Pencinta sepakbola tanah air sumringahnya luar biasa. Hal ini terjadi setelah Timnas Garuda berjaya dalam lanjutan kualifikasi Piala Dunia 2026. Tim asuhan Shin Tae-Yong (STY) begitu digdaya dalam dua pertandingan terakhir melawan Vietnam. Unggul 1-0 di Jakarta, lalu menang telak di Hanoi 3-0; keunggulan yang sangat langka.
Terakhir Tim Garuda bisa unggul di Hanoi tahun 2004 atau 20 tahun lalu. Puasa menang di negeri kamerad Ho Chi Minh tersebut menjadi penanda kebangkitan olahraga sepakbola tanah air. Selama ini kita selalu menjadi penonton jika ada turnamen bergengsi di olahraga paling popular itu. Makanya, ketika sepakbola Garuda menunjukkan trend baik, harapan publik pun mengemuka sangat besar.
Sejak kehadiran STY, sepakbola kita memang berubah. Dari mental, taktik, kepercayaan diri, fisik, dan segalanya. Semangat ala Korea sepertinya ditularkan sang nakhoda. Mantan pelatih timnas Korsel itu berani memotong satu generasi, sejak mengambil alih kursi panas itu dari Bima Sakit enam tahun silam.
STY mulai melakukan naturalisasi pemain; pesepakbola yang punya darah Indonesia diburunya untuk kemudian diajak bermain untuk tim Garuda. Nama-nama seperti Elkan Baggot, Shayne Pattynama, Jay Idzes, Thom Haye, Nathan Tjoe-A-On, ditambah sosok Ivar Jenner, Rafael Struick, Justin Hubner dan Sandy Walsh menghiasi skuad Garuda.
Awalnya banyak yang mengkritik kebijakan STY karena dianggap mengambil jalan pintas untuk jalur prestasi. Dimana pria 51 tahun itu tidak mengandalkan pesepakbola lokal dan lebih percaya dengan pemain keturunan.
Namun setelah melihat hasilnya publik dibuat puas oleh kerja ayah dua anak itu. Dirinya mendapatkan dukungan publik tanah air.
STY terhitung rajin keliling Eropa guna mencari bibit unggul berdarah Indonesia. Hasilnya memang kelihatan seperti sekarang di mana ada peningkatan permainan timnas. Tidak ada lagi umpan-umpan panjang, inkonsitensi permainan, fisik lemah hingga salah pasing yang kerap menghiasai permainan timnas Garuda.
Permainan timnas kini sudah mulai berani. Bahkan pada piala Asia lalu, saat bersua Iraq, satu-satunya gol yang dicetak Marcelinno berawal dari umpan-umpan pendek yang menjadi ciri khas sepakbola modern. Dan timnas Indonesia berani melakukan hal itu dengan tingkat percaya diri yang begitu tinggi.
Kini dengan peringkat kedua klasemen kualifikasi Piala Dunia di bawah Iraq, asa untuk maju ke babak selanjutnya begitu besar. Meski harapan publik jangan terlalu tinggi. Apalagi bisa menjadi peserta di gelaran 2026 nanti.
Mengingat Indonesia berada di pool ketiga atau paling bontot jika melihat peringkat yang 134. Jauh di bawah langganan tim Asia seperti Korsel, Australia, Jepang, yang berada di pool satu.
Meski pada Piala Dunia yang diadakan di Amerika Serikat dan Kanada itu formatnya berubah dengan peserta menjadi 48 tim atau bertambah 16 tim dibanding 2022 lalu. Dimana ada penambahan wakil Asia menjadi sembilan tim.
Hal itu tak lantas membuat timnas Garuda langkahnya bisa mulus mengingat persaingan tim Asia sangat ketat. Jangan berpikir bisa menang lawan Jepang cs, melawan kekuatan pool kedua seperti Uzbekistan, Iraq, Qatar, Syria, bahkan Uni Emirat Arab saja cukup berat. Hal itu bisa tergambar bagaimana melawan Iraq, baik saat qualifikasi maupun Piala Asia, tim Garuda sangat kerepotan.
Apalagi tim naturalisasi yang dimiliki juga levelnya masih kelas dua Eropa. Dari sekian nama yang beredar, praktis hanya Thom Haye yang main di level teratas Liga Belanda. Sisanya kalau tidak main di level dua, hanya penghangat di bangku cadangan. Seperti Baggot, Hubner, hingga Struick yang hanya menjadi pemain lapis kedua.
Dengan kekuatan Eropa lapis dua tentunya pencinta sepakbola tanah air juga harus realistis tentang kiprah timnas Garuda untuk bisa lolos Piala Dunia. Maju hingga babak ketiga kualifikasi saja luar biasa. Prestasi itu menyamai raihan pada 1985 atau 39 tahun lalu. Dimana tim Garuda lolos hingga babak akhir sebelum kalah dari Korea Selatan.
Dengan kekuatan yang ada paling realitis Tim Garuda adalah menatap Piala Dunia 2030. Itu pun dengan catatan komposisi pemain sekarang tidak banyak berubah. Nama-nama seperti Arhan, Baggot, Struick, hingga Idzes pada 2030 nanti usianya kisaran 26-27 tahun; umur yang matang bagi pesepakbola.
Jadi paling memungkinan adalah menatap Piala Dunia 2030 baru bisa kita memupuk asa optimisme.
Kalau sekarang semangat optimisme tetap ada namun realistisnya harus dominan. Supaya pemain jangan terbebani dengan ekspetasi yang berlebihan. Biarkan pemain bebas mengeluarkan kemampuannya.
Sekarang timnas kita berada pada jalur yang tepat. Jangan dibebankan prestasi tetapi jam terbangnya yang harus bertambah. Supaya pada turnamen berikutnya chemistry pemainnya menyatu. Jika ini bisa dilakukan prestasi tinggal menunggu waktu. Piala akan datang dengan sendirinya.
Slogan akhir 1990an yang terkenal dengan kata-kata “Tekad Indonesia ke pentas dunia 2002 bisa terwujud. Dua puluh dua tahun sudah berlalu sejak program Indonesia lolos ke Piala Dunia 2002 gagal total. Semenjak itu prestasi tim Garuda naik turun. Kini, asa untuk mendengarkan lagu Indonesia Raya di pentas dunia tumbuh lagi. Ya, semoga, waktu itu tak lama lagi. (Firdaus)