak dikenali secara luas dan pasti, kelompok ini seperti ada dan tiada. Sejarah kelam yang mengiringi komunitas Yahudi di berbagai belahan dunia, menimbulkan keengganan bagi komunitas itu untuk tampil di muka publik. Sebagian besar orang Yahudi yang datang ke Indonesia berasal dari Belanda, Timur Tengah, dan Afrika bagian Utara. Namun yang masih bertahan hingga sekarang adalah yang berasal dari Belanda.

Sebagian peneliti menduga kehadiran orang Yahudi di Indonesia sudah ada sejak 1290. Mereka adalah saudagar dari Fustat, Mesir, yang berdagang di Barus, Sumatera Utara. Begitu kata Profesor Rotem Kowner dari Universitas Haifa, Israel, yang menulis soal Yahudi di Indonesia. Menurut Kowner, komunitas Yahudi di Hindia Belanda beranggotakan para pegawai pemerintah kolonial dan saudagar. Mereka menetap di sekitar Selat Malaka, pantai utara Sumatera, dan Pulau Jawa.

Kedatangan orang-orang Yahudi ke Indonesia terus berlangsung seiring masuknya dua perusahaan Belanda: the Dutch East India Company (VOC) dan the Dutch West Indian Company (WIC) pada 1602. Salah satunya, prajurit Belanda kelahiran Ukraina, Leendert Miero (1755-1834), tiba pada 1775. Dia menjadi tuan tanah di Pondok Gede (sekarang daerah perbatasan antara Jakarta Timur dan Bekasi).

Setelah itu muncul Jacob Saphir (1822-1886), mampir selama tujuh pekan dalam perjalanannya ke Australia pada 1861. Pelancong Yahudi keturunan Rumania ini melaporkan terdapat sejumlah orang Yahudi di Batavia, Surabaya, dan Semarang. Namun tidak ditemukan komunitas Yahudi.

Saphir mencatat terdapat sedikitnya 20 keluarga Yahudi di Batavia merupakan keturunan Belanda dan Jerman. Mereka berprofesi sebagai pedagang, pegawai pemerintah, dan serdadu Hindia Belanda. Namun tidak ada sinagoge atau kuburan khusus orang Yahudi saat itu.

Di akhir abad ke 19, juga datang sekelompok Yahudi berdarah Jerman. Seperti dilansir Jewishvirtuallibrary.org, perkembangan Yahudi makin meningkat pada tahun 1870. Saat itu, komunitas Yahudi Amsterdam mengirim seorang rabi (para pemuka agama Yahudi) ke Indonesia. Rabi dikirim ke Indonesia untuk mengorganisir komunitas Yahudi di Indonesia.

Kemudian, pada 1921, penyandang dana Zionis, Israel Cohen, mendarat di Jawa dalam kunjungan lima hari. Dia memperkirakan saat itu terdapat sekitar dua ribu orang Yahudi tinggal di Pulau Jawa.

Kaum Yahudi di Indonesia ini terdiri dari tiga golongan. Pertama, orang-orang Yahudi berkewarganegaraan Belanda dipekerjakan oleh pemerintah kolonial sebagai penjaga toko, tentara, guru, dan dokter. Kelompok kedua adalah Yahudi Bagdadi berasal dari Irak, Yaman, dan negara lain di Timur Tengah. Mereka kebanyakan tinggal di Surabaya dan bekerja sebagai pengusaha ekspor-impor, penjaga toko, pedagang asongan, serta tukang kayu dan batu. Golongan ketiga adalah Yahudi pengungsi lari dari kejaran Nazi. Mereka dari Jerman, Austria, dan Eropa Timur.

Yahudi Bagdadi dikenal religius, bahkan banyak yang ultraortodoks. Sedangkan Yahudi Belanda sering berasimilasi walau tetap menjaga tradisi Yahudi. Beberapa di antaranya menyembunyikan identitas Yahudi mereka dan menikah dengan perempuan Kristen Eropa atau gadis Indonesia. Secara ekonomi, orang-orang Yahudi ini hidup makmur. Mereka mempekerjakan orang-orang asli Indonesia sebagai pembantu, tukang masak, dan sopir.

