Akhir-akhir ini kita sering mendengar kata-kata orang dalam. Kata tersebut sangat familiar, bahkan dibahas saat debat pilpres lalu. Anies Baswedan capres 01 yang membahas secara rinci konsonan tersebut. Mantan rektor Universitas Paramadina itu mengatakan fenomena ordal atau orang dalam sebagai sesuatu yang menyebalkan.
Membuat kesal. Merusak jejang karir, dan sebagainya. Di seluruh Indonesia kita menghadapi fenomena ordal. “Mau ikut kesebelasan ada oradalnya, mau jadi guru ordal, mau masuk sekolah ada ordal, mau dapat tiket konser ada ordal, ada ordal dimana-mana yang membuat meritokrasi enggak berjalan, yang membuat etika luntur,” ucap Anies, saat debat pilpres beberapa waktu lalu.
Ucapan Anies memang menyinggung secara vulgar Gibran Rakabuming Raka, yang menjadi cawapres Prabowo. Ia tidak mungkin bisa menjadi orang nomor dua di republik ini jika tak ada campur tangan bapaknya, yang masih menjadi presiden.
Ya, orang dalam memang kembali mencuat sejak Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres Prabowo Subianto. Pria 36 tahun itu konon bisa ikut kontestasi lima tahunan gara-gara peran sang paman, Anwar Usman yang sebelum dipecat adalah ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Usman kuat dugaan meloloskan pasal khusus untuk sang keponakan. Alhasil, aturan yang membatasi syarat pencapresan 40 tahun berubah. Yang usia di bawah tersebut bisa ikut kalau memenuhi syarat lainnya, yaitu sedang menjabat sebagai kepala daerah.
Sontak keputusan tersebut menjadi kontroversial, bahkan hingga selesai pilpres juga masih terus dibahas. Gibran dianggap sebagai representasi suksesnya orang dalam menduduki posisi tertentu. Orang dalam kemudian ramai lagi dibahas.
Nepos atau nepotisme yang berasal dari bahasa latin yang berarti keponakan atau cucu. Kini, obrolan orang dalam menjadi pergunjingan di seluruh lapisan masyarakat. Dari orang susah sampai orang berpunya membicarakan masalah tersebut.
Saya bahkan mendengarkan keluh kesah teman yang tidak diterima pada beberapa posisi tertentu gara-gara tidak punya koneksi. Padahal ia merasa memiliki kemampuan yang bisa diadu. Singkat kata, ia memenuhi syarat untuk mengisi pos tertentu di sebuah perusahaan.
Apesnya karena tidak punya koneksi, lamaran yang dikirimkannya tidak pernah berbalas. Dirinya pun menggerutu karena tak memiliki orang dalam. “Sudah melamar kemana-mana. Belum dipanggil. Susah sekarang kalau mau kerja tak punya orang dalam,” katanya dengan nada kecewa.
Ia pun bercerita kalau teman satu kuliahnya bisa diterima bekerja di perusahaan pelat merah gegara punya koneksi orang dalam. Meski belum menjadi pegawai tetap, namun bisa kerja di perusahaan negara, minimal ada harapan akan masa depan yang lebih baik.
Ketimbang di swasta yang hanya menghabiskan waktu tanpa masa depan yang jelas. Umur tiba-tiba bertambah, sementara kontrak bisa diputus kapan saja. Katanya, teman kuliah dapat bekerja lantaran akses saudaranya yang menjadi pejabat. Meski belum pegawai tetap namun status pegawai pemerintah merupakan satu nilai yang dianggap baik; lambang kesuksesan.
Kembali lagi soal fenomena ordal ini memang jadi satu isu penting. Nepotisme kini dipraktikan telanjang, bahkan tanpa malu-malu. Padahal istilah tersebut menjadi momok ketika pak Harto berhenti sebagai presiden. Penguasa 32 tahun itu mundur dari jabatan sebagai pengusa tertinggi di republik ini gara-gara korupsi, kolusi, nepotisme (KKN).
Tiga kata tersebut menjadi mantra antogonistik. Seolah-olah kita haram dengan kata itu. Citranya jelek, buruk, dan sebagainya.
Dua puluh enam tahun berselang atau sejak 1998, nepotisme kembali hidup. Namun kini dianggap wajar dan biasa. Seolah-olah tak ada yang protes. Semua dianggap biasa.
Kita pun memberikan jalan lapang terhadap nepos. Ya, kadang kala alpa atau kelupaan menjadi penyakit yang menghingapi manusia. Amnesia. Kita cepat lupa akan nepotisme. Semua itu kemudian dianggap wajar. Biasa saja. (Firdaus)