Untuk Kepentingan Umum

Pemerintah Dinilai Gagal Jalankan Amanah Reformasi

ilustrasi

Peringatan 20 tahun reformasi dinilai masih menyisakan kegagalan pelaksanaan enam agenda reformasi. Tercatat ada enam agenda reformasi setelah Presiden Soehartolengser pada 1998, yakni adili Soeharto dan kroninya, amendemen UUD 1945, hapuskan dwifungsi ABRI, hapuskan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), otonomi daerah seluas-luasnya, dan tegakkan supremasi hukum.

Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Al Ghifari Aqsa menilai hingga saat ini pemerintah belum berhasil menjalankan enam agenda reformasi. Salah satunya mengadili Soeharto hingga akhir hayatnya atas dugaan kasus korupsi.

“Pengadilan tidak berhasil mengadili Soeharto hingga tuntas, sementara para pelaku lainnya hingga kini masih menikmati impunitas,” ujar Al Ghifari.

Kemudian amendemen UUD 1945 juga dinilai tak berhasil menjamin pelaksanaan reformasi di berbagai bidang. Bahkan, kata dia, belakangan justru muncul gerakan untuk kembali ke UUD 1945 yang asli.

Hal ini juga terlihat dari penghapusan dwifungsi ABRI yang saat ini justru diupayakan kembali militer masuk dalam berbagai kegiatan pemerintahan.

“Ada Tentara Manungal Masuk Desa, program bela negara, kesepakatan polisi dan TNI untuk pengamanan, sampai yang terbaru pelibatan TNI untuk memberantas terorisme lewat revisi UU terorisme,” katanya.

Selain itu, lanjut Al Ghifari, militer mulai masuk ke ranah olahraga ketika Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dipimpin oleh Letnan Jenderal Purnawirawan Edy Rahmayadi yang kini mencalonkan diri sebagai gubernur Sumatera Utara.

“Pencitraan TNI yang seolah mau bersatu dengan masyarakat sipil tidak menghilangkan watak militerisme,” ucap Al Ghifari.

Ia juga melihat tak ada perkembangan yang berarti dalam penegakan hukum di era reformasi. Dalam aspek hak asasi manusia (HAM), menurutnya, pemerintah tak pernah serius menjalankan janji menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu.

Di sisi lain, kata dia, potensi pelanggaran HAM dan lemahnya penegakan hukum justru semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan di antaranya dengan penerbitaan Perppu Ormas, UU MD3, pembahasan rancangan KUHP, hingga RUU terorisme yang kini masih dibahas di DPR.

“Pembangkangan pada hukum juga masih terjadi mulai dari kasus petani Kendeng, privatisasi air, dan kasus penggusuran paksa,” tuturnya.

Sementara dalam kasus korupsi, lanjutnya, pemerintah juga dinilai belum berhasil memberantas tindak pidana tersebut.

Hasil survei Corruption Perception Index (CPI) pada 1998 menunjukkan Indonesia menempati urutan ke-80 dari 85 negara dengan skor 2. Skor CPI berada pada rentang 0-100 dengan 0 sangat korup dan 100 bersih dari korupsi.

Kemudian pada 2008, penilaian CPI sedikit meningkat menjadi 2,6 dan terakhir pada 2016 hingga 2017 angkanya berada pada skor 3,7.

“Selama dua tahun terakhir skornya sama. Ini menunjukkan stagnasi upaya dari pemerintah maupun politisi dalam usaha pencegahan pemberantasan korupsi di Indonesia,” terangnya.

Berkaca dari kegagalan pelaksanaan agenda reformasi, pihaknya pun meminta pemerintah mengevaluasi setiap kebijakan dan peraturan yang ada. Ia juga mendesak agar pemerintah segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu dan memberikan hak-hak pada korban.

“Kami serukan juga pada masyarakat untuk terus mengawal agenda reformasi dan membangun solidaritas untuk melawan segala bentuk pelanggaran HAM,” ucapnya.

Berita Lainnya
Leave a comment