Catatan keberadaan komunitas Yahudi di Hindia Belanda berlanjut hingga periode pendudukan Jepang. Kala itu, jumlah keturunan Yahudi turun drastis akibat penangkapan dan penyiksaan Jepang yang didahului permintaan khusus Partai Nazi Jerman. Angka itu terus merosot seiring kebijakan dan peristiwa politik yang bermunculan di Indonesia.

Nasionalisasi segala sesuatu yang berbau asing oleh Presiden Soekarno di awal dekade 1950-an memantik migrasi besar keturunan Yahudi dari Indonesia. Di tambah penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama tidak memasukkan Yudaisme sebagai satu dari enam agama yang difasilitasi pemerintah.

Orang Yahudi di Indonesia

Namun, pada akhir tahun 1960-an, menurut Kongres Yahudi Sedunia, populasi Yahudi di Indonesia diperkirakan ada 20 orang Yahudi asli yang tinggal di Surabaya dan Jakarta. Nenek moyang mereka adalah imigran Yahudi asal Yaman, Irak, Mesir, Iran, India, Inggris, Belanda, Jerman, Austria, Portugis, Spanyol dan Eropa Timur. Serta 500 orang keturunan Yahudi asal Belanda, Jerman dan El Salvador tinggal di Manado dan Tondano. Juga terdapat keturunan dan perkampungan ras Yahudi asli di sekitar wilayah Maluku Utara, Seram, Maluku Tengah (Ambon).

Saat ini, komunitas keturunan Yahudi di Indonesia tidak lagi sekuat masa kolonial. Mayoritas dari mereka telah berimigrasi, sebagian besar menetap di Amerika Serikat, Singapura, Belanda maupun kembali ke Israel. Keturunan Yahudi yang kini menetap di Indonesia diperkirakan jumlahnya sekitar 5.000 orang. Mereka sebagian besar tersebar di Jakarta, Surabaya, dan Manado.

Peninggalan Yahudi Di Tiga Kota Besar

Di Manado, komunitas Yahudi mulai bangkit dengan berdirinya menorah raksasa dan sinagoge di kota Manado, Sulawesi Utara. Sinagoge adalah nama tempat beribadah orang Yahudi, sedangkan Menorah adalah salah satu lambang suci peribadatan Yahudi. Namun yang paling mencolok di daerah ini adalah dibangunnya sebuah menorah raksasa, yang mungkin ukurannya paling besar di seluruh dunia. Sebuah tugu baru menjulang setinggi 62 kaki (19 meter) di sebuah puncak dataran tinggi pinggiran kota Manado.

Tugu Menorah Yahudi di Manado
Bendera-bendera Israel terlihat di pelataran ojek dekat tugu menorah raksasa. Salah satunya terletak di dekat sebuah sinagoge yang dibangun sekitar enam tahun lalu. Bintang daud besar menghiasi langit-langit sinagoge itu. Tugu, sinagoge dan fasilitasnya semua dibangun dengan biaya dari kas pemerintah daerah.

Di Surabaya, puluhan hingga ratusan imigran berlatar belakang Yahudi pernah tinggal di Surabaya pada masa pemerintah kolonial Belanda. Mereka berstatus sebagai pegawai pemerintahan, tentara dan saudagar. Beberapa peneliti Southest Asian Studies memperkirakan sebanyak 500 keturunan Yahudi pernah menetap di Surabaya. Jumlah itu terus menurun seiring penindasan Jepang yang disponsori Jerman, di bawah Partai Nazi.

Kisah naik dan turun kehidupan komunitas itu ditulis kembali oleh seorang keturunan Yahudi yang lahir di Surabaya tahun 1946. Ia adalah Eli Dwek. Eli menuliskan kronik kehidupan keluarganya di Indonesia dalam karya berjudul The Demise of the Jewish Community in Surabaya. Menurut Eli, pada abad ke-19, Surabaya merupakan tempat yang ideal bagi imigran Yahudi. Komunitas Yahudi dapat hidup dengan normal di Surabaya yang berada di bawah kekuasaan Belanda.

