Untuk Kepentingan Umum

Citra Diri

Akhir-akhir ini di pelosok jalan arteri sampai perkampungan dipenuhi spanduk, billboard, baliho dan alat peraga lainnya. Wajah-wajah tersenyum mengembang dari balik isi alat peraga tersebut. Kata-katanya menyihir menyampaikan kata optimisme.

Dengan penuh rasa, plus kata manis seperti, pembangunan, kesejahteraan, sampai kemajuan, dan sejenisnya, foto di spanduk tersebut menyiratkan ajakan. Intinya mereka tengah merayu warga untuk bergandengan tangan agar memiliki frekuensi yang sama dengan wajah yang ada di balik foto tersebut.

Baca juga

Sekarang memang lagi musim pemilu. Kita menyebutnya pilkada atau pemilihan kepala daerah. Februari lalu juga sudah beres musim itu.

Namun skalanya nasional. Ada tiga kontestan yang berlaga berebut mandat. Kini, pesta itu usai dilanjutkan dengan skala yang lebih kecil.

Ada ratusan pemilu tingkat lokal yang digelar secara bersamaan. Maka itu, jangan heran jika akhir-akhir ini ruas jalan dipenuhi alat peraga yang menampilkan wajah-wajah manis tersebut. Mereka tengah berebut mandat agar bisa dapat mengelola distribusi pajak yang dikumpulkan setiap tahunnya.

Saya menyebut wajah-wajah ‘baik’ itu dengan sebutan citra diri. Ya, orang-orang yang mau ikut kontestasi tengah berebut citra diri positif, baik, bagus, serta menampilkan diri sebagai penyelamat.

Kenapa penyelamat? Karena jaman sekarang lagi sulit, kerja susah, uang susah didapatkan, harga barang kebutuhan pokok melonjak.

Sementara penghasilan segitu-gitu saja. Wajah itu lalu memberikan kesan ingin menyelamatkan orang-orang tengah mengalami kesulitan.

Citra diri ataupun polesan, bedakan dengan gincu-gincu bak penyelamat dari luar dimensi bumi untuk berebut menarik perhatian agar masyarakat bisa memilihnya.

Mungkin citra diri sama perumpamaan dengan narsistik; sebuah kisah mitologi Yunani yang begitu masyhur. Konon kata tersebut merujuk kepada Istilah narsisme yang pertama kali didapatkan dari nama Narcissus.

Menurut mitos, Echo adalah seorang Dewi hutan atau peri yang jatuh cinta pada Narcissus yang sangat tampan.

Sosok Narcissus ini terlalu berlebihan mencintai dan mengagumi dirinya sendiri. Karena ketampanannya, Narcissus menjadi sombong dan lebih mementingkan dirinya sendiri.

Oleh sebab itu, ia selalu menolak wanita yang jatuh cinta padanya termasuk menampik cinta dari peri Echo. 

Karena cintanya ditolak, Echo menjadi patah hati dan larut dalam kesedihannya yang mendalam. Akibat dari kesedihannya ini, Echo tidak lagi mengurus dirinya, hingga kelaparan dan akhirnya mati menjadi debu di dalam hutan.

Teriakan terakhir Echo mengucapkan selamat tinggal pada Narcissus hanya menyisakan gelombang suara.

Jadi, nama Echo sampai saat ini, yang dikenal dengan saluran gelombang suara. Lalu, kita kembali ke cerita Narcissus.

Karena kesombongan Narcissus terhadap Echo dan wanita lainnya, Dewa Zeus menjadi marah dan mengutuknya seumur hidup, ia tidak akan pernah merasakan cinta.

Pada suatu hari, Narcissus kehausan dan mendatangi sebuah kolam air yang sangat jernih. Ketika pertama kali melihat air tangannya merengkuh ke dalam kolam.

Ia lalu melihat wajahnya untuk pertama kalinya. Melihat wajahnya yang tampan, ia kemudian mencintai dirinya sendiri. Kisah itu kemudian menjadi awal cerita narsistik atau mencintai dirinya sendiri.

Lalu apa hubungannya cerita itu dengan spanduk, billboard, yang isinya wajah-wajah tersenyum? Keduanya memiliki kesamaan. Wajah yang memperlihatkan diri karena menampilkan hal yang baik dan terkesan mencintai dirinya sendiri. Lantaran menganggap wajahnya bisa memberikan manfaat dan pertolongan kepada orang lain.

Dengan congkaknya dapat membuat individu, kelompok, ataupun komunitas lainnya menjadi kaya. Menjadi Sejahtera. Menjadi hebat. Menjadi kuat dan bisa hidup lebih baik.

Padahal di balik wajah-wajah tersebut, di ujung gang sana, banyak ditemukan rumah tak layak, anak putus sekolah, ibu yang memperkosa anaknya, anak yang membunuh orang tua, perselingkuhan selebritis yang membuat kita mengelus dada.

Belum lagi adanya rencana pemerintah memaksakan pekerja menyisihkan penghasilannya buat tabungan perumahan rakyat atau tapera. Konon potongannya mencapai 3 persen, terdiri 2,5 persen dibebankan pada kelas pekerja, 0,5 persennya perusahaan.

Terlihat kecil namun apabila dikumpulkan dalam setahun angkanya bisa mencapai Rp57 triliun. Jumlah yang cukup besar dan bisa digunakan buat membangun kota.

Orang-orang lantas curiga kalau uang itu sesungguhnya akan dipakai buat menutup beban biaya ibukota baru di Kalimantan sana.

Ya, sejak dilaksanakan beberapa tahun lalu, proyek ambisius ini konon tidak menarik swasta untuk menanamkan modalnya.

Bahkan, hingga proyek itu berjalan 30 persenan uangnya diambil dari dana masyarakat yang dikelola pemerintah. Kita menyebutnya pajak. Lalu kemana swasta yang katanya mau ikut terlibat?

Sepertinya investor belum yakin proyek itu akan menguntungkan. Agar tetap jalan dibuat proyek tapera. Program itu kemudian mendapatkan atensi publik. Mereka menolak karena rentan terjadinya korupsi.

Pemerintah tidak putus asa dan tetap ingin melanjutkan program tersebut. Sama dengan program UKT dana pendidikan yang menimbulkan pro dan kontra. Sampai-sampai presiden Jokowi memutuskan menunda program tersebut.

Penundaan itu bisa jadi akal-akalan presiden saja. Sebetulnya proyek itu ingin tetap jalan namun ditunda. Nanti yang dibebankan adalah pemerintah baru yang terbentuk Oktober nanti.

Rupanya Jokowi di penghujung kekuasaannya ingin tetap menampilkan citra diri positif. Ya, kembali lagi kepada citra. Saat baru menjabat citra Jokowi adalah sederhana, merakyat dan tidak berjarak dari masyarakat kebanyakan.

Di ujung kuasanya, citra itu rupanya ingin tetap ada dalam dirinya. Buktinya, ia menarik diri ketika program yang diinginkannya mendapat kritikan.

Semua kembali kepada citra diri. Seperti awal tulisan ini dibuat. Citra diri. Ouwh, citra, engkau selalu menjadi kambing hitam bagi kebijakan yang tidak popular. Citra memang selalu berada posisi yang tidak menyenangkan. (Firdaus)

Berita Lainnya
Leave a comment