Kenyamanan komunitas Yahudi di Surabaya, kata Eli, berakhir ketika Israel dengan Inggris dan Perancis menyerang Mesir pada tahun 1956. Perebutan Terusan Suez yang dikenal sebagai Perang Sinai itu membuat kehidupan komunitas imigran Yahudi itu terusik. Keberadaan komunitas Yahudi di Indonesia mendekati titik akhir ketika Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan nasionalisasi aset asing dan pengambilalihan Irian Jaya (Papua).

Di sisi lain, sekelompok orang yang diistilahkan Eli sebagai preman, memeras komunitas Yahudi yang rentan. “Bahaya mengintai komunitas Yahudi di mana-mana,” kata dia. Maka pada Agustus 1958, banyak orang keturunan Yahudi meninggalkan Indonesia menuju Israel dalam gelombang kepulangan dan pengungsian warga non-Indonesia keluar negeri. Puncaknya, Januari 2009, 21 organisasi masyarakat keagamaan menyerang sinagoge atau tempat ibadah pemeluk Yudaisme di Surabaya. Aksi itu dipicu protes mereka atas serangan Israel ke Palestina.

Sinagoge di Surabaya. (jewishvirtuallibrary.org)
Di Batavia (Jakarta), tujuh kuburan berlambang Bintang David dan berbahasa Ibrani di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Petamburan menjadi bukti kaum Yahudi pernah tinggal dan berbaur dengan warga Kota Jakarta. Di kuburan itu tercatat atas nama Esra Solomon Joseph meninggal tahun 1959, Saul Jacob Aslan meninggal tahun 1959, Sasson Saul Aarun meninggal tahun 1950, J.E Ballas meninggal tahun 1943, Mrs. H. Khaza meninggal di umur 73 tahun, Joshua Moses Garet meninggal 1942, dan satu nisan berbahasa Ibrani yang tidak ada keterangan Latin.

Alwi Shahab, sejarawan Jakarta mengatakan sebelum perang Arab-Israel tahun 1948 warga Yahudi di Jakarta hidup rukun dan melakukan perdagangan. Mereka menurut Alwi bercampur baur dengan warga muslim Jakarta. Apalagi, banyak Yahudi yang di Jakarta berasal dari Timur Tengah. Mereka juga bisa percakapan bahasa Arab. Mereka berdagang dan tidak menyembunyikan identitas keyahudiannya karena mirip dengan bangsa Arab. Bahkan, di Jalan Segara (sekarang jalan Veteran) ada sebuah toko jam milik warga Yahudi.

Keberadaan komunitas Yahudi di Jakarta juga juga tergambar dari salah seorang prajurit Belanda keturunan Yahudi bernama Leendert Miero (1755-1834). Selain menjadi prajurit, dia juga pernah menjadi tuan tanah di Pondok Gede, Bekasi. Nama Pondok Gede pun diambil dari nama kediaman Miero. Kini, bekas peninggalan rumah gedong milik Leendert Miro menjadi sebuah pusat perbelanjaan.

Sekalipun Yahudi telah berjejak lama, namun Indonesia tetap tidak mengakui keberadaan negeri induk para Yahudi, Israel. Lebih-lebih penjajahan Yahudi Israel atas Palestina telah mewariskan sentimen negatif dari generasi ke generasi. Sebagian masyarakat Indonesia meyakini, keberadaan orang Yahudi sulit dilepaskan dari gerakan Freemasonry dan niat mereka untuk mencengkeram tanah air.

Di kutub lain, sejumlah pihak kini coba mencengkam Indonesia dengan Israel dalam sebuah hubungan diplomatik. Usaha menjejakkan perwakilan Negeri Yahudi di Indonesia dilakukan dengan membuka akun Facebook bernama Israel Berbahasa Indonesia. Akun itu mencoba melakukan propaganda untuk menarik simpati masyarakat Indonesia pada Israel. Dengan gamblang, akun ini memuat misi memperbesar jejak Negeri Yahudi di tanah Indonesia.[]

Sumber: Nusantara.news

Berita Lainnya
Show Comments (